Kita tidak bisa menghindari konflik dalam kehidupan sosial. Namun jika kita menemukan sebuah konflik, menghadapi dan menyelesaikannya dengan sebaik mungkin adalah solusi untuk tidak menumpuk konflik baru yang berkepanjangan. Menyisir akar permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik, merupakan tujuan utama bagi siapa saja yang menginginkan perdamaian, termasuk para perempuan di Aceh pada masa itu.
Dalam konteks Aceh yang dipaparkan oleh Ibu Nyai Ummi Hanisah, S.AG dalam video Youtube berdurasi 11:28 menit tersebut menceritakan, bagaimana perempuan-perempuan juga terdampak luar biasa besar dari konflik antara GAM dan TNI. Para perempuan mencari nafkah dan menjadi orang tua tunggal karena pada masa itu suaminya pergi ke gunung melarikan diri, bahkan ke Malaysia.
Pada masa itu, tokoh perempuan juga mengalami kekerasan penculikan karena hanya memberi makan, mereka tidak tahu siapa yang diberi makan, TNI atau GAM. Yang mereka tahu hanyalah kasih untuk memberi sesuap makan bagi orang-orang yang tengah kelaparan ditengah konflik.
Para perempuan Aceh masa itu tentu tidak tinggal diam melihat kondisi lingkungannya semakin mencekam karena konflik. Pada tanggal 22 april tahun 2000, musyawarah besar pertama kali dilaksanakan oleh seluruh perempuan Aceh. Semangat 500 tokoh perempuan Aceh berkumpul ke provinsi untuk membahas perdamaian Aceh melalui negosiasi damai. Usaha ini tidaklah sia-sia. Para tokoh perempuan berhasil melakukan negosiasi damai.
Salah satu tokoh perempuan Aceh yang sangat aktif memperjuangkan dan menyuarakan perdamaian dengan melakukan negosiasi saat itu adalah Shadia Marhaban. Perempuan kelahiran Aceh 1969 ini secara naluri sebagai perempuan ingin mewujudkan perdamaian disaat konflik terjadi di Aceh. Shadia bernegosiasi keras dengan GAM pada tahun 2005 di Helsinki, Finlandia. Yang mendapatkan hasil baik dengan berakhirnya konflik senjata di Aceh.
Begitu besar peran perempuan untuk memperjuangkan perdamaian karena sifat alami perempuan yang penuh perasaan tanpa mengesampingkan logika, rasa ingin merawat kebaikan dan jiwa yang welas asih. Semangat tidak pernah luntur karena cita-cita yang begitu besar untuk mengupayakan perdamaian di Aceh pada masa itu. Sejarah telah mencatat bahwa perempuan Aceh telah menjadi promotor perdamaian antara GAM dan TNI. Perempuan menjadi agen perdamaian sangat mungkin terjadi, kesadaran perempuan untuk hidup harmoni menjadi kekuatan perempuan mengupayakan perdamaian.
Menyadari benar kekuatan perempuan dalam setiap sektor, peran perempuan dalam membentuk agen perdamaian dalam lingkup kecil seperti dalam rumah, menjadi upaya untuk membentuk karakter keluarga yang cinta damai. Anak-anak diajarkan untuk merawat perdamaian dan menyelesaikan konflik sedini mungkin jika tengah menghadapinya, tanpa bekas kekerasan dan dendam berkepanjangan.
Peran perempuan sangat penting dan harus disadari bersama untuk mendukung para perempuan dalam melakukan segala hal positif di mana saja, baik di wilayah domestik dalam keluarga atau publik serta untuk kemaslahatan bersama masa depan umat manusia. []