‘Menjadi guru memang cita-citanya. Mencerdaskan kehidupan anak bangsa adalah kecintaannya. Namun, relasi toxic berbasis budaya patriarki rupanya sudah mendarah daging di dalam lembaga pendidikan tempatnya mengabdi. Dimana perempuan hanya menjadi kelompok marginal, yang hanya dipandang sebelah mata oleh para atasannya’.
Mubadalah.id – Seorang teman lama berkabar padaku, dia sudah menjadi guru, persis seperti yang dia cita-citakan sejak dulu. Namun, dia mengeluhkan tentang toxic relationship di sana. Betapa lembaga pendidikan tempatnya mengajar sangat tidak berpihak pada perempuan. Di saat kebanyakan guru di lembaga pendidikan itu adalah laki-laki, seakan kepentingan guru perempuan tak lagi berarti.
Dia bercerita bahwa alasan lembaga pendidikan itu memiliki banyak guru laki-laki daripada guru perempuan adalah karena keadaan biologis guru perempuan. Dia mendengar dari salah seorang guru laki-laki senior di sana, bahwa guru perempuan terlalu sering cuti dan izin. Dari cuti menstruasi hari awal, cuti hamil, cuti melahirkan, hingga cuti nifas. belum lagi izin jika ada anggota keluarganya yang sakit. Sehingga menyebabkan kelas lebih sering diisi oleh guru piket.
Bahkan dari guru itu sendiri, temanku mendengar bahwa mungkin untuk ke depannya, lembaga pendidikan itu hanya akan menerima guru laki-laki dan menolak lamaran calon guru jika dia perempuan. Hal itu dipercaya sebagai sebuah upaya untuk meminimalisir jumlah kelas yang ditinggalkan oleh para guru. Bukankah ini merupakan sebuah toxic relationship di dalam lembaga pendidikan yang berbasis budaya patriarki?
Sebagai guru baru, perempuan dan masih lajang, bukannya mendapatkan banyak motivasi agar merasa betah di lembaga pendidikan itu. Temanku justru sering menerima perkataan dari guru laki-laki senior, bahwa suatu saat dirinya juga akan bergabung pada barisan guru perempuan yang banyak cuti dan izin. Menjalani pengalaman biologis perempuan yang membuatnya banyak meninggalkan kelas. Sekelebat bayangan akan toxic relationship di dalam lembaga pendidikan itu kian nyata.
Di hari awal temanku berada di lembaga pendidikan itu, dia diajak berkeliling oleh salah seorang guru laki-laki senior untuk berkenalan dengan rekan guru-guru lainnya. Di sanalah temanku mengenal para guru beserta posisinya di lembaga pendidikan itu. Dari Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan penanggungjawab beberapa sektor yang ada di lembaga pendidikan itu. Ada satu hal yang temanku tangkap dari sesi perkenalan hari itu. Semua jabatan struktural di lembaga pendidikan diisi oleh guru laki-laki. Sebuah gambaran betapa langgengnya budaya patriarki di dalam lembaga pendidikan.
Suatu ketika temanku bertanya kepada guru laki-laki senior yang mengajaknya berkeliling saat itu, tentang jabatan struktural yang hanya diisi oleh guru laki-laki. Padahal guru perempuan juga bisa dilibatkan dalam jabatan struktural tersebut. Jawaban dari guru laki-laki senior tersebut sangat mengejutkan temanku, karena dirasa tidak masuk akal.
Jabatan diisi oleh laki-laki karena mereka adalah kepala keluarga yang punya kewajiban untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan guru perempuan tidak memiliki kewajiban itu. Jelas sekali jika karir para guru perempuan sangat terhambat dengan adanya toxic relationship berbasis budaya patriarki di lembaga pendidikan tersebut.
Mendengar temanku bercerita, aku bergidik ngeri. Bagaimana mungkin jabatan struktural di sebuah lembaga pendidikan tidak diberikan berdasarkan kapasitas kemampuan dan profesionalitas guru. Jabatan itu hanya dilihat sebagai sebuah celah untuk mendapatkan tambahan penghasilan bulanan. Di mana syaratnya hanya satu, yaitu berjenis kelamin laki-laki. Inilah bukti bahwa budaya patriarki telah melahirkan masalah baru. Toxic relationship di lembaga pendidikan salah satunya.
Di akhir ceritanya, temanku menuturkan bahwa beberapa hari yang lalu, kepala sekolah di lembaga pendidikan tempat dia mengajar mengadakan sebuah tour bersama guru-guru. Tour itu dilakukan dengan cara konvoi sepeda motor ke sebuah tempat wisata di lereng gunung. Setelah dilakukan pendataan, ternyata yang ikut dalam tour itu hanya guru laki-laki saja. Para guru perempuan terhalang izin dari keluarganya untuk ikut tour tersebut, karena dinilai tidak ramah bagi perempuan. Sebuah keputusan yang tidak bijak dari kepala sekolah membuat potret toxic relationship berbasis budaya patriarki semakin jelas terlihat.
Setelah temanku mengakhiri sesi ceritanya, seketika itu juga aku mengingat Dr. Lillian Glass, seorang ahli komunikasi dan psikologi dari California. Dalam bukunya yang bertajuk “Toxic people”, ia mengenalkan istilah toxic relationship adalah sebuah hubungan yang bersifat merusak karena konflik, tidak saling mendukung, muncul persaingan, sampai hilangnya rasa hormat dan kekompakan. Sebuah keadaan yang mirip dengan apa yang tengah dialami oleh temanku. Dan yang memperparah toxic relationship di lembaga pendidikan itu adalah praktik budaya patriarki yang masih sangat kental. Sehingga marginalisasi atas guru perempuan semakin tidak terelakkan.
Tak banyak yang dapat kusarankan pada temanku, selain untuk pindah dari lembaga pendidikan itu. Mencari lembaga pendidikan lain yang lebih mampu menghargai guru perempuan sesuai dengan kapasitas dan profesionalitasnya. Aku percaya, bahwa temanku ini akan mendapatkan sebuah lembaga pendidikan yang lebih mampu menghargai guru perempuannya. Bahkan aku meyakini di lembaga pendidikan yang baru, ia akan lebih leluasa mengembangkan karir dan potensinya. Pastinya tanpa terhalang lagi oleh bayang-bayang toxic relationship berbasis budaya patriarki. []