Persepsi tentang suatu hal sedikit banyak mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Pernyataan ini benar adanya, sebagaimana yang saya alami sebelum mengikuti Mubadalah Virtual Class (MVC). Isu-isu tentang perempuan yang tersebar dalam tafsir keagamaan dan sebagian besar telah menempatkan perempuan sebagai obyek, nyaris menjadi acuan dalam bersikap terkait relasi dalam keluarga, antara suami dan istri.
Pernyataan-pernyataan yang cukup mengemuka seperti; perempuan itu yang penting shalat fardu , puasa, lalu taat kepada suami maka ia akan mendapatkan surga, perempuan akan dilaknat oleh Allah sepanjang malam jika suaminya meminta tapi ia tidak bersedia melayani di ranjang. Pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan hadits ini, seolah-olah menjadi harga mati dan mengharuskan saya mematuhinya, meskipun tidak untuk semua isu.
Kegelisahan yang berkecamuk dalam pikiran dan perasaan dan pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali muncul, “mengapa demikian? mengapa harus perempuan saja? Kewajiban terhadap Tuhan sama, mengapa kewajiban terhadap sesama manusia (suami atau istri) ada pembedaan? Lalu bukankah Islam menyampaikan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? Apa mungkin ini hanya berlaku bagi laki-laki?, pada akhirnya tunduk pada tafsir keagamaan yang bisa dikatakan melampaui otoritas al Qur’an itu sendiri.
Di satu sisi, saya merasa sangat naif karena tidak berusaha mencari tahu apakah memang demikian yang dikehendaki al Qur’an dan hadits sebagai sumber utama penetapan aturan-aturan dalam Islam. Namun di sisi lain, saya bukanlah orang yang memiliki kapasitas dalam hal itu. Karena, orang yang boleh menafsirkan al Qur’an dan hadits adalah hanya orang yang memiliki keilmuan yang cukup tentang balaghah, ushul fiqh dan ilmu alat yang lain.
Tidak sedikit diskursus-diskursus dan gerakan-gerakan perempuan yang muncul sebagai counter atas pemahaman seperti itu. Bahkan dari beberapa seminar yang pernah saya ikuti di masa-masa awal muncul dan berkembangnya wacana kesetaraan gender, hanya bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan hanya memiliki perbedaan secara biologis yang tidak mesti melahirkan perbedaan dalam fungsi sosial, meskipun berbeda secara kodrati.
Kodrat perempuan adalah perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan laki-laki tidak. Adapun perempuan tugasnya adalah di rumah, mengurus suami dan anak, dan suami sebagai pencari nafkah dan posisinya selalu di depan, itu adalah stigma yang terbentuk dari konstruk sosial. Kesimpulan ini tidak cukup memberikan jawaban atas pertanyaan kunci bagaimana Islam sebagai rahmatan lil’alamin menjelaskan relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan di masyarakat.
Sejauh ini pemaknaan secara literal terhadap ayat-ayat al Qur’an dan hadits khususnya yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan baik dalam keluarga maupun ruang publik, masih sering dijadikan dasar dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan. Sehingga terkesan bahwa beberapa ayat dalam al Qur’an diperuntukkan bagi laki-laki saja dan beberapa ayat yang lain diperuntukkan bagi perempuan saja.
Maka, dalam hal tertentu laki-laki menjadi subyek dan perempuan menjadi obyek dan sebaliknya dalam hal tertentu pula perempuan menjadi subyek dan laki-laki menjadi obyek, Meskipun demikian. ayat-ayat al Qur’an dan hadits yang secara literal menjadikan laki-laki sebagai obyek ini jauh lebih sedikit. Sebagai contoh ayat al Qur’an tentang kewajiban memberi nafkah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah (2: 233):
“ … Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…”.
Aktualisasi tafsir keagamaan sementara ini masih terkesan mementingkan laki-laki dan menyisihkan perempuan. Dari sinilah, sepertinya Islam masih menjadi rahmat bagi sebagian manusia saja yaitu laki-laki dan menjadi laknat bagi perempuan.
Mubadalah Virtual Class (MVC) yang diampu oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan bukunya yang menjadi referensi utama, Qira’ah Mubadalah mampu memberikan jawaban atas kegelisahan yang saya alami dan mungkin juga perempuan- perempuan lain. Qira’ah mubadalah menyajikan sebuah tawaran metode pemaknaan teks dan tradisi dengan perspektif kesalingan antara laki-laki dan perempuan, terhadap ayat-ayat al Qur’an, hadits dan tradisi keilmuan klasik.
Tafsir mubadalah bukan bermaksud meninggikan perempuan dan merendahkan laki-laki atau sebaliknya. Tafsir mubadalah didasarkan pada perspektif kesalingan yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang setara, saling bekerja sama, saling menopang dan saling melengkapi dengan tetap memperhatikan pengalaman biologis perempuan, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Gagasan mubadalah ini didasarkan pada keyakinan bahwa ajaran Islam tidak diperuntukkan hanya bagi laki-laki atau bagi perempuan saja, akan tetapi bagi manusia secara keseluruhan. Dengan demikian Islam pasti adil dan menghendaki kemaslahatan bagi seluruh manusia, laki-laki dan perempuan. Dalam al Qur’an surah al Anbiya’(21:107) ditegaskan:
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Nabi Muhammad saw adalah rasul yang membawa risalah kenabian yang tertuang dalam ajaran Islam. Maka diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi alam semesta inheren dengan misi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Atas dasar premis tersebut, perspektif mubadalah melihat perbedaan (termasuk laki-laki dan perempuan) bukan sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan, akan tetapi bisa dipersatukan dengan “kesalingan” dan kerjasama yang bahagia dan membahagiakan, sama-sama memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi terciptanya kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan di alam semesta ini.
Mubadalah meletakkan nilai dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan dihadapan teks-teks otoritatif termasuk teks tentang kemaslahatan umum. Kemaslahatan ini dikatakan maslahat jika dirasakan oleh semua yang ada di alam semesta ini, semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Wallahu a’lam bisshawab. []