• Login
  • Register
Jumat, 13 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Review Buku: Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
03/08/2020
in Buku, Personal, Sastra
0
Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?

Ilustrasi NBU

829
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Di tahun 1776, filsuf sekaligus pelopor sistem ekonomi kapitalisme, Adam Smith menggelontarkan pertanyaan dasar mengenai bagaimana kita bisa menyantap makan malam dan bagaimana bisa menu tersebut terhidang di meja, untuk menjawab tantangan sistem ekonomi seperti apa yang harus dijalankan dengan seimbang agar dapat menguntungkan semua pihak.

Melalui soal simpel tersebut Adam Smith kemudian menggiring kita semua untuk mempercayai bahwa tindakan tiap individu yang sedang memenuhi kepentingan pribadinya secara maksimal sebenarnya sudah membantu dunia bergerak. Motif personal tiap orang tadi kemudian mendasari Smith untuk memperkenalkan jargon ‘invisible hand’ atau tangan tak terlihat dalam menganalisis sistem ekonomi yang musti dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Smith, bukan karena kebaikan hati tukang daging, penjual minuman atau penjaja roti lah kita bisa mendapatkan makan malam, melainkan karena mereka sebenarnya hanya memikirkan kepentingan diri mereka sendiri untuk terus bertahan hidup, maka kita masing-masing bisa memenuhi kebutuhan kita, termasuk juga mendapatkan makanan untuk santap malam.

Tapi, tunggu… apakah sesederhana itu? Katrine Marcal yang skeptis pada teori ekonomi Smith kemudian bertanya balik, “siapa yang memasak makan malam Adam Smith sebenarnya?”

Apakah hidangan lezat yang tersaji tiap malam Adam Smith melalui mekanisme yang sama? Apakah ia yang bekerja sebagai akademisi digaji oleh pemerintah kemudian membeli bahan masak dari petani atau pedagang di pasar dan kemudian mengolahnya sendiri untuk disantap?

Baca Juga:

Ulasan Daughters of Abraham: Ketika Para Putri Ibrahim Menggugat Tafsir

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Buku Esok Jilbab Kita Rayakan, Kalis Mardiasih Membongkar Narasi Jilbab

Jawabannya ternyata tidak! Sebagai pria yang melajang seumur hidupnya, Smith tinggal bersama ibunya. Sehari-hari ibunya yang membantu Smith untuk menyiapkan kebutuhan dasarnya. Tak heran, ia sanggup fokus dalam kegiatan akademisnya tanpa gangguan berarti maupun beban domestik yang memberatkan.

Lalu, apakah ibunya melakukan semua itu atas dasar memenuhi kepentingan pribadi serta finansial?
Tentu bukan, seumur hidup ibu Adam Smith menjalankan perannya dengan tulus tanpa meminta imbalan apapun dari anak laki-lakinya. Dasarnya? Cinta. Seperti lirik salah satu lagu gubahan Neona, kasih ibu: ‘kasih ibu kepada beta.. tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali.‘

Dari premis bahwa tidak semua tindakan manusia dilandasi kepentingan ekonomi seperti yang dilakukan ibu Adam Smith, Katrine Marcal mengkritisi teori klasik ekonomi liberal yang kini menjelma dalam carut marut sistem neoliberalisme yang terlalu menitikberatkan egoisme pribadi dan kelompok, tanpa berpihak pada kaum papa serta golongan marjinal.

Meski menyodorkan kritik tajam terhadap konsepsi manusia ekonomi dan ideologi ekonomi yang berkembang secara cerdas, sayangnya buku ini belum menguliti teori ekonomi liberal secara mendalam. Beberapa tulisan bahkan cenderung repetitif dan narasinya bertempo terlalu cepat untuk dipaksakan masuk ke penutup.

Selain itu, meski kerap mengingatkan kita bahwa banyak urusan domestik perempuan yang sering tidak ikut dikalkulasi dan dihargai, di saat yang sama Katrine belum memberikan narasi penyeimbang bahwa laki-laki ketika akan turun membantu mengerjakan hal tersebut, mereka juga harus berhadapan dengan stigma-stigma negatif yang menyebabkan mereka urun atau mencoba menghindar untuk melakukan pekerjaan rumah tangga.

Namun, secara keseluruhan buku karya penulis berkebangsaan Swedia ini patut untuk dibaca untuk menyegarkan ingatan kita bahwa dunia terlalu kompleks itu dipolakan dengan sederhana. Rangkaian esai Katrine tentang fenomena-fenomena ekonomi di berbagai belahan dunia yang sering memicu pembaca untuk berpikir lebih kritis juga menarik untuk diikuti, selain juga gaya tulisannya yang sederhana, tapi mengena dan tepat sasaran.

Catatan kecil saja menurut saya adalah terjemahan bahasa Indonesianya kurang mengalir, jadi bagi teman-teman yang familiar dengan beberapa istilah umum dalam political economy mungkin merasa buku ini baru bisa mendapat rating empat dari rating lima sempurna. Akhir kata, semoga buku sejenis banyak bermunculan dan ditulis oleh para perempuan di bidangnya agar kerja-kerja perempuan jauh lebih didengarkan dan dipertimbangkan. []

Resensi Buku: Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Karya Katrine Marcal
Oleh : Hasna A Fadhilah
Judul Buku: Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?
Penulis: Katrine Marcal
Penerjemah: Ninus D. Andarnuswari
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2020
Tebal buku: i-viii + 226 halaman

Tags: kapitalismeReview Buku
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Menyulam Spiritualitas

Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

12 Juni 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

11 Juni 2025
Devotee

Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish

10 Juni 2025
Tragedi Sejarah

Menolak Lupa, Tragedi Sejarah Kekerasan terhadap Perempuan

9 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Difabel

    Senyum dari Jok Motor : Interaksi Difabel Dengan Dunia Kerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Ketauhidan dalam Relasi Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Utama Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Senyum dari Jok Motor : Interaksi Difabel Dengan Dunia Kerja
  • Tujuan Utama Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an
  • Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga
  • Prinsip Ketauhidan dalam Relasi Suami Istri
  • Menyemarakkan Ajaran Ekoteologi ala Prof KH Nasaruddin Umar

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID