Mubadalah.id – Kitab “Turjumân al-Asywâq” (Tafsir Kerinduan), karya al-Syeikh al-Akbar (maha guru terbesar), Ibnu Arabi. Ia berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda: Thawîl, Kâmil, Wafîr dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah kitab ini ditulis mendahului dua kitab besarnya : Al-Futuhat al-Makiyyah” dan “Fushush al-Hikam” atau sesudahnya. Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa dalam kitab ini Ibn Arabi memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.
“Turjumân al-Asywâq” ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibn Arabi banyak menimba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan kitab ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al-Nisa (kebanggaan kaum perempyan), saudara perempuan Syaikh Abu Syuja’ ibn Rustam ibn Abi Raja al-Ishbihani. Perempuan ini seorang sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy” (kumpulan hadits yang dihimpun Imam Tirmidzi). Kedua, Qurrah al-Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf, memutari Ka’bah. Ibn Arabi menceritakan sendiri pengalaman pertemuannya dengan perempuan itu:
Ketika aku sedang asyik tawaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat (al-raml), melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih.
ليت شعرى هل دروا اي قلب ملكوا
وفؤادى لو درى. اي شعب سلكوا
اتراهم سلموا. ام تراهم هلكوا
حار ارباب الهوى. فى الهوى وارتبكوا
Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki
O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui
Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa
Para pecinta bingung akan
cintanya sendiri
Dan bimbang
Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutera menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, aduhai, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar begitu sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya menjulang, budinya begitu halus.
Begitu usai aku menyampaikan syair itu, perempuan itu mengatakan kepadaku:
عجبا منك. وانت عارف زمانك تقول مثل هذا
Aduhai tuan, kau telah memesonaku
Engkaulah kearifan zaman yang bicara seperti ini.
Selanjutnya mengalirlah dialog antara kedua orang ini dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi dan dengan keramahan yang anggun. Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibn Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah itu ia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah al-Ain (cahaya mata) lalu ia pamit pulang dan melambaikan tangan sambil mengucapkan “salam” perpisahan lalu pergi entah ke mana. Dan Ibn Arabi pun terpana. Katanya, “Lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa.”
Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizham (Lady Nizham), anak perawan Syaikh Abu Syuja’. Dia biasa dipanggil “Ain al-Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi begitu terpesona dengan perempuan ini. Pujian-pujian kepadanya terus mengalir deras tak tertahankan, “Jika dia bicara semua yang ada menjadi bisu. Ia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan kecerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja.”
Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa kitab “Tarjumân al-Asywâq” merupakan refleksi-refleksi kontempelatif Ibn Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan maha elok itu. Keterpesonaan ini sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nizham diungkapkan dengan jelas dalam syairnya dalam buku ini:
طال شوقى لطفلة ذات نثر
ونظام ومنبر وبيان
من بنات الملوك من دار فرس
من أجل البلاد من أصبهان
هى بنت العراق بنت إمامى
وأنا ضدها سليل يمانى
لو ترانا برامة نتعاطى
أكوسا للهوى بغير بنان
هل رأيتم يا سادتى أو سمعتم
أن ضدين قط يجتمعان
والهوى ببيننا يسوق حديثا
طيبا مطربا بغير لسان
لرأيتم ما يذهب العقل فيه
يمن والعراق معتنقان
Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan
Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku ?
O, betapa jauhnya
Moyangku dari Yaman
Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghidangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari
Adakah, kalian, wahai tuan-tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu
Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata
Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan
Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan
Puisi-puisi di atas seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibn Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharamîy) terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizham. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah simbol-simbo dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di atas, Ibn Arabi, oleh sebagian orang, boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan Ibn Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikis. Katanya, “Jika saja tidak mengkuatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap dengan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan.”
Akan tetapi para pengagumnya yang fanatik menolak tafsir ini. “Tidak benar Ibn Arabi berpikir tentang hasrat-hasrat seksual seperti ini. Ungkapan-ungkapan Ibn Arabi, menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika, “Kontemplasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya, terlampau jauh dari segala kebutuhan alam semesta. Maka, bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan.” Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontemplasi spritualitas Ketuhanan Ibn Arabi seperti ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab “Turjumân al-Asywâq” ini rasanya amat sulit untuk dapat dipahami, kecuali, meski belum tentu juga, dengan membaca Syarh (komentar) yang ditulisnya sendiri : “Dzakhâ`ir al-A’laq Syarh Turjuman al-Asywaq”.
Kitab komentar ini sengaja ditulis sendiri oleh Ibn Arabi untuk menjelaskan berbagai kritik dan caci-maki orang (para ahl fiqh) yang ditujukan kepadanya. Mereka menolak puisi-puisi cinta birahi (ghazâl/erotis). Komentar yang ditulisnya di Aleppo, Damaskus, selama tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan ini kemudian dibacakan Qadhi ibn Adim di hadapan khalayak ahli fiqh. Begitu selesai, para pengkritik kemudian mengakui kesalahan atau ketidakpahaman mereka itu dan bertaubat.
Ibn Arabi mengatakan :
اشير بها الى معارف ربانية وانوار الهية واسرار روحانية وعلوم عقلية وتنبيهات شرعية وجعلت العبارة عن ذلك بلسان الغزل لتعشق النفوس بهذه العبارات فتتوفر الدواعى على الاصغاء اليها وهو لسان كل اديب ظريف روحاني لطيف.
“Di dalam buku itu aku tunjukkan pengetahuan-pengetahuan dan cahaya-cahaya ketuhanan, simbol-simbol isi hati, ilmu-ilmu rasional. Aku mengungkapkannya dengan bahasa “ghazal” dan gaya anak muda, agar mereka tertarik lalu merenungkannya. Itu bahasa para ahli sastra yang cerdas, kaum spiritualis yang halus”.
Meskipun begitu, masih banyak juga ulama yang menolak kumpulan puisi-puisi mistik ini. []