• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Sekolah Ibu, Ibuisme Gaya Baru dan Matinya Peran Perempuan

Zahra Amin Zahra Amin
31/12/2018
in Kolom
0
Hengky Kurniawan

Hengky Kurniawan. Sumber: insertlive[dot]com

20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Peringatan 90 Tahun Pergerakan Perempuan di Indonesia baru saja berlalu, yang salah kaprah seringkali dimaknai sebagai Hari Ibu. Karena pada 22 Desember 1928 itu para perempuan perwakilan dari berbagai organisasi perempuan berkumpul di Yogyakarta. Ada yang tahu mengenai Sekolah Ibu? Saya akan membahasnya.

Sebagaimana catatan salah satu postingan yang mampir di beranda media sosial saya, para perempuan itu membincang soal buruknya nasib perempuan di era kolonial Belanda. Mulai dari perkawinan anak, kedudukan perempuan dalam perkawinan, kebangsaan, pendidikan untuk perempuan dan lain-lain.

Kata “Ibu” dipilih karena kata itu bisa menyatukan banyak perempuan dari berbagai daerah. Sekaligus membedakan dari kata “nyonya” yang digunakan oleh pemerintah kolonial. Di berbagai daerah perempuan punya banyak sebutan, mulai dari mbakyu (Jawa), Mbok (Bali), Teteh (Sunda), Uni (Minangkabau), Nok atau Yayu (Cirebon-Indramayu). Dan nama lainnya.

Begitu beragamnya panggilan untuk perempuan, maka Soekarno memilih Ibu untuk menyatukan para perempuan dari berbagai daerah dan organisasi yang lantang berteriak tentang kebangsaan, kemerdekaan dan kesetaraan (emansipasi).

“Ibu” pada masa Soekarno adalah sosok pejuang perempuan yang gigih menyerukan pentingnya kemerdekaan untuk bangsanya, tidak hanya seorang perempuan yang mengurus rumah tangga. Namun pemerintah Orde Baru telah menggeser makna Ibu menjadi lebih sempit.

Baca Juga:

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

Surat yang Kukirim pada Malam

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

“Ibu” pada masa Orde Baru adalah seorang perempuan yang lemah lembut, sibuk mengurus anak, suami dan keluarga. Sibuk berdandan untuk mendampingi suaminya, sibuk beranak-pinak menjadi mesin reproduksi anak, dan sibuk mendidik anak. Istilah sumur, dapur dan kasur benar-benar melekat pada sosok seorang Ibu.

Maka jika kini ada pemimpin daerah yang hendak meluncurkan program “Sekolah Ibu”, bagi penulis itu tak lebih dari Ibuisme baru kepanjangan tangan dari Orde Baru. Sebab dengan hanya melihat tujuan dari didirikannya Sekolah Ibu, jelas benar telah mendomestikasi perempuan dan membatasi perannya dalam kehidupan.

Tujuan itu seperti yang beredar luas dari postingan Instagram Wakil Bupati Bandung Barat Hengky Kurniawan, bahwa Sekolah Ibu akan memberikan pemahaman tentang berrumah tangga bagi perempuan. Bagaimana menghadapi suami, menahan emosi, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak yang beranjak dewasa. Malah dari Sekolah Ibu yang semu itu, Hengky berharap Ibu akan semakin sayang suami, kompak dengan anak dan menentukan keluarga bahagia.

Secara gamblang dari penjelasan Wakil Bupati Bandung Barat itu menunjukkan adanya ketidaksalingan hubungan antar manusia, suami istri serta keluarga. Ketika urusan rumah tangga hanya dibebankan pada Ibu, atau tolok ukur kebahagiaan yang hanya dilihat dari usaha Ibu. Tanpa melibatkan yang lain, sebagai individu yang mempunyai kepentingan sama.

Selain itu jika menilik pada awal konsep Sekolah Ibu, yang mengaitkan dengan tingginya angka perceraian di Kabupaten Bandung Barat, secara nyata menudingkan jari telunjuk langsung pada muka Ibu sebagai penyebab perceraian. Padahal keluarga yang harmonis, tidak dibangun secara sepihak, tapi bersama-sama antar personal yang terlibat didalamnya.

Lalu angka kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak hanya dalam bentuk fisik. Tetapi juga penelantaran ekonomi yang harus diterima Ibu, atau para suami yang kerap melalaikan tanggung jawab lantas melemparkan kesalahan pada Ibu yang dianggap tak lagi peduli pada keutuhan keluarga. Sehingga akar persoalan perceraian tidak bisa hanya ditujukan pada Ibu sebagai tersangka utama.

Wahai para pemangku kebijakan, berpikirlah adil gender sejak dalam pikiran. Jika menghendaki kehidupan yang lebih baik di masa depan, maka berilah ruang yang sama dan setara bagi Ibu, beri kesempatan ia bicara dan bagaimana agar mampu menjalani kesulitan dengan saling bekerjasama.

Domestik atau publik, Ibu punya hak untuk menyuarakan kepentingannya. Jika Sekolah Ibu akan benar-benar direalisasikan di 2019 nanti seperti yang direncanakan, maka sama saja dengan kita telah melestarikan peminggiran terhadap peran perempuan. Dan peradaban akan kembali mundur 90 tahun yang lalu, di mana ibu dianggap hanya sebagai babu, terbelakang dan bisu.[]

Tags: BandungHengky KurniawanIbuibuismekepala daerahperempuansekolah ibu
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ulama Perempuan

    Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID