Mubadalah.id – Eksistensi narasi kesetaraan gender telah menginspirasi banyak perempuan untuk berani berekspresi dan memecahkan batas-batas kaca primitif. Namun kita tak dapat menutup mata, karena masih banyak di antara kita yang menganggap sesama perempuan sebagai ancaman yang perlu kita lawan. Ada yang merasa harus saling sikut menyikut, bisakah kita saling berpegangan tangan untuk menuju puncak impian bersama?
Berdasarkan pendapatnya Shera Rindra Mayangputri, aktivis perempuan yang aktif menginisiasi program edukasi kesetaraan gender, bahwa pertemanan yang positif antara perempuan (sisterhood) di Indonesia belum terbangun secara baik. Hal ini terlihat secara mayoritas, pertemanan antar perempuan masih terpahami dalam bentuk ‘geng-gengan’, berkumpul untuk seru-seruan, dan banyaknya tuntutan untuk saling sama.
Suatu kebiasaan yang sudah dianggap maklum adalah jika ada salah satu dari mereka (anggota geng) yang tidak suka pada seseorang. Maka yang lain merasa harus ikut memusuhi orang tersebut. Jika tidak, maka akan terkucilkan. Yang lebih miris, jenis pertemanan seperti ini sudah terbentuk bahkan sejak di bangku sekolah, yang mana masih sering terjadi penindasan oleh sekelompok siswi terhadap siswi lainnya.
Kesetaraan Gender, Masihkah Ada?
Menilik kasus di atas yang lebih parahnya lagi, seseorang perempuan bisa menjadi tidak suka terhadap pencapaian perempuan lainnya, ataupun sesuatu yang melekat pada diri perempuan yang kemudian menjadi bahan untuk tidak mereka sukai, dan terkadang tidak memiliki alasan. Alih-alih ingin terlihat lebih baik, lebih spesial dan lebih segalanya. Sayangnya hal itu mereka lakukan dengan cara merendahkan perempuan lain.
Secara tidak sadar, bahwa mereka mengidap internalized misoginy. Menurut seorang sosiolog asal Amerika, Allan G. Johnson berpendapat bahwa misoginis adalah sikap budaya kebencian terhadap kaum perempuan karena mereka adalah perempuan.
Sikap benci ini paling umum oleh pria meskipun, menurut Michael Flood yang merupakan sosiolog dari Universitas Wollongong, sikap dan perilaku kebencian ini dapat juga perempuan lakukan terhadap perempuan lain, atau bahkan pada diri mereka sendiri. Sikap misoginis yang termiliki oleh perempuan inilah yang tersebut dengan internalized misogyny.
Mereka yang mengalami hal tersebut, biasanya memiliki definisi standar yang sempit dan hanya berdasarkan standar mereka. “Perempuan itu harus anggun, kamu kok banyak tingkah banget sih?” Inferioritas inilah yang membuat perempuan saling menyerang dan merendahkan untuk merasa berharga.
Di lain contoh, diceritakan dengan adanya sesama Mahasiswi (A dan B). Si A menyukai gaya style yang tidak biasa dan selalu menggunakan make-up ketika hendak berangkat kuliah. Sedangkan si B, hanya berpenampilan apa adanya dan tanpa make-up.
Kemudian Si B mengatakan kepada si A “A, kamu kok ke kampus selalu dandan dan bajunya selalu fashionable Kalau aku sih sukanya yang alami dan apa adanya. Kamu tidak percaya diri tampil apa adanya ya? Semakin orang itu ingin terlihat mencolok dari aslinya, maka semakin minder dengan diri aslinya.” Tanpa sadar, Si B telah mengalami internalyzed misoginy.
Berikut adalah contoh dari paparan Internalized misoginy
1. Membuat komentar yang meremehkan tubuh dan penampilan fisik diri sendiri dan perempuan lain (Body Shaming) atau sebaliknya, bisa juga terjadi tidak pada fisik, namun pada keberhasilan atau kesenangan yang terasa.
2. Menggunakan ungkapan-ungkapan seperti, “Aku nggak seperti perempuan lain,” atau “Aku lebih senang berteman dengan laki-laki daripada perempuan,” atau “Aku lebih suka warna hitam, tidak seperti perempuan lain yang menyukai warna-warna cerah” hal ini yang dapat mendukung stereotip gender.
3. Memandang perempuan lain sebagai saingan atau musuh dalam situasi sosial dan profesional untuk mendapatkan perhatian dan persetujuan laki-laki.
4. Menghalangi perempuan lain mewujudkan impian mereka dan memenuhi potensi mereka yang lebih tinggi.
5. Bahkan dalam bentuk pembelaan sekalipun, dengan membela, membenarkan, dan memaafkan tindakan misogyny atau pelecehan. Baik terhadap diri sendiri maupun perempuan lain. Misalnya dengan berkata, “Ya wajar lah kalau perempuan itu terlecehkan jika berpakaian seperti itu” Dan masih banyak lagi paparan tentang internalized misoginy.
Dampak negatif internalized misoginy
Dampak negatif dari internalized misoginy adalah seseorang yang direndahkan bisa kehilangan kepercayaan diri atau mengalami stress. Sementara sang pelaku lambat laun bisa dipastikan mengalami gangguan kesehatan mental. Ini adalah sebuah keterkaitan yang saling merugikan.
Kita perlu menghilangkan paparan internalized misogyny ini dengan mengubah cara pandang kita terhadap suatu gender. Kita perlu memahami bahwa setiap orang berhak menjadi apapun yang mereka inginkan. Lalu abaikan pemikiran seksis dan standar-standar akan bagaimana seharusnya perempuan bersikap dan berperilaku. Dengan mengubah ini, kita dapat berhenti menjustifikasi dan merendahkan terhadap sesama perempuan. Lalu kita bisa memulai untuk saling memberikan dukungan satu sama lain.
Sudah sepantasnya kita menyadari bahwa kita (perempuan) berada dalam masalah yang sama. Jangan saling menghina dan merendahkan, sudah seharusnya kita terus saling menghargai individualitas dan keunikan masing-masing. Yuk, sama-sama saling dukung satu sama lain untuk mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya. []