• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

RUU Ketahanan Keluarga; Domestikasi Peran Perempuan

Irma Khairani Irma Khairani
02/04/2020
in Publik
0
RUU Ketahanan Keluarga

RUU Ketahanan Keluarga

104
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Perjalanan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual nasibnya entah bagaimana. Bagaikan ditelan bumi, tenggelam ke dasar palung laut paling dalam. Lalu, muncul Rancangan Undang-Undang baru kepermukaan, yang cukup membuat panik. Apalagi kalau bukan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga.

Rancangan Undang-Undang/RUU Ketahanan Keluarga muncul sebagai itikad pemerintah dalam menciptakan keluarga yang tahan akan krisis yang mungkin akan dihadapi dalam sebuah keluarga. Akan tetapi, setelah membaca rancangan undang-undang ketahanan keluarga secara seksama, tak sedikit pasal-pasal yang membuat hati meringis sampai rasanya ingin menangis.

Misalnya, pada pasal 1 ayat (10) berbunyi; Krisis Keluarga adalah suatu kondisi kehidupan keluarga dalam keadaan tidak stabil, tidak terarah, dan dianggap membahayakan karena dapat membawa perubahan negatif pada struktur dan fungsi Keluarga.

Jika dilihat dari pasal di atas, struktur dan fungsi keluarga dapat terancam apabila terjadi krisis dalam keluarga. Namun, struktur dan fungsi yang seperti apa? Bukankah dengan disebutkannya struktur dan fungsi dalam keluarga dapat menciderai konsep kesalingan dan kesetaraan gender dalam sebuah keluarga? Apakah dalam keluarga ada batasan secara tegas mengenai struktur dan fungsi antara peran suami dan istri?

Struktur dan fungsi dalam keluarga yang mana dalam hal ini adalah suami dan istri, dijelaskan pada pasal 25 ayat (1) yang berbunyi; setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga:

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Lalu pada ayat (2) RUU Ketahanan Keluarga, dikatakan bahwa suami berkewajiban sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.

Dan pada ayat (3) dikatakan seorang istri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, dan memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Kemudian, pada pasal 2 mengenai asas-asas ketahanan keluarga, terma kesetaran tak disebutkan.

Dari pasal-pasal tersebut muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya. Bagaimana dengan seorang istri yang menjanda dan beralih menjadi kepala keluarga? Bagaimana dengan suami yang tak sanggup dan tak mampu memberikan keperluan hidup berumah tangga dalam keluarga?

Apakah jika istri yang memenuhi kewajiban tersebut, maka keluarganya dapat dikatakan sebagai keluarga yang krisis karena tak menjalankan kewajiban struktural-fungsional yang diamanatkan oleh rancangan undang-undang tersebut? Saya jadi bingung sendiri..

Untuk menghilangkan kebingungan tersebut, saya menemukan hadist yang menjelaskan bahwa seorang istri; seorang perempuan tak hanya berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga. Seorang istri pun berkewajiban dan berhak menjadi kepala keluarga dan menafkahi keluarganya.

Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dalam Thabaqatnya (juz 1, hal. 290, no. hadist: 4239)

Dari Ritah, istri Abdullah bin Mas’ud ra. Ia pernah mendatangi Nabi Saw dan bertutur: “Wahai Rasul, saya perempuan pekerja, saya jual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun”. Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka”, sabda Nabi Saw.

Rasulullah Saw tak membatasi pencarian nafkah sebagai kewajiban suami atau istri, siapa yang mampu, maka lakukanlah. Pasal-pasal dalam rancangan undang-undang tersebut tak hanya mendomestikasi peran seorang istri, pasal tersebut pun memungkinkan terjadinya kekeresan dalam rumah tangga karena secara tak langsung melanggengkan budaya patriarki yang berpandangan bahwa seorang istri hanya bertanggung jawab akan sumur, kasur, dan dapur.

Struktur dan fungsi keluarga yang telah dijelaskan batasannya dalam rancangan undang-undang tersebut memungkinkan suami sebagai kepala keluarga mengganggap dirinya memiliki kuasa penuh akan sebuah keluarga, akan timbul ketimpangan relasi kuasa dalam keluarga, dan apabila tak dapat dikendalikan dapat berdampak terhadap seorang istri yang ditimbulkan oleh berbagai faktor; ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya.

Penangangan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mana telah memiliki payung hukum tersendiri nyatanya tak berpengaruh secara signifikan. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan pada 6 Maret 2019, kekerasan seksual paling tinggi merupakan KDRT atau ranah pribadi yang mencapai angka 71% atau 9,637 kasus.

Dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga yang secara tak langsung melanggengkan budaya patriarki, dapat berdampak negatif terhadap perjuangan penghapusan kekerasan seksual terutama pada kasus KDRT. Apalagi, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual realitanya tak seperti yang diharapkan.

Itikad pemerintah dalam menciptakan ketahanan keluarga dengan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga kiranya belum tepat, alih-alih rancangan undang-undang tersebut sebagai antitesis dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum jua menemukan titik terang. []

Tags: feminismeFiqih KeluargamisoginisRUU Ketahanan Keluarga
Irma Khairani

Irma Khairani

Irma telah rampung menamatkan studi sarjana Ilmu Politik di Universitas Nasional. Isu gender, pendidikan, dan politik adalah minatnya, saat ini aktif di komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kopi yang Terlambat

    Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kuasa Suami atas Tubuh Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung
  • Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam
  • Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji
  • Islam: Membebaskan Manusia dari Gelapnya Jahiliyah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID