Menikah adalah ibadah, sehingga niatnya harus memang karena Allah dan Rasulnya, bukan supaya menjadi orang kaya. Apalagi menikah karena sudah putus asa biar ada yang mencukupi masalah finansial..
Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan berjumpa dengan kawan saya. Kebetulan beliau adalah seorang konsultan keluarga. Karena kami jarang sekali punya waktu luang untuk bersama, akhirnya ketika bertemu, semua uneg-uneg dalam hati berhasil tercurah juga.
Banyak hal-hal random yang kami perbincangkan. Salah satunya adalah problem perceraian yang saat ini marak terjadi.
Kali ini ada yang unik dari perkara yang ditemui. Terdapat seorang perempuan yang ingin mengajukan gugatan perceraian. Alasan yang mendasari ia mengajukan gugatan cerai tersebut ialah karena masalah finansial yang terjadi.
Sepenggal Kisah yang Mendasari Konflik
Dari hasil informasi yang didalami, sebenarnya perempuan tersebut sudah memiliki keinginan untuk bercerai sejak lama. Ringkasnya, perempuan tersebut berdalih jika pernikahan yang ia jalani tersebut lantaran karena perjodohan.
Kala itu, ia bersedia menikah dengan laki-laki yang berstatus sebagai duda dengan jarak usai yang terbilang lumayan, yakni 13 tahun. Entah apa yang jadi pertimbangan si perempuan saat itu. Namun yang terjadi saat ini, ia ngotot ingin bercerai dengan suaminya karena merasa sudah tidak dinafkahi.
Meskipun kami juga seorang perempuan, namun kami mencoba bersikap netral dengan meminjam cara pandang laki-laki ketika menyoroti hal ini. Singkatnya, setelah teman saya gali lebih dalam, perempuan tersebut bersedia menikah karena memang dulunya sempat putus asa terkait masalah finansial yang ia hadapi.
Balik lagi, Ternyata Budaya Patriarki yang Melatarbelakangi Semua Ini
Saat memutuskan untuk menikah, si perempuan memang menaruh pertimbangan pada ekspektasinya sendiri. Jika dinikahi laki-laki yang kaya raya, maka baginya tidak akan ada lagi masalah yang ia hadapi ke depan nanti.
Ternyata keputusan yang ia ambil tersebut kami rasa belum terlalu masak ia pertimbangkan. Faktor usia yang akan mendasari perubahan fisik, daya dan potensi si laki-laki luput dari pertimbangan si perempuan tersebut.
Mungkin bisa kami gambarkan begini. Ketika si perempuan menikahi laki-laki yang sudah mapan secara finansial karena menginginkan proses instan, tentu bukan tanpa resiko. Memilih menikah dengan laki-laki dalam kondisi demikian tentu harus siap dengan konsekuensi yang juga akan terjadi ke depan.
Budaya patriarki memang menyumbangkan ide yang seringkali terpaksa harus dieksekusi. Termasuk ide dan keputusan untuk menikah dengan pertimbangan seperti yang terurai tadi.
Jika ingin Menikah, Maka Putuskan dan Niatkan dengan Bijaksana!
Paradigma patriarki seakan memberikan pola begini “Perempuan berumur harus segera menikah dengan laki-laki agar semua urusan menjadi beres. Nantinya, Perempuan tidak perlu susah-susah lagi bekerja, tinggal duduk di rumah megurus anak dan suami, toh sudah ada yang menafkahi”. Ya, begitulah yang patriarki tancapkan pada kepala orang-orang di lingkungan hidup si perempuan tadi.
Desakan dari lingkungan yang patriarkis pada akhirnya membawanya pada arus dan meng-iyakan semua paradigma tadi. Padahal tidak demikian, konsep mubadalah mengajarkan adanya relasi kesalingan dan kerjasama antara suami istri. Paradigma bahwa perempuan tinggal terima enaknya dan laki-laki yang harus menderita nyatanya juga tidak semudah isapan jempol itu.
Saat ini, si perempuan harus menerima kenyataan bahwa suaminya sudah tidak bisa bekerja karena faktor usia. Akhirnya ia sendiri yang harus menafkahi diri, suami dan bahkan anak-anaknya.
Seperti berbanding terbalik dengan masa mudanya dulu, ketika ia baru menikah. Semua serba berkecukupan. Ia masih duduk manis di rumah dan tinggal menerima gaji suami.
Sementara kondisi sekarang mengharuskan ia banting-tulang pada saat ia tidak se-struggle saat ia muda lagi. Hal yang tentunya ia rasa sangat berat, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian ini.
Niatan untuk menikah tentunya tidak boleh segegabah ini. Menikah adalah ibadah, sehingga niatnya harus memang karena Allah dan Rasulnya, bukan supaya menjadi orang kaya. Apalagi menikah karena sudah putus asa biar ada yang mencukupi masalah finansialnya. []