Mubadalah.id – Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan yang sangat luar biasa, yaitu menjadi peserta kursus metodologi musyawarah keagamaan KUPI yang dilaksanakan di Semarang. Dalam kursus ini saya bertemu dengan 29 ibu nyai dari berbagai latar belakang pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Selain itu, saya juga berkesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang paradigma, perspektif dan nilai-nilai yang para ulama KUPI seperti Ibu Nyai Nur Rofiah, Kiai Faqih, Buya Husein dan juga Mbak Sri Wiyanti Eddyono bangun bersama.
Di sisi lain, pengalaman yang tidak kalah menarik dan membuat saya terus merasa bersyukur adalah para peserta kursus metodologi musyawarah keagamaan KUPI bukan hanya diberikan materi yang keren-keren.
Tetapi kami juga diajak dan diajarkan untuk berani membuat fatwa atau mengambil peran dalam merumuskan dan mendiskusikan terkait hukum dari dua isu, yaitu isu kebangsaan dan pengelolaan sampah.
Dalam proses tersebut kami mencoba melakukan musyawarah dengan metodologi dan struktur musyawarah KUPI yaitu mulai dari tashawur atau mendeskripsikan akar masalah yang tengah masyarakat hadapi.
Lalu kami juga perkuat dengan adillah atau dalil-dalil yang menjadi argumentasi dalam pembahasan tersebut, dan juga meneruskan dengan istidal (analisis).
Kemudian, tazkiyah (rekomendasi) dan maraji’ atau menyertakan sumber pengambilan data-data.
Peran Ibu Nyai dan Pengelolaan Sampah
Untuk mempersingkat waktu, Kiai Faqih dan Ibu Nyai Nur sebagai fasilitator membagi kami ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok musyawarah isu kebangsaan dan pengelolaan sampah. Kebetulan kemarin saya tertarik untuk bergabung dengan kelompok pengelolaan sampah.
Sebab, selama ini isu lingkungan masih sangat jarang membahasnya dan masih menjadi isu yang kurang seksi. Padahal isu lingkungan ini merupakan permasalahan bersama yang sampai saat ini masih belum menemukan solusi untuk mengatasinya.
Selama proses musyawarah saya lebih banyak menyimak argumentasi dan juga cerita pengalaman dari para ibu nyai yang semuanya berperan sebagai pengasuh pondok pesantren terutama dalam pengelolaan sampah.
Saya melihat bagaimana cara beliau-beliau merumuskan permasalahan dengan sangat tepat.
Lalu mencari argumentasi adillah dan menyusunnya menjadi tulisan yang utuh dengan struktur yang sudah dibriefing oleh para fasilitator.
Pemandangan dan ruang musyawarah ini membuat saya yakin bahwa perempuan itu bukan makhluk lemah, kurang akal dan kurang agama, apalagi sumber fitnah.
Perempuan adalah manusia yang oleh Allah ciptakan lengkap dengan akal budi yang utuh. Hanya saja selama ini perempuan terutama di kalangan pesantren masih belum mendapatkan akses untuk mengambil peran dalam memberikan sumber pengetahuan. Padahal, pengalaman perempuan itu bisa menjadi sumber pengetahuan.
Oleh karenanya, suara perempuan penting untuk didengar, pengalamannya bisa menjadi sumber pengetahuan dan perempuan berhak untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Sebab, sebagaimana Ibu Nyai Nur Rofiah sampaikan bahwa perempuan tidak boleh menganggapnya sebagai tamu di ruang publik.
Tetapi bagaimana memandangnya sebagai subjek penuh sebagaimana laki-laki.
Dengan begitu, saya sangat mengapresiasi sekali kegiatan kursus metolodogi KUPI ini dengan melibatkan para perempuan dari beragam latar belakang dan dari daerah yang berbeda-beda.
Sehingga kita bisa saling bertukar pengalaman tentang kondisi serta realitas yang terjadi di daerah masing-masing. Misalnya, terkait keterlibatan perempuan sebagai aktor dan sumber pengetahuan.
Ibu Nyai Mengajar Santri Putra
Ibu Nyai Najhaty Sharma bercerita bahwa di pondok pesantren yang ia kelola bersama keluarganya.
Sampai saat ini masih belum memberikan kesempatan pada ibu nyai untuk mengajar santri putra.
Hal ini ternyata berbeda dengan pengalaman saya waktu mondok di Ponpes Miftahul Falah Garut.
Di sana para ibu nyai ikut mengajar santri putra, dengan begitu pengetahuan tentang fiqh perempuan seperti haid, dan nifas.
Kemudian, kehamilan dan yang lainnya bisa tersampaikan ke santri putri dan putra secara bersamaan.
Di sisi lain, para ibu nyai di Miftahul Falah juga selalu terlibat dalam proses bahtsul masail.
Mereka merumuskan peraturan pondok, dan merumuskan kurikulum pendidikan bagi santri-santrinya, baik putri ataupun putra.
Dengan saling berbagi pengalaman ini, masing-masing peserta bisa mempunyai gambaran bahwa realitas sosial itu memang beragam.
Dan dari keragaman realitas ini masing-masing peserta bisa mempunyai gambaran bahwa sudah ada para perempuan yang berani untuk menjadi aktor.
Dan sumber pengetahuan, termasuk di lingkungan pondok pesantren.
Kemudian yang terakhir, saya berharap melalui kegiatan ini akan semakin banyak perempuan di kalangan pondok pesantren yang berani menyuarakan pendapat.
Lalu mengambil peran dan tidak takut untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivas sosial, baik di lingkungan pesantren maupun di ruang publik lainnya. []