Salah satu tradisi pesantren yang masih eksis hingga saat ini adalah Bahtsul Masail. Secara bahasa, Bahtsul Masa’il berarti pembahasan masalah-masalah. Tradisi Bahtsul Masa’il terus dilanggengkan hingga hari ini oleh berbagai pesantren di pelosok negeri.
Dalam Bahtsul Masa’il santri dituntut untuk memiliki wawasan dan pandangan yang luas mengenai suatu permasalahan. Yang menjadi rujukan utama dalam pencarian jawaban atas masalah-masalah yang dibahas dalam Bahtsul Masa’il adalah kitab klasik.
Biasanya Bahtsul Masa’il hanya dilakukan oleh santri yang sudah cukup lama belajar di pesantren karena untuk mengikuti Bahtsul Masa’il tidak hanya kemampuan membaca teks berbahasa Arab saja yang dibutuhkan, namun kemampuan analisis teks dan konteks juga menjadi modal penting dalam mencari jawaban atas berbagai permasalahan dalam Bahtsul Masa’il.
Sayangnya, meski sudah sedemikian kuat menjadi tradisi, ternyata masih banyak pesantren putri yang belum aktif melakukan Bahtsul Masa’il. Mereka memandang Bahtsul Masa’il sebagai sebuah aktivitas tingkat tinggi dan hanya dapat diikuti oleh orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi juga.
Sedangkan banyak santri putri yang menjadi korban dari kontruksi budaya patriarkhi berpikir bahwa mereka hanya dituntut untuk menjadi perempuan seutuhnya (menurut versi patriarkhi); ahli dalam kerja-kerja domestik, tidak terlalu lantang saat bersuara, lugu, alim dan harus siap menjadi pendamping suami.
Fenomena lain yang amat disayangkan lagi, meski di beberapa wilayah banyak pesantren putri yang telah aktif melakukan Bahtsul Masa’il namun masih banyak di antara mereka yang belum mengandalkan ibu nyai dan ustadahnya untuk menjadi perumus dan mushohih dalam Bahtsul Masa’il. Mereka masih mengandalkan kiyai dan ustad untuk menjadi pengambil kebijakan dalam Bahstul Masa’il.
Tidak masalah memang, siapapun yang memiliki kapasitas yang cukup sah-sah saja untuk menjadi perumus dan mushohih dalam Bahtsul Masa’il. Namun jika masalah yang dibahas menyangkut permasalahan perempuan rasanya tidak fair jika tidak ada satu pun perempuan yang menjadi perumus atau mushohih dalam Bahtsul Masa’il, karena bagaimana pun permasalahan yang menyangkut perempuan hanya dapat dipahami secara penuh oleh perempuan itu sendiri. Paling tidak, perspektif atau cara pandang dari kacamata perempuan dapat dihadirkan dalam pengambilan keputusan Bahstul Masa’il.
Saya pernah mengikuti Bahtsul Masa’il Nasional yang mengangkat permasalahan tentang kepemimpinan perempuan. Saat itu peserta Bahtsul Masa’il terdiri dari santri perempuan dan laki-laki, sedangkan Dewan Lajnah yang terdiri dari moderator, notulen, perumus dan mushohih seluruhnya adalah laki-laki. Dan saat itu, hampir seluruh peserta Bahtsul Masa’il tidak setuju jika ada perempuan yang menjadi pemimpin dalam skala nasional.
Teks-teks kitab kuning yang mereka jadikan referensi hanya memperbolehkan para perempuan memimpin dalam skala lokal. Padahal beberapa tahun yang lalu Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Apakah fakta tersebut tidak cukup untuk dijadikan bukti bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin apapun dan dimanapun?
NU sendiri, sebagai ormas agama yang menaungi banyak pesantren di Indonesia, sudah mulai terbuka dengan kehadiran perempuan dalam Bahtsul Masa’il baik dalam Muktamar maupun Munas. Salah satunya adalah Bahtsul Masa’il Munas di Lombok pada tahun 1994. Munas tersebut melegitimasi kesetaraan laki-laki dan perempuan untuk melakukan peran-peran sosial politik mereka masing-masing.
Pernah lagi, suatu hari pesantren saya akan mengadakan Bahtsul Masa’il dengan didukung sepenuhnya oleh salah satu lembaga Bahtsul Masa’il Nasional. Saat itu kami berencana akan membuat dua komisi, yaitu komisi putra dan komisi putri. Khusus untuk komisi putri, saya meminta agar Dewan Lajnah diisi oleh para nyai dan ustadah.
Namun lembaga Bahtsul Masa’il tersebut seperti sedikit kebingungan saat saya mengajukan permintaan itu. Mereka mengatakan bahwa belum ada seorang nyai pun yang berjejaring dengan lembaga mereka. Seluruh anggota mereka adalah laki-laki. Sungguh keadaan ini amat sangat disanyangkan. Padahal Indonesia memiliki lebih dari lima ratus ulama perempuan yang pada 2017 lalu mengikuti Kongres Ulama Perempuan di Pondok Kebon Jambu. Lalu, mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang masuk dalam jaringan lembaga nasional tersebut?
Jika diurai lebih luas lagi, mungkin beberapa faktor inilah yang menjadi penyebab terasingkannya perempuan dari forum Bahtsul Masa’il, baik sebagai peserta maupun sebagai Dewan Lajnah.
Pertama, anggapan bahwa perempuan memiliki kapasitas intelektual di bawah laki-laki. Para peserta Bahtsul Masa’il adalah mereka yang memiliki kapasitas intelektual dan daya kritis yang cukup tinggi. Perumus dan Mushohihnya pun demikian. Selain itu juga harus memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan dari setiap ibaroh yang ditunjukkan oleh para peserta.
Patriarkhi masih banyak mempengaruhi masyarakat kita terutama masyarakat mengengah ke bawah. Salah satu pengaruhnya, perempuan masih dianggap memiliki akal yang naqishoh (tidak sempurna) sehingga kemampuan intelektual mereka seringkali diragukan, akibatnya untuk sampai ke tingkat Bahtsul Masa’il pun sulit.
Kedua, anggapan bahwa perempuan hanya bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban domestik, sedangkan Bahtsul Masa’il adalah kegiatan dalam ranah publik. Bahtsul Masa’il biasanya tidak akan selesai dalam waktu yang sebentar. Bahkan Bahtsul Masa’il dalam tingkat tertentu bisa diadakan selama dua sampai tiga hari berturut-turut hingga larut malam. Keadaan ini membuat para perempuan yang dianggap bertanggung jawab penuh atas kerja-kerja domestik seperti mengasuh anak misalnya, akan keberatan untuk megikuti Bahtsul Masa’il.
Padahal, kewajiban mengasuh anak bukan hanya milik perempuan saja. Banyak para perempuan di luar sana yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun juga aktif dalam kegiatan-kegatan sosial kemasyarakatan karena dapat berbagi peran dalam urusan domestik dengan suami dan anggota keluarga lainnya. Saya yakin, banyak ulama perempuan yang tidak mempermasalahkan hal ini. Mereka bahkan sudah biasa mengisi berbagai kegiatan di luar rumah tanpa merasa dibebani oleh pekerjaan domestik.
Ketiga, teks-teks kitab klasik yang digunakan untuk ibaroh dalam Bahtsul Masa’il kental akan keterangan misoginis dan ketidakadilan gender sehingga seringkali menyudutkan kaum perempuan. Misalnya dalam masalah kepeminpinan perempuan, tidak banyak ulama klasik yang memperbolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Dalam masalah hukum keluarga pun perempuan lebih banyak menjadi objek dibandingkan menjadi subjek sehingga akan sulit ditemukan keterangan yang menunjukkan bahwa perempuan boleh mengambil kebijakan sekalipun dalam urusan rumah tangga. Keterangan-keterangan inilah yang terus dilanggengkan hingga saat ini dan masih sering digunakan sebagai referensi dalam Bahtsul Masa’il.
Keempat, ketidak percayaan diri para perempuan sebetulnya menjadi faktor yang cukup kuat dan dapat membuat mereka enggan untuk mengikuti Bahtsul Masa’il. Para perempuan yang telah terbiasa hanya berkecimpung dalam ranah domestik dalam jangka waktu yang cukup lama sekalipun pernah menuntut ilmu di pesantren dalam waktu yang cukup lama pula, akan merasa kesulitan ketika harus terjun ke dalam forum Bahtsul Masa’il. Minimnya waktu mereka untuk “ngaji kitab lagi” membuat mereka enggan untuk mengikuti Bahtsul Masa’il.
Padahal Bahtsul Masa’il bukan hanya soal apa kata teks kitab kuning dan siapa yang paling pintar, namun juga membutuhkan kesesuaian teks dengan konteks hari ini pada bidang-bidang tertentu yang hanya diketahui oleh ahlinya ataupun yang sudah berpengalaman. Misalnya saja permasalahan mengenai haid. Jawabannya tidak hanya terbatas pada apa yang ada pada kitab saja, namun juga membutuhkan pandangan para perempuan yang memiliki pengalaman berbeda-beda saat haid.
Terakhir, dalam AD/ART NU, tugas dan fungsi BM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mawquf (tertunda) dan waqi’iyyah (kasuistik) untuk mendapatkan kepastian hukum agama. Artinya, keputusan Bahstul Masa’il setingkat dengan lembaga fatwa yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap sangat penting meskipun sebetulnya tidak mengikat.
Jika sedemikian besar pengaruh hasil atau keputusan Bahtsul Masa’il, akan sangat disayangkan jika dalam prosesnya pengaruh perempuan sebagai bagian utuh dalam suatu kelompok masyarakat tidak diperhitungkan. Apabila hal ini terjadi, bisa jadi akan menjadi pemicu adanya ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat sehingga akan menyebabkan keadilan dan kesejahteraan tidak merata.
Melalui tulisan ini, saya berharap agar peran dan pengaruh perempuan dalam berbagai hal dapat diakui secara utuh. Karena yang dibutuhkan dalam memecahkan permasalahan di tengah masyarakat tidak hanya kecerdasan intelektual saja, namun juga pengalaman dan pemahaman konteks dengan cara pandang tertentu yang sebetulnya akan memberikan pengaruh yang amat sangat besar dalam menentukan kebijakan.
Karena itu, sudah saatnya para santriwati, ustadzah dan para ibu nyai pun mengambil posisi dalam kegiatan Bahtsul Masa’il karena memang keputusan dan hasilnya akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Bukan persoalan untuk menunjukkan siapa yang paling cerdas, namun untuk bersama-sama menemukan jalan keluar atas berbagai persoalan yang hanya dialami dan dapat dipahami oleh perempuan. Sekian. Wa Allah a’lam bi ash-shawab. []