Mubadalah.id – Taliban kembali mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada 12 Agustus 2021, lalu. Pengambilan alih kekuasaan tersebut, sudah terjadi untuk kedua kalinya. Media-media arus utama, internet dan jejaring media sosial banyak menyoroti dan memberitakan euforia “kemenangan‟ Taliban ini. Terlepas dari soal narasi “kemenangan Islam‟, banyak pihak melihat peristiwa pengambilalihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban ini akan berdampak pada situasi keamanan dan kebebasan masyarakat sipil, terutama perempuan.
Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, peristiwa ini seperti membawa kembali Afghanistan di masa lalu di mana Taliban berkuasa pada 1996-2001. Saat itu kelompok Taliban menerapkan aturan ketat sesuai dengan tafsir mereka atas hukum syariah. “Sebagai contoh, Taliban memaksa para perempuan untuk menutupi diri dan hanya diperkenankan keluar rumah dengan ditemani kerabat laki-laki,” katanya, Rabu (8 September 2021).
Banyak perempuan saat itu, lanjut dia, mengalami kekerasan, dipaksa menikah, dan dilarang bersekolah. Cerita Bibi Aisha, seorang perempuan muda yang dipaksa menikah oleh Taliban pada usia 14 tahun, mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dan tidur di kandang. Wajahnya menjadi cover majalah TIME saat itu.
Cerita itu menggugah dunia, dan menjadikannya simbol kelukaan perempuan Afghanistan di bawah rezim Taliban. Rasa khawatir dan tanda tanya besar mengenai nasib perempuan di Afghanistan ke depan dijawab oleh Taliban. Dalam sebuah konferensi pers perdana, juru bicara Taliban menegaskan bahwa hak-hak perempuan akan dilindungi dalam batas-batas hukum Islam.
“Pernyatan tersebut membuat sebagian warga merasa bahwa Taliban dengan wajah baru saat ini akan tampil melindungi hak-hak perempuan untuk mendapat pekerjaan dan pendidikan, meskipun mereka belum tahu bagaimana implementasinya ke depan,” terangnya.
Namun, ungkapnya, banyak perempuan Afghanistan meragukan janji tersebut. Mereka sangat khawatir Taliban kembali menerapkan aturan hukum yang represif terhadap mereka. Berbagai organisasi dan masyarakat internasional juga menyampaikan keprihatinan dan kekhawatiran serupa. Di sisi lain, saat ini kita sedang menunggu pernyataan resmi Taliban tentang bentuk pemerintahan baru yang banyak disebut sebagai Islamic Emirate of Afghanistan.
Meski demikian, menurutnya, pemerintahan baru ini harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Pertama, menentukan konstitusi baru yang lebih mengarah kepada perlindungan rakyat Afghanistan. Kedua, menjalankan keadilan transisi dan rekonsiliasi agar orang-orang yang pernah menjadi korban mendapatkan keadilan. Ketiga, mencegah keberulangan konflik, dan menghindari impunitas. Keempat, untuk mendapatkan kepercayaan publik, Afghanistan juga harus menjalankan proses disarmament, demobilization dan reintegration, di mana peletakan senjata, menghentikan mobilisasi masa bersenjata, dan memulai reintegrasi.
“Di Indonesia, perbincangan tentang kemenangan Taliban ini sangat marak, baik yang pro maupun kontra. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar adalah contoh yang ideal bagaimana sistem pemerintahan (demokrasi) sejalan dengan Islam,” pungkasnya.
Maka, ungkapnya, suara-suara dari Indonesia banyak diharapkan memberikan dukungan untuk Afghanistan yang lebih inklusif, terbuka, dan menghargai hak-hak sipil terutama perempuan. Menyikapi kondisi Afghanistan di tangan Taliban ini, AMAN Indonesia bersama jaringan masyarakat sipil bermaksud menyelenggarakan Open Mic bertema “Sikap Indonesia Untuk Perlindungan Perempuan di Afghanistan: Perspektif “Perempuan” Indonesia”. Agenda akan dilaksanakan pada pukul 13.00 – 15.00 WIB, Sabtu (11 September 2021) .
Open Mic akan menghadirkan perempuan pegiat perdamaian dari berbagai latar belakang baik dari kalangan akademisi, aktivis, pengamat politik, jurnalis, pemuda dan perempuan arus bawah untuk memberikan sumbangan pemikiran, agar pemerintah dapat melakukan hal strategis untuk Afghanistan lebih baik, terutama terkait perlindungan perempuan dan anak. []