• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Tokoh Profil

Suwarni Pringgodigdo: Perempuan yang Mengkritik Soekarno dan Menentang Poligami

Suwarni melihat manfaat monogami dari sisi yang lain. Menurutnya, monogami akan membawa keselarasan karena istri tidak harus bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga

Hilda Rizqi Elzahra Hilda Rizqi Elzahra
25/07/2023
in Figur
0
Suwarni Pringgodigdo

Suwarni Pringgodigdo

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suwarni Pringgodigdo atau yang akrab kita sapa Nining adalah seorang perempuan Jawa yang berani mengemukakan pendapat di muka umum sebelum kemerdekaan. Keberaniannya mengkritik Soekarno dan mendebat siapa saja yang melakukan poligami.

Perempuan yang lahir pada 31 Maret 1910 ini terkenal sebagai salah satu perintis dan pemimpin gerakan perempuan. Ia terlahir dari keluarga yang kurang mampu dengan enam bersaudara. Keadaan ekonomi yang kekurangan tidak pernah menyulutkan api semangat belajarnya untuk menggapai cita-cita.

Ia pribadi yang sangat mencintai ilmu. Di usia yang ke dua belas tahun, ia sudah mengkhatamkan buku Multatuli (Douwes Dekker) yang membahas keserakahan Belanda dan kejahatan pemerintah kolonial yang ada di pertengahan abad ke 19.

Ketika menginjak usia remaja, ia berperan aktif di organisasi perempuan yang bernama Jong Jawa dan memimpin putri Indonesia. Berangkat dari peristiwa itulah ia senang membaca buku-buku feminisme dan bacaan yang berpihak pada kaum perempuan.

Suwarni adalah perempuan Jawa yang langka di masanya. Citra dia sebagai perempuan yang tegas dan berani untuk mengemukakan pendapat di muka umum.

Baca Juga:

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

Film Bida’ah: Ketika Perempuan Terjebak Dalam Dogmatisme Agama

Al-Qur’an Melarang Pernikahan Poligami

Film Bida’ah: Menelanjangi Realita Poligami di Balik Jubah Religiusitas

Perdebatan Soekarno dan Suwarni

Pada tahun 1927, terlaksana kongres pemuda Indoenesia yang Sultan Syahrir pimpin. Kongres tersebut dibumbui perdebatan antara Soekarno dan Suwarni. Di mana ia yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua putri Indonesia, dibentak oleh Soekarno dengan Bahasa Belanda.

Sebelumnya, ia mengkritik Soekarno yang berpidato menggunakan Bahasa Belanda (Dutch) yang ia campur dengan Bahasa Indonesia-Melayu. Ia mengkritik lantaran pada kesepakatan sebelumnya, setiap perundingan para pemuda ia haruskan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantaranya.

Melihat reaksi Soekarno, Sjahrir langsung mengetuk palu dan ia meminta kepada Soekarno agar tidak mengeluarkan kata-kata kasar kepada perempuan Indonesia.

Soekarno kemudian meminta maaf kepada seluruh peserta kongres dan terlebih kepada Suwarni. Tidak hanya itu, ia juga menentang keras keputusan Aisyiyah tentang poligami (1932). Keputusan Aisyiyah tentang poligami beralasan untuk mengurangi pelacuran. Suwarni melawan poligami berdasarkan harapan untuk mendapatkan pernikahan yang aman dan stabil.

Sebuah buku yang Susan Blackburn tulis dengan judul Women and the State in Modern Indonesia (2004) pada halaman 121 ia mengemukakan bahwa sosok Suwarni adalah “Perempuan yang sangat pandai berbicara dan tidak mudah terpengaruh orang lain, dia melawan poligami berdasarkan harapan untuk mendapatkan pernikahan yang aman dan stabil.”

Menginsiasi Lahirnya Putri Sedar

Di tahun 1930, ia mereorganisasi perkumpulannya Putri Indonesia kemudian melahirkan Istri Sedar. Organisasi tersebut memiliki tujuan untuk menyadarkan para perempuan tentang nilai-nilai patriarki yang selama ini membelenggu kaumnya.

Dalam Kongres Perempuan Indonesia II yang diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta, Suwarni berdebat dengan salah satu urusan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Untuk kesekian kalinya ia secara terbuka menyatakan tidak setuju terhadap praktik poligami.

Pada saat itu pemerintah kolonial sebenarnya mempunyai proyek ordonasi melalui pendaftaran perkawinan yang mengutamakan praktik monogami dan melarang poligami. Namun sebelum peraturan itu pemerintah kolonial sahkan, rancangan tersebut diprotes oleh sejumlah partai politik dan organisasi masyarakat salah satunya Nahdlatul Ulama.

Proyek ordonasi memanglah tidak bermaksud untuk melindungi perempuan pribumi, tetapi untuk melarang perkawinan campuran yang pada saat itu banyak terjadi antara perempuan Eropa dan laki-laki Muslim.

Namun, Suwarni melihat manfaat monogami dari sisi yang lain. Menurutnya, monogami akan membawa keselarasan karena istri tidak harus bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.

Baginya, pernikahan seharusnya melahirkan kesenangan antar kedua belah pihak, baik istri maupun suami. Pemikirannya ini merupakan import dari Suffragist Eropa awal abad ke-20, seperti Emmeline Pankhurst dan Alleta Jacobs.

Menentang Praktik Poligami

Pemikirannya tersebut dianggap telah menentang nilai yang ada pada masyarakat Jawa. Ia dianggap sebagai sosok perempuan “kebablasan” dalam menuntut hak perempuan. Penilaian masyarakat yang seperti itu tidak membuat semangatnya luntur untuk terus menentang praktik poligami.

Di saat yang sama, ia juga melahirkan biro konsultasi masalah perkawinan. Ia semakin banyak menjumpai perempuan yang menderita karena poligami. Dari pembentukan biro konsultasi tersebut, membuat pandangannya semakin lebar akan kejamnya poligami dan membuat tekadnya kuat untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan

Karena ia merasa nama Istri Sedar hanya spesifik untuk kalangan istri saja, maka pada tahun 1950 Soewarni kembali merombak organisasinya menjadi Gerakan Wanita Sedar atau GERWIS. Di mana semula hanya kalangan istri. Di tahun 1954, mereka merombak peraturan dan nama GERWIS menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia).

Seiring berjalannya waktu, gerakan tersebut semakin dekat dengan Soekarno. Perdebatan antara Soewarni dan Soekarno di masa lalu tidak menjadi penghalang. Pasca proklamasi, Soekarno memerintahkannya untuk menghimpun kaum perempuan agar turut serta memperjuangkan kemerdekaan.

Setelahnya, ia menjadi perempuan pertama dan satu-satunya yang menduduki 11 anggota dewan pertimbangan agung pada tahun 1945. []

 

 

 

 

 

 

 

Tags: Feminisfeminis indonesiapoligamiSuwarni Pringgodigdotokoh feminis indonesia
Hilda Rizqi Elzahra

Hilda Rizqi Elzahra

Mahasiswi jelata dari Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid, pegiat literasi

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Rasuna Said

Meneladani Rasuna Said di Tengah Krisis Makna Pendidikan

5 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version