Di tahun 2018, kita dikagetkan dengan pawai anak taman kanak-kanak yang menggunakan cadar dan membawa senjata di Probolinggo. Kita bertanya-tanya apakah radikalisme sudah masuk sampai ke kurikulum taman kanak-kanak?
Hal tersebut mengherankan karena hal itu dilaksanakan ketika merayakan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2018. Ditambah juga karena itu dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari TK Kartika binaan organisasi istri tantara Angkatan darat.
Penelitian Ibu Lies Marcoes dari Rumah Kita Bersama menunjukan bahwa memang terdapat pendisiplinan agama di lembaga pra-sekolah. Ibu Lies Marcoes menganalisis materi ajar, nyanyian serta gerak motorik anak-anak. Hasilnya, memang ada ajaran intoleran dan radikal melalui penerapan disiplin agama di lembaga pra-sekolah.
Misalnya, Ibu Lies menganalisis lagu-lagu yang diajarkan seperti lagu tepuk tangan anak soleh. Dimana dalam lagu itu terdapat gerakan motorik tangan kanan menyilang leher seperti menggorok leher. Serta ada narasi “kafir kafir no” dalam lagu tersebut.
Lagu balonku ada lima juga diganti lirik di lembaga pra-sekolah ini. Lirik “meletus balon hijau (dor!)” diganti dengan lirik “siapa bilang tiga (dor!)”. Dalam lagu balonku itu, Ibu Lies menganalis gerakan motoriknya adalah menutup telinga ketika terdapat kata “dor”. Namun dalam lagu yang sudah dirubah liriknya, gerakan motorik kata “dor” adalah menembak, dimana telunjuk dan jempol menyerupai pistol yang diarahkan ke orang lain.
Penelitian Moh. Hasim dari Balai Litbang juga menggambarkan hal yang sama. Dia meneliti terkait buku ajar pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar. Moh. Hasim mengkritik bahwa dalam buku ajar itu masih fokus membangun kesalehan personal, sementara tema akhlak masih sangat universal belum mengarah pada pembentukan kepribadian yang plural.
Moh. Hashim bahkan menggaris bawahi bahwa bahan ajar pendidikan agama Islam di sekolah dasar itu masih sarat dengan muatan materi yang memancing pemahaman agama yang kurang toleran. Contoh yang pertama adalah adanya pengenalan bahwa konsep kafir adalah lawan dari konsep muslim. Konsep tersebut dapat memberikan ilham kepada siswa bahwa orang kafir adalah orang yang salah dan pantas masuk neraka.
Kedua, bahan ajar itu memunculkan pertentangan ajaran antar agama. Contohnya adalah terkait Nabi Isa as. Di muslim Nabi Isa dipercaya tidak mati disalib, sedangkan Nasrani meyakini bahwa Nabi Isa mati untuk menebus dosa-dosa pengikutnya. Hal itu tentu saja dapat menyebabkan perbedaan pendapat yang tidak berkesudahan antara muslim dan Nasrani.
Ketiga, bahan ajar pendidikan agama Islam itu menggugah semangat militansi yang sempit. Contoh adalah tentang dituliskannya kisah Siti Masyithah yang rela dibakar di bejana panas untuk mempertahankan agamanya. Hal ini dapat memacu motivasi anak-anak untuk berjihad dengan mengorbankan nyawa mereka, dimana dalam negara berbasis Pancasila, hal tersebut sudah tidak relevan.
Keempat, buku-buku ajar ini memuat kisah-kisah peperangan. Hal tersebut dapat memberikan rangsangan kepada anak untuk mengenal kekerasan dan pemusuhan. Kelima, bahan ajar tersebut mengenalkan konsep jihad yang sempit. Dimana jihad dalam buku PAI tersebut digambarkan dengan pengorbanan jiwa untuk agama.
Dari penelitian-penelitian tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ancaman radikalisme benar hadir, bahkan di lembaga-lembaga formal. Tidak heran jika saat ini kita dapat menemui orang yang mengatakan sesuatu atas nama agama akan tetapi memuji berbagai kekerasan. Mengutip Ibu Lies Marcoes, hal tersebut sudah serupa dengan “panopticon” atau teropong pengawas untuk mendisiplinkan agama di lembaga pendidikan.
Selain pra-sekolah dan sekolah dasar, kita juga dapat dengan mudah menemui ajaran-ajaran yang mendekati intoleransi di SMP dan SMA. Bahkan saat ini, banyak SMP Negeri atau SMA Negeri yang mewajibkan siswa perempuannya memakai kerudung serta mengikuti kegiatan ibadah mayoritas (mengaji, peringatan hari besar Islam, dan lain-lain). Padahal itu adalah sekolah negeri, dimana seharusnya siswanya bersifat heterogen.
Tentu kita mengharapkan perubahan sistematik dan terukur untuk kebaikan pendidikan kita ke depan. Namun rasanya itu tidak mudah, apalagi dengan perkembangan sosial politik yang kian hobi mengatakan sesuatu atas nama agama. Kita harus berbenah, namun sama-sama. Karena jangan-jangan, ada pengaruh kita juga dalam membentuk masyarakat yang kian religius tapi palsu itu. []