• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Toxic Relationsh*t: Mengenali Siklus Kekerasan Hubungan

Padahal seseorang bukanlah rehabilitation center bagi pasangannya yang abusif. Kita tidak bisa mengubah sifat dan sikap pasangan dalam kekerasan hubungan. Jika dilanjutkan, justru kita yang butuh pertolongan, alih-alih berharap pasangan akan berubah.

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
17/03/2021
in Personal, Uncategorized
0
Hubungan

Hubungan

541
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sekitar delapan tahun lalu, saya memiliki teman perempuan (A) yang berada dalam kekerasan hubungan. Pasangannya, X, sangat posesif dan pencemburu. Saat saya traveling dengan A, si X terus menerus menghubungi A. Bahkan X juga menghubungi dan mengirimi saya pesan berkali-kali, saat A tidak segera merespon panggilan dan pesannya.

Bagi sebagian orang, hal ini dianggap sebagai tanda cinta. Katanya, perhatian seperti ini wajar karena ingin memastikan pasangannya aman. Namun, tidak hanya itu. Ternyata X suka mencaci maki A saat keinginan X tidak dituruti. X juga pernah membanting Handphone A, dan tidak menggantinya. Dia juga pernah melakukan kekerasan fisik dengan mendorong dan menginjak kaki A saat bertengkar di tempat umum.

Apakah hubungan yang seperti ini dinamakan cinta? Apakah cinta yang obsesif seperti ini memberikan kebahagiaan?

Ada pola yang khas yang dilakukan oleh pelaku kekerasan dalam hubungan. Dr. Lenore Walker mengembangkan siklus kekerasan dalam hubungan tahun 1979. Kekerasan dalam hubungan (cycle of abuse) memiliki tiga fase, yaitu tension builds, explosion dan honeymoon period.

Pada fase tension builds akan dimulai dengan ketegangan, komunikasi yang memburuk dan mengakibatkan konflik .Pelaku akan memberikan kritik, caci maki, teriakan, melakukan kekerasan dan mengekspresikan kemarahannya. Dia akan menyalahkan pasangannya, memberikan silent treatment atau mengekspresikan kekesalannya baik secara verbal maupun dalam sikap.

Baca Juga:

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

Namun ketika konflik itu berlarut-larut dan hubungan tidak membaik, maka pelaku akan “meledak”. Dalam fase explosion, ledakan emosi pelaku diekspresikan dengan menyerang korban secara fisik, emosi, ekonomi dan seksual. Dia akan menghalangi akses korban pada keluarga, teman dan juga melarang korban untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Lalu setelah itu pelaku akan memasuki fase honeymoon period dengan meminta maaf, memberikan janji-janji, memberikan hadiah dan juga menyalahkan dirinya sendiri. Pelaku akan mengakui bahwa dia salah, memberikan alasan bahwa itu untuk kebaikan korban, karena pelaku sayang pada korban. Dia akan memperlakukan pasangannya dengan manis bahkan rela melakukan apapun untuk “baikan”.

Dalam fase ini ditandai dengan fase penyesalan, fase pengejaran dan fase penolakan. Diana Mayorita, seorang Psikolog Klinis menjelaskan fase-fase ini dalam bukunya Toxic Relationsh*t. Pada fase penyesalan, pelaku mengakui kekerasan yang dilakukannya dan mengaku menyesal. Lalu dalam fase pengejaran, pelaku mencari kambing hitam atas kekerasan yang dilakukannya. Dia akan memberikan hadiah dan berlaku manis. Dan dalam fase penolakan, pelaku dan korban sama-sama menyangkal bahwa kekerasan telah terjadi sehingga hubungan tetap berlanjut.

Perubahan pelaku dalam honeymoon period 180 derajat berubah dan ini membingungkan pasangannya yang sebenarnya ingin lepas dari hubungan kekerasan ini. Korban akan memaafkan pasangannya, memberikan kesempatan kedua (dan seterusnya) dan berharap dia dapat mengubah pasangannya yang abusif. Nyatanya, siklus kekerasan ini terus berulang seperti lingkaran setan hingga korban seakan menemui jalan buntu dalam hubungannya ini.

Fase kekerasan seperti ini juga yang telah dialami oleh A dan X dalam hubungannya. Saya sebagai teman yang juga terlibat dalam hubungan mereka, sebenarnya susah untuk memahami hubungan seperti itu. Kenapa mereka tetap bertahan selama bertahun-tahun?

Saya ikut lega saat mereka akhirnya berpisah. Butuh waktu yang lama bagi A untuk yakin dan keluar dari kekerasan hubungan bersama X. Setelah itu saya tahu bahwa X familiar dengan kekerasan karena Bapaknya juga pelaku kekerasan di dalam keluarganya. X familiar dengan Bapaknya yang melakukan kekerasan pada Ibunya dan juga padanya. Dia menganggap hal ini sebagai hal yang wajar dan normal.

Lalu bagaimana dengan A, kenapa bisa terjebak lama dalam kekerasan ini? Yora dalam bukunya menjelaskan bahwa Daniel Kahneman (Penulis Think Fast and Slow) yang melakukan penelitian tentang orang yang takut akan kehilangan dan perpisahan. Ternyata banyak orang yang enggan melepaskan apa yang mereka miliki sekalipun mereka tahu itu merusaknya.

Ada istilah sunk cost fallacy, yaitu kekeliruan pola pikir untuk terus bertahan dan bahkan melanjutkan usahanya karena telah menginvestasikan banyak waktu, uang, sumber daya hingga seks. Dalam hubungan, sunk cost fallacy membuat seseorang kesulitan untuk mengambil keputusan dalam hubungannya yang jelas-jelas tidak sehat, penuh kekerasan dan tidak memiliki masa depan yang baik.

Seseorang bertahan dalam hubungan yang tidak layak dijalani karena sudah banyak yang dikorbankan dan bertahan hanya karena hubungan itu sudah terjalin bertahun-tahun. Apalagi kedua keluarganya sudah menyetujui hubungan mereka. Maka dia masih berharap pasangannya akan berubah atau dia yang dapat membuat pasangannya berubah.

Padahal seseorang bukanlah rehabilitation center bagi pasangannya yang abusif. Kita tidak bisa mengubah sifat dan sikap pasangan dalam kekerasan hubungan. Jika dilanjutkan, justru kita yang butuh pertolongan, alih-alih berharap pasangan akan berubah.

Jika kamu atau orang di sekitarmu berada dalam siklus kekerasan hubungan, segera cari bantuan. Jangan ragu untuk meminta pertimbangan dan bantuan orang lain saat berada dalam hubungan toxic. Ceritakan masalah kita pada orang lain dan hubungi professional seperti psikolog untuk mendapatkan bantuan. []

Tags: KesalinganKesehatan MentalperempuanpsikologiRelasiToxic Relationship
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kopi yang Terlambat

    Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji
  • Islam: Membebaskan Manusia dari Gelapnya Jahiliyah
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan
  • Berkeluarga adalah Sarana Menjaga Martabat dan Kehormatan Manusia
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID