Mubadalah.id – Sejak Otonomi Daerah (Otda) diberlakukan paska reformasi 1998, negara ini memberi keleluasan daerah provinsi maupun kabupaten, untuk mengatur kebijakannya sendiri. Namun di sisi lain Otda yang diterapkan justru menimbulkan keresahan. Karena banyak melahirkan perda syariah. Seharusnya peraturan daerah yang ada memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, ini sebaliknya malah membuat kegelisahan, terutama bagi perempuan yang di antara perda itu banyak mengatur tentang personifikasi perempuan.
Sepuluh di antaranya mengatur tubuh perempuan melalui cara berpakaian, seragam dari anak sekolah, mahasiswa hingga bekerja.
Berdasarkan data yang bisa saya himpun, terutama di Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2012 ada 41 perda syariah. Sepuluh di antaranya mengatur tubuh perempuan melalui cara berpakaian, seragam dari anak sekolah, mahasiswa hingga bekerja. Kemudian pengaturan perbuatan asusila dan pemberantasan pelacuran, yang menjadikan seolah-olah perempuan sebagai akibat dari kerusakan moral yang terjadi di masyarakat.
Pada masa perang dulu, jika ingin menguasai satu wilayah maka tundukkan dulu kaum perempuannya agar bisa leluasa menjadi penguasa. Hari ini penaklukan terhadap perempuan dilakukan dengan mendomestifikasi peran perempuan, sehingga perempuan menjadi lemah dan bodoh, tidak punya posisi tawar terhadap sistem. Ruang publik menjadi terlalu berbahaya bagi perempuan, maka pergerakannya dibatasi dengan semua aturan itu.
Persoalan moralitas yang dikaitkan dengan tubuh perempuan, menurut saya itu tidak benar karena akhirnya perempuan hanya dijadikan objek seksual belaka, tidak memandang kualitas intelektual yang dimiliki. Jika pikiran kita hanya sekitar payudara dan selangkangan saja, bagaimana akan mampu membuat program yang riil untuk kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Apa indikatornya membatasi ruang gerak perempuan dengan peningkatan nilai indeks pembangunan manusia?.
Ditambah dengan adanya formalisasi agama yang dibangun dalam Perda Syariah, pada akhirnya akan menguntungkan pemilik modal, yang dikemas dalam bentuk industrialisasi agama. Peran perempuan akan semakin terpinggirkan dan hanya menjadi konsumen belaka. Fakta ini bisa dilihat dari bisnis busana muslimah, bahkan sampai ada jilbab bersertifikat halal. Pelembagaan perjalanan haji, umroh, zakat, infak, sedekah, dan aqiqah. Paket akad kawin, resepsi dan catering pernikahan. Sehingga secara tidak langsung pula memberangus tradisi lokal seperti kenduren, atau ngobeng dan majengan dalam bahasa Indramayu-Cirebon.
Di samping itu, dalam konstitusi negara UUD 45 pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia yang dijelaskan dalam beberapa item 28a hingga 28j beserta ayat-ayatnya. Perda syariah tidak selaras dengan UUD 45. Atau jika melihat konstitusi yang lebih tinggi pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Mengapa demikian?. Karena setiap aturan yang dibuat harus disesuaikan dengan konstitusi negara dan kesepakatan Internasional. Jika tidak, maka setiap perda yang bertentangan harus dikaji ulang bila perlu langsung dicabut.
Berikutnya dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs), yang merupakan agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi, lagi-lagi perda syariah tak sejalan. Ini bisa dilihat pada tujuan kelima pembangunan berkelanjutan, yakni menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh perempuan. Lalu pada tujuan keenam belas yaitu mendorong masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan institusi yang efektif, akuntabel di seluruh tingkatan.
Silang sengkarut dan kontroversi Perda Syariah baiknya segera diakhiri. Negara juga harus hadir dan bersikap tegas tentang kebijakan ini, agar semua Warga Negara Indonesia baik lelaki maupun perempuan mampu memberi kontribusi nyata dalam pembangunan negara ini, tanpa merasa takut lagi akan melanggar Perda Syariah. Pun memberikan ruang pada budaya lokal, dengan membatasi atau menghilangkan sama sekali proyek industrialisasi agama yang menguntungkan hanya bagi segelintir orang.
Jika dilihat dari perspektif mubadalah pada Perda Syariah, tidak ada relasi yang menyenangkan secara sosial karena perempuan yang paling banyak dirugikan. Perempuan masih dijadikan subordinat lelaki, dan jelas budaya patriarki masih mendominasi dalam setiap kebijakan yang ada. Domestifikasi peran perempuan pun harus dihentikan, sebab Perda Syariah bukan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak.
Selain itu, pada konsep kebahagiaan sebagai hak setiap orang, Perda Syariah belum mampu memberikan jaminan bahagia bagi setiap individu, dimana tolok ukurnya adalah rasa aman dan nyaman yang pure/murni berangkat dari kesadaran sendiri. Bukan rasa aman yang terpaksa atau takut karena ancaman serta tekanan di bawah pengaruh penerapan perda syariah.
Kondisi ini akan mengakibatkan rasa traumatik, tekanan psikologis yang terus menerus dalam jangka panjang akan mengakibatkan efek bom waktu. Setiap saat bisa meledak tanpa kita sadari. Seperti balon udara yang terus ditiup dan akhirnya meletus karena tak bisa menahan volume udara yang masuk. Mungkin begitu kira-kira perumpamaannya pada perda syariah yang dipaksakan berjalan di beberapa daerah di Indonesia.
Sebagai catatan pamungkas, untuk setiap pemangku kebijakan di semua level ada baiknya pertama memberikan ruang bagi perempuan menyampaikan aspirasinya, agar peraturan yang dibuat mampu mengakomodir kepentingan perempuan, memenuhi hak-hak perempuan dan memperhatikan kesetaraan gender. Kedua, mengubah persepsi tentang tubuh perempuan, bukan hanya objek seksual semata, tetapi sama-sama makhluk Allah yang mengemban misi sebagai khalifah di muka bumi.[]