Mubadalah.id – Rabi’ah al-Adawiyah menempuh dan menjalani hidupnya sebagai “abidah”, pengabdi Tuhan sebagaimana biarawati di dunia Kristen. Ia menyusuri jalan cahaya, mengunjungi pengajian para sufi, di kota itu.
Antara lain, Rabi’ah al-Adawiyah mengunjungi Hasan al-Bashri, pemimpin para sufi terkemuka pada zaman itu. Hampir semua sufi berguru kepada Hasan al-Bashri.
Banyak teman mengolok-olok sikap hidup Rabi’ah itu. Mereka seperti tak setuju dengan jalan hidup barunya. Mengenai hal itu, ia mengatakan,
“Wahai Tuhan, mereka mencemoohku, lantaran aku mengabdi hanya kepada-Mu. Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, aku akan mengabdi kepada-Mu dengan seluruh darah dan napasku.”
la menggubah puisi indah:
Duhai yang berjanji menyambut dengan riang kekasih-Nya.
Duhai Kau yang tak ada yang lain yang aku harapkan.
Rabiah juga sering kali mengunjungi ahli fiqh, seorang mujtahid sekaligus sufi besar, Sufyan ats-Tsauri.
Begitu pula sebaliknya, Ats-Tsauri sering mengunjungi Rabi’ah. Keduanya Saling belajar dan terlibat dalam dialog-dialog intens tentang cinta Tuhan yang sering membuat keduanya menangis dalam “khauf” (khawatir, cemas) dan “raja” (berharap akan kasih Tuhan).
Konon, pada awal perjalanan spiritualnya, Rabi’ah dibimbing seorang sufi perempuan: Hayyunah. Puisi tersebut berasal darinya. Rabi’ah suatu saat mendengarkan temannya bersenandung cinta kepada Tuhan:
Duhai Kekasihku satu-satunya.
Engkau yang memberiku kegembiraan membaca tiap malam.
Lalu, Engkau lepaskan aku ketika siang datang.
Duhai Tuhanku, aku ingin seluruh siang adalah malam agar aku selalu mesra bersama-Mu.
Cinta Rabi’ah kepada Tuhan sedemikian rupa hebatnya, sehingga ia siap menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada-Nya.
Rabi’ah al-Adawiyah menerima apa pun yang dilakukan sang Kekasih (Allah), bahkan rela jika sang Kekasih memasukkan dirinya ke dalam neraka sekalipun. []