• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Toxic Parents Masih Ada, Kita Belum Sadar Penuh Mengatasinya

Dampak jangka panjang dari adanya toxic parents ini bisa membuat kesehatan mental anak terganggu, tumbuh dalam situasi yang selalu menyalahkan diri sendiri.

Rizka Umami Rizka Umami
04/03/2021
in Keluarga
0
Toxic Parents

Toxic Parents

293
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang anak laki-laki usia 18 tahun pernah bercerita kepada saya, tentang pengalaman toxic parents, dan bagaimana buruknya relasi yang terjadi antara dirinya dan orangtuanya. Sejak kecil, sang ibu bertindak sebagai algojo, di mana setiap kesalahan yang ia lakukan, cubitan dan tampolan akan mendarat pada paha dan kepalanya.

Sementara sang ayah akan membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang dianggap bisa membanggakan, bahkan kadang dengan adiknya sendiri. Ia tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi padanya. Ia merasa capaiannya tidak dikalkulasi sama sekali oleh kedua orangtuanya.

Hal yang sedikit berbeda dialami sang adik. Dengan dalih demi kebaikan, masa depan, dan agar tidak gagal seperti prestasi kakaknya, orang tua memaksakan kehendaknya sekuat tenaga kepada sang adik. Mereka menanamkan ambisi dan ekspektasi yang berlebihan. Bahkan mulai dari pemilihan sekolah, tempat les, jadwal bermain, semua diputuskan sepihak oleh kedua orangtuanya. Hal yang sama adalah mereka membuat anaknya menuruti semua keinginannya dengan ancaman, pukulan dan cubitan.

Selama pandemi kekerasan yang dialami anak meningkat drastis. Data dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak menunjukkan tingginya kasus tersebut, yakni lebih dari 5.600 kasus terhitung sejak Januari 2020 sampai September 2020. Mengutip sindonews, mayoritas orangtua yang melakukan kekerasan beralasan kesal dan marah karena ketidakmampuan anak memahami pembelajaran daring yang dilakukan. Ada yang memukul, bahkan mirisnya sampai menghilangkan nyawa sang anak.

Dari banyaknya cerita dan berita yang saya dengar, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa saya pada anggapan bahwa toxic parents itu benar-benar ada dan merupakan momok paling nyata dalam lingkungan keluarga. Sayangnya tidak banyak orangtua yang menyadari dan memahami bahwa tindakan yang dilakukannya adalah bentuk lain dari racun yang punya efek buruk pada perkembangan anak.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Konstruksi masyarakat pada umumnya meletakkan peran orangtua sebagai yang paling mulia, sesuatu yang luhur, penuh dedikasi dan akan selalu berupaya memberikan segala yang terbaik demi masa depan anak-anaknya. Hal tersebut mungkin benar, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa ada realita lain yang mesti diungkapkan, yakni tidak semua orangtua dapat mengambil kewajiban dan tanggung jawabnya secara penuh. Tidak semua orangtua dapat menciptakan lingkungan yang aman dan sejahtera bagi kesehatan mental anak.

Toxic parents sendiri selama ini dipahami sebagai sikap orangtua yang destruktif, tidak menghargai keberadaan anak sebagai individu, enggan berkompromi dengan anak, tidak bertanggungjawab, bahkan melakukan kekerasan dalam bentuk fisik dan psikis pada anak (Saskara, 2020). Orangtua yang beracun ini tanpa disadari telah membuat anak-anaknya kehilangan ruang untuk berekspresi, kehilangan minat dan semangat, bahkan menjadi pribadi yang tertutup dan gampang putus asa.

Penelitian yang dilakukan Putu Adi Saskara juga menjelaskan bahwa ada beberapa kebiasaan berdampak negatif yang dilakukan oleh toxic parents, antara lain mereka tidak memiliki empati pada anaknya sendiri, cenderung berlebihan dalam berekspektasi, mengatur dan menyalahkan anak, mengumbar aib anak dan membanding-bandingkannya dengan anak orang lain, mengungkit-ungkit kesalahan anak, serta tidak pernah bisa menghargai usaha yang dilakukan oleh anaknya sendiri.

Dampak jangka panjang dari adanya toxic parents ini bisa membuat kesehatan mental anak terganggu, tumbuh dalam situasi yang selalu menyalahkan diri sendiri. Lebih buruknya anak-anak tersebut juga akan melakukan perilaku yang selama ini ia dapatkan dari kedua orangtuanya, sehingga besar kemungkinan ia tumbuh sebagai pribadi yang egois, mudah marah, tidak menghormati orang lain, terlalu ambisius, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana kita bisa memutus mata rantai toxic parents, sementara dari diri orangtua sendiri tidak menyadari tindakannya yang keliru? Dalam salah satu artikel Patresia Kirnandita yang tayang di Magdalene, saya menemukan banyak andaian, jika saja orangtua sudi menjadi teman untuk anaknya, dengan kata lain menghilangkan hierarki antara orangtua dan anak yang sebelumnya mengkultuskan satu pihak dan menenggelamkan suara anak. Saya sepakat ketika Patresia mengatakan, “Barangkali orang tua juga butuh diingatkan…”

Sebagai anak, terutama yang sadar berada di tengah toxic parents, tentu kita memiliki andil yang cukup besar dalam memutus relasi beracun tersebut. Misalnya saja dengan memberanikan diri mengutarakan pendapat di depan keduanya, berani menolak keinginan orangtua yang berdampak  buruk pada kehidupan mendatang atau menjalin komunikasi yang intens dengan kedua orangtua untuk meng-counter cara pandangnya.

Ketegasan seorang anak juga dibutuhkan untuk mengingatkan kekeliruan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Termasuk tegas untuk mengambil jarak dari orangtua ketika tekanan demi tekanan semakin membuat kita depresi. Siapa tahu dengan adanya jarak, orangtua dapat introspeksi diri dan menyadari kesewenangannya. Berani melaporkan tindakan yang dilakukan oleh orangtua atau minta bantuan hukum jika sudah menjurus pada kekerasan pun juga penting dilakukan. Sebab KDRT yang menimpa anak jumlahnya selalu tinggi dan hingga kini masih banyak korban yang takut membuat laporan.

Sekali lagi, orangtua sebagaimana manusia pada umumnya, tidak luput dari kesalahan. Sebagai manusia, sudah semestinya anak dan orangtua bisa saling mengingatkan dan menyadarkan. Dari situ prinsip kesalingan memang krusial diterapkan dalam lingkungan keluarga, antara orangtua dan anak serta adik dan kakak, agar relasi yang timpang tidak terjadi, agar orang tua tidak otoriter, agar anak mendapatkan haknya, agar antara orangtua dan anak tidak segan untuk saling memberi saran, saling memberikan pemahaman dan saling menghormati pilihan masing-masing. []

 

Tags: Kekerasan Anakkeluargaorang tuaparentingpelaku kekerasan orang terdekat
Rizka Umami

Rizka Umami

Alumni Pascasarjana, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender.

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version