Mubadalah.id – Apakah tidak menjadi juara kelas bukan masalah serius? Ujian akhir semester telah selesai beberapa minggu lalu. Kini saatnya pengumuman nilai akhir atau kita kenal rapor. Biasanya menjelang penerimaan rapor di sekolah, hati deg-deg-an tak karuan menanti informasi peringkat ke berapakah semester kali ini. Setiap siswa tahu betul bagaimana rasanya menanti nilai rapor, ada yang kuatir, ada yang biasa aja, dan ada pula yang bersemangat. Adik saya misalnya, saat ini duduk di bangku kelas XI Madrasah Aliyah (MA) di salah satu pesantren Sumenep Madura.
Menjelang hari H penerimaan rapor si adik sering menjadi murung. Ketika ditanyai ada gerangan apa yang membuatnya sedemikian khawatir menanti masa penerimaan rapor. Jawabnya “Bagaimana kalau nilai saya minim dan ada nilai C?” ia sangat mengkhawatirkan nilai rapornya. Keinginannya untuk memberi kabar gembira kepada keluarga begitu menggebu. Katanya dengan mendapat nilai yang bagus atau juara nanti bikin Emak dan kakak senang dan juga mendapat doa dari banyak orang.
Kehidupan ini lucu. Kita sekolah seakan tujuannya hanyalah nilai. Tanpa kita sadari, di sisi lain ada hal penting yang lebih berharga di banding nilai rapor. Masa depan seorang anak tidak ditentukan oleh nilai. Berapakah nilaimu? Tinggi atau rendah? Nilai tinggi bukan berarti telah sukses.
Masa depan setiap anak tidak ditentukan oleh nilai. Tidak menjadi juara kelas bukan masalah serius. Masih sering mendapati seorang anak yang direndahkan karena mendapat nilai atau peringkat paling akhir di banding dengan teman-temannya. Mirisnya, masih ada orang tua yang memarahi anak jika mengalami kegagalan. Bahkan sampai merendahkan si anak dengan kata-kata “Si Bodoh.”
Sukses itu bukan tentang nilai. Sukses itu tentang proses dan semangat meraih impian. Berhasil mencapai target yang diidam-idamkan, itulah sukses. Setiap anak memiliki potensi yang harus diarahkan dengan tepat. Caranya dengan pendidikan. Memahami pendidikan, Neil Postman menceritakan langkah-langkah memahami pendidikan dan keterkaitannya dengan majunya suatu negara dan membangun harapan-harapan positif para pelajar. Bagi mereka penting memahami makna hidup dan tujuannya dalam belajar.
Peran Guru di sekolah sebagai motivator, fasilitator dan inspirator. Guru yang memiliki semangat mengajar, akan melahirkan siswa siswi yang semangat berproses. Apabila generasi Indonesia mendapat pendidikan yang tepat dan fasilitas yang memadai. Maka Tumbuh kembang anak akan berlangsung lebih baik.
Setelah mengetahui hasil rapor adik saya, ternyata nilai C berjejer rapi. Si adik menangis sebagai ungkapan rasa kecewanya. Dia yang telah berusaha dengan baik, belajar tekun dan mengerjakan PR di sekolah masih mendapat nilai C. Wajar jika ia menangis seraya meminta maaf kepada keluarga. Lalu bagaimana tanggapan keluarga?
Ibu saya merespon “Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, kamu hanya fokus terhadap hal-hal yang kamu impikan, yang dengannya kamu semangat. Nilai C itu bukan berarti hidupmu lebih buruk atau duniamu terhenti. Kami tetap bangga padamu. Oleh karenanya tidak usah terlalu dipikirkan, fokus mengejar impianmu, Nduk.” Sebuah nasihat yang menghangatkan hati.
Yang saya ketahui, materi dengan nilai C tersebut kebetulan materi yang sama sekali tidak disenangi adik saya. Sedangkan materi yang disenangi olehnya lebih tinggi. Kecewa itu wajar dirasakan oleh setiap orang. Kewajiban lingkungan harusnya memberi support. Seorang anak yang mengalami kegagalan harus disupport dengan kata-kata yang menghangatkan hati. Kata-kata buruk atau mencela akan melahirkan dendam pada anak. Hal itu tentu akan menganggu perkembangan psikis anak. Anak akan menjadi lebih murung, merasa gagal dan tidak memiliki kesempatan.
Mencintai anak memang banyak caranya, termasuk peduli pada keadaan psikisnya, apa yang ia butuhkan dan yang tidak baik dikonsumsi oleh anak. Menciptakan lingkungan yang kondusif dimulai dari keluarga dekat. Bila anak tumbuh kembang dalam lingkungan yang baik, membimbingnya sesuai syariat agama tentu ia berkembang dengan lebih baik.
Adik saya tidak lagi merasa terpuruk setelah mengetahui respons keluarga. Ia menjadi lebih bersemangat dan lebih tekun lagi menjalani hari dan mencoba banyak hal. Kesukaannya terhadap sastra semakin mendarah daging. Ia mengikuti banyak kegiatan sekolah, organisasi, dan teater. Pernah pula ia mengikuti lomba puisi dan mendapat juara di acara perlombaan tersebut.
Di sini dapat dipetik banyak hal bahwa peran lingkungan sangat besar untuk tumbuh kembang anak. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa besar lingkungan atau keluarganya. Bukan tentang bagaimana mencetak anak pintar, tapi menjadikannya lebih mengerti dan mau berproses dan bangun ketika gagal. Suksesnya seorang anak ditentukan oleh support sistem keluarga. Jika bukan keluarga lalu siapa lagi yang dapat mendukung keberhasilan anak? []