Februari lalu saya berkesempatan memenuhi undangan Dinas Pariwisata Palembang untuk mengunjungi Bumi Sriwijaya dan turut mempromosikan destinasi wisata di salah satu kota tertua negara kita ini. Sebagian diri saya merasa sangat antusias karena perjalanan ini sekaligus diniatkan untuk napak tilas Sultan Fatah yang dulu lahir sampai masa remajanya tinggal di Palembang bersama ibunda tercinta, Putri Campa asal Cina.
Dalam trip kali ini bukan saja saya akhirnya bisa menziarahi makam Ratu Sepuh, istri Sultan Mahmud Badaruddin 2, yang berasal dari Demak, tapi juga ke makam-makam tokoh lainnya. Di Kawah Tekurep dalam bangunan yang sama, selain makam Ratu Sepuh ini juga terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin 2 dan istri-istri lainnya. Istri pertama, Ratu Sepuh dari Demak. Istri kedua asal Cina. Istri ketiga asal Arab. Dan istri keempat asli Palembang.
Di kawasan makam Sabo Kingking, terdapat makam Ratu Sinuhun yang juga merupakan perempuan hebat di Bumi Sriwijaya ini. Ratu Sinuhun adalah istri Pangeran Sido Ing Kenayan, yang berkuasa selama enam tahun dari tahun 1636 – 1642 M di Palembang.
Ratu Sinuhun dikenal sebagai sosok panutan karena Undang-Undang yang dibuatnya berisi kearifan lokal dalam hal hubungan sosial kesetaraan gender. Sang ratu tidak hanya dikenal karena kepeduliannya dalam menata dusun dan lingkungan tetapi juga dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan.
Pada masanya di tahun 1630-an, Ratu Sinuhun menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat intelektual tinggi dan berdiri setara dengan laki-laki. Ratu Sinuhun telah menunjukkan kesetaraan gender bahkan popularitasnya melebihi suaminya.
Makam Sabo Kingking dikenal sebagai pemakaman para raja awal kerajaan Islam Palembang yang telah berusia sekitar lima ratus tahun. Terdapat empat puluh satu makam di dalam areal seluas sepuluh ribu meter persegi. Di pemakaman ini juga terdapat makam Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman dan juga Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Sahab yang dikenal sebagai imam dan guru mereka.
Kitab Simbur Cahaya yang digubah oleh Ratu Sinuhun merupakan perpaduan antara hukum adat dan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk Undang-Undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi masyarakat Nusantara khususnya di Sumatra Selatan. Simbur Cahaya juga mengajarkan tentang harmoni terhadap lingkungan alam, lingkungan sosio-kultur dan religi.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika Palembang berhasil dikuasai Kolonial Belanda. Sistem kelembagaan adat masih dilaksanakan seperti sediakala, yaitu dengan mengacu kepada Undang Undang Simbur Cahaya, dengan beberapa penghapusan dan penambahan aturan yang dibuat oleh resident.
Berdasarkan informasi dari penerbit “Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922”, Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:
- Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding) (32 pasal)
- Adat Perhukuman (Strafwetten) (58 pasal)
- Adat Marga (Marga Verordeningen) (29 pasal)
- Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen) (19 pasal)
- Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen) (32 pasal)
Pada bab tiga juga menjelaskan mengenai hubungan lingkungan dan manusia. Terdapat berbagai aturan mengenai cara membakar lahan agar tidak merugikan orang lain, ketentuan memelihara binatang ternak, larangan membunuh ikan dengan racun dan lainnya. Dalam Undang-Undang yang berusia ratusan tahun ini juga terdapat norma, aturan dan sanksi yang jelas dan tegas di setiap pelanggaran.
Dan tentu saja adab dan aturan yang melindungi perempuan juga diatur dalam Kitab Simbur Cahaya ini. Betapa hebatnya pada jaman itu, seorang perempuan telah mempunyai peran dan memiliki kontribusi bagi kesetaraan dan relasi yang adil antara laki-laki serta perempuan, dan kemaslahatan umat serta warga masyarakat sekitar. Subhanallah. []