Mubadalah.id – Baru-baru ini, dunia baru saja memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Peringatan tersebut jatuh setiap 10 September dan ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2003. Meski telah diperingati setiap tahunnya, pandangan negatif masih saja melekat pada kasus bunuh diri. Sehingga, stigma soal bunuh diri harus kita hilangkan untuk cegah jatuhnya korban.
Permasalahan kasus bunuh diri ini tidak dapat dianggap angin lalu. Korban terus saja berjatuhan tanpa henti. Kembali, menurut data WHO, tercatat telah ada 703.000 jiwa yang meninggal karena memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tragisnya, setiap 100 kematian di dunia, satu di antaranya karena bunuh diri.
Terlintasnya pikiran ingin menyudahi kehidupan di dunia ini secara umum akibat masalah stres yang ia hadapi. Diri tidak dapat mengurai permasalahan tersebut. Sulit untuk memanajemen emosi dan masalah sehingga yang tampak adalah jalan buntu. Pada tahap ini korban mengalami depresi parah dan tidak memiliki pilihan lain.
Stigma Bunuh Diri
Hal yang memperparah situasi ini adalah pandangan negatif yang ada di lingkungan kita. Salah satu stigma yang cukup erat adalah menanyakan perihal keinginan bunuh diri pada seseorang malah semakin terdorong untuk melakukannya. Lalu, menanyakan keadaan seseorang yang menunjukkan isyarat bunuh diri juga harus kita hindari karena malah mendorong ke arah sana.
Padahal, menghindari atau menyela pada situasi ini tidak kita anjurkan. Karena dengan bertanya, atau mengungkapkan apa yang ia rasakan justru dapat mendorong pencegahan.
Ini pula yang disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Prof Budi Anna Keliat, pada acara Kementerian Kesehatan yang penulis ikuti. Menurutnya, kalau ada yang membahas terkait kematian atau bunuh diri, jangan kita hindari.
Justru, ia menyarankan agar orang tersebut kita dengarkan seutuhnya. Sehingga tahu, apa yang menjadi permasalahan dari orang tersebut. Dengan mengetahui masalah yang ia hadapi, pendengar bisa melakukan upaya pencegahan.
Akhiri Stigma pada Penyintas
Sayangnya, saat ini masih saja orang yang mencoba menghindar. Atau menganggap orang yang berbicara soal kematian atau bunuh diri adalah bentuk ‘drama queen’. Parahnya lagi, memberikan sebuah judgmental pahit seperti ah kamu kurang iman atau kamu sih, jauh dari Tuhan.
Pandangan negatif atau stigma ini justru membuat mereka merasa semakin terpuruk. Dampak lain dari mengakarnya pandangan negatif pada bunuh diri adalah korban merasa enggan atau takut untuk terbuka.
Dianggap lemah, tidak beragama, tiada iman dan tidak bersyukur menjadi bentuk tudingan yang masih banyak kita temukan pada masyarakat kita. Alhasil, mereka yang memiliki pikiran bunuh diri menjadi semakin tertutup.
Padahal bisa saja, di dalam hati mereka sangat ingin bercerita dan ‘meminta pertolongan’. Menurut Prof Anna, masih di acara yang sama, korban sebelum mengakhiri hidupnya pernah berada di tahap cry for the help. Dalam artian meminta pertolongan dalam diam.
Tidak hanya pada korban, stigma turut menyambangi keluarga mereka. Bukan mendapatkan simpati atau penguatan dari sekitar, masyarakat masih berpikir jika tindak bunuh diri karena ‘ketidakmampuan’ keluarga.
Sehingga ada rasa bersalah, malu, menyalahkan diri dan sebagainya. Stigma negatif dari bunuh diri ini sudah semestinya kita hilangkan. Karena selain menghambat upaya pencegahan, stigma juga menghambat pemulihan korban.
Bagaimana tidak? Mereka yang misalnya selamat dari upaya bunuh diri menjadi tidak berani mencari pertolongan. Jelas jika mereka yang usai melakukan percobaan bunuh diri, kondisi kesehatan mentalnya belum membaik.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Ucapan buruk, hingga kalimat berisi tudingan yang tidak mengenakkan tentu saja menurunkan proses pemulihan kesehatan mental penyintas. Enggan mengakses layanan kesehatan mental karena takut didiskreditkan oleh sosial masyarakat.
Lantas apa yang dapat kita lakukan ketika menghadapi orang yang baru saja melakukan percobaan bunuh diri, atau menunjukkan isyarat bunuh diri? Prof Anna, langkah utama yang perlu kita lakukan adalah mendengarkan secara utuh.
Tidak menyela atau memotong pun bersikap tidak percaya. Sehingga ketika mendengarkan cerita secara lengkap, diri tahu apa yang harus diperbuat. Jangan sekali-kali menyebut apa yang ia ungkapkan tidak masuk akal, dan jangan menghindar.
Oleh karenanya dapat kita simpulkan, jika sudah saatnya menghilangkan stigma yang masih beredar di tengah kita terkait bunuh diri. Karena dapat memberikan banyak dampak negatif. Hilangnya pandangan negatif di sekitar kita juga dapat menghentikan jatuhnya korban bunuh diri. []