Mubadalah.id – Di tengah perayaan Hari Santri Nasional (HSN) yang begitu ramai pemberitaannya di tanah air dalam minggu-minggu terakhir. Tak kalah gencar pemberitaan di media adalah soal deklarasi pasangan Capres-Cawapres dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Februari 2024 mendatang.
Pasca pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendaftar, turut memastikan bahwa yang akan berkontestasi ada tiga pasangan. Karena sebelumnya telah mendaftar dua pasangan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Yang menarik di hajatan Pilpres kali ini, berdasarkan pembacaan dari berbagai analis politik di media, santri yang merupakan representasi dari warga NU, mereka jadikan ceruk suara penentu untuk memenangkan kontestasi. Di sini kita melihat urgensi santri menggaungkan kampanye damai.
Hal itu memang masuk akal, mengingat anggota warga NU berdasarkan data Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) totalnya mencapai 20 persen warga Indonesia, (NU Online, 11 Juli 2023). Artinya, dengan mendapatkan suara mayoritas warga NU bisa menjadi pijakan untuk kemenangan.
Di sisi lain fenomena itu bagi santri bisa juga berarti sebagai keuntungan. Mengingat dua pasangan di antaranya, yaitu Cak Imin dan Mahfud merupakan jebolan pesantren (bisa kita katakan santri tulen) turut menjadi bagian yang berkontestasi.
Yang bisa kita maknai juga sebagai, pertama, memperkuat fakta bahwa lulusan pesantren memang memiliki kualitas unggul hingga berkali-kali dalam Pilpres bisa mengirimkan kader terbaik untuk berkontestasi. Kedua, sekaligus memposisikan santri tidak hanya sekadar menjadi ceruk suara dalam Pilplres 2024 mendatang, namun bagian dari aktor-aktor kontestasi.
Kampanye dengan Isu Agama
Kemudian muncul menjadi pertanyaan, apakah dengan kehadiran Cak Imin dan Mahfud sebagai representasi santri yang langsung menjadi aktor kontestasi, lantas akan meredam potensi ketegangan isu agama? Atau sebaliknya justru memperkuat? Sebab, ada pasangan calon yang bukan jebolan dari pesantren, yakni Prabowo-Gibran.
Tidak kita pungkiri, pada Pilpres 2019 yang bersumbangsih memicu tensi ketegangan di tengah masyarakat dari banyaknya kampanye hitam (black campaign), ujaran kebencian (hate speech), dan juga kampanye-kampanye negatif dalam berbagai bentuk. Di mana isu agama menjadi salah satu isu yang sangat berkontribusi besar memicu keterbelahan dan konflik horizontal. Tentu hal ini menjadi penting sebagai perhatian.
Terlebih menurut Savic Ali (pendiri NU Online), masih terjadi kegamangan bagi masyarakat mayoritas. Yakni dalam hal boleh atau tidak boleh melakukan kampanye dengan isu agama. Meski secara umum semua sepakat mengenai pemilu harus damai. Hal itu secara tidak langsung akan turut bersumbangsih terhadap kemungkinan pemakaian isu agama kembali.
Dalam kegiatan Advanced Training Digital Media for Peace yang Gusdurian dan UNESCO selenggarakan pada 20-22 Oktober 2023 di Jogja, Savic Ali juga mengungkap fakta, bahwa yang ia maksud “kampanye damai” sendiri, ternyata tolok ukurnya masih banyak kesimpangsiuran pada tataran pemahaman di tengah masyarakat.
Apakah “damai” yang dimaksud kita maknai seperti yang orang Jawa pahami pada umumnya, lebih mengarah ke “ketenangan, harmoni, penuh dengan kesopanan” dan sebagainya itu. Sebatas tidak ada black campaign dan hate speech? Atau seperti apa?
Kalaupun yang dimaksud “damai” mengacu kepada pemahaman orang Jawa, Savic meyakini, di tengah penggunaan media sosial masyarakat yang begitu riuh seperti sekarang, akan sangat sulit bisa terwujud. Setidaknya yang logis, mungkin lebih kepada menghindari harmful content (konten berbahaya). Baik itu yang berbentuk black campaign, hate speech, maupun kampanye-kampanye negatif yang berpotensi memicu ketegangan besar di tengah masyarakat.
Dunia Maya Tak Semaya yang Diperkirakan
Pemaparan Novi Kurnia, Ph.D (Dosen FIKOM UGM dan Kepala Tim Peneliti Center for Digital Society) sebagai pembicara kedua, menunjukkan fakta penggunaan media sosial di Indonesia, baik Twitter, Facebook, Instagram, maupun Tiktok dan Youtube, sudah merata dari segala usia. Bahkan WhatsApp termasuk menjadi salah satu media sosial yang penggunanya mencapai angka hingga 83% dari seluruh pengguna internet di Indonesia.
Novi Kurnia pun menyebut, jika media sosial yang juga kita sebut “dunia maya” itu, saat ini sudah tidak benar-benar “maya”. Karena di tengah masyarakat isu yang menjadi perbincangan di media maya dan dunia nyata sama. Bahkan dampak dari konflik di dunia maya juga terjadi ke dunia nyata.
Hal itu dalam konteks kampanye, artinya menjadi penting perhatian besar bagi santri. Di mana santri sebagai tokoh agama untuk mencegah terjadinya kampanye dengan berita yang tidak akurat dan tidak terpercaya. Alias fake news yang bisa berdampak besar terhadap konflik horizontal dan keterbelahan. Sebab, tokoh agama berperan sebagai panutan dan sumber informasi bagi masyarakat.
Posisi ini sangat strategis sebagai agen perubahan yang menjaga terciptanya kampanye damai di Pilpres mendatang. Bahkan Ana Lomtadze selaku Kepala Unit Komunikasi dan Informasi UNESCO Jakarta, dalam sambutannya menyebut, hal itu juga yang menjadi alasan kegiatan proyek Social Media 4 Peace yang mereka lakukan bersama para tokoh agama.
Misinformasi, Disinformasi, dan Malinformasi
Pintu awal “kekacauan informasi” yang kerap terjadi di media sosial umumnya termasuk dalam salah satu dari tiga kategori. Yaitu: misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Secara sederhana, misinformasi berarti salah informasi.
Jadi informasinya sendiri sebenarnya salah. Tapi orang yang menyebarkan percaya bahwa informasi itu benar. Penyebaran informasi mereka lakukan untuk tujuan baik alias tidak ada tendensi untuk membahayakan orang lain. Namun karena konten dari informasinya sendiri sudah salah, jadi selanjutnya menjadi menyebarkan berita salah dan justru membahayakan bagi orang lain.
Adapun maksud dari disinformasi, si penyebar informasi sebenarnya tahu kalau informasinya memang salah. Namun sengaja tetap menyebarkan informasi itu untuk kepentingannya menjatuhkan pihak lain, menipu, mengancam, atau dengan motif lain yang juga membahayakan dan merugikan.
Sedangkan malinformasi, artinya informasi itu sebetulnya benar. Sayangnya, informasi di-framing dan ia gunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya menyerang pihak tertentu. Karena itulah, malinformasi bisa kita kategorikan ke dalam hasutan kebencian.
Di tengah kampanye pilpres mendatang, kekacauan informasi dalam bentuk misinformasi, disinformasi, dan malinformasi berpotensi sangat besar akan terjadi di media sosial. Sebagai santri atau tokoh agama, kita tidak berdiri sendiri di tengah masyarakat. Namun sekaligus memiliki hak berdemokrasi, tentu juga akan menjadi bagian dari yang mendapatkan berbagai informasi itu atau bahkan menjadi penyebar informasi.
Jangan Lupa Cek Fakta
Prinsipnya yang paling penting untuk menjaga kampanye damai adalah cek fakta. Baik melalui “mesin pencari” atau “googling”. Atau bisa juga dengan berbagai platform yang tersedia, seperti: cekfakta.com, turnbackhoax.id, dan lain sebagainya. Kalau jelas terbukti berita itu tidak benar atau mengandung unsur ujaran kebencian, bisa kita hentikan penyebarannya, dan langsung kita laporkan.
Hal itu mengingat dampak buruk dari black campaign, hate speech, maupun kampanye-kampanye negatif yang tidak bisa kita anggap sederhana. Terlebih jika menggunakan isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Bisa kita pastikan akan memunculkan sentimen sektoral di masyarakat dan bahkan lebih parahnya bisa memicu keterbelahan, sensitifitas, yang berpotensi menimbulkan aksi kekerasan. Bahkan juga akan menimbulkan dampak psikologis di masyarakat untuk waktu yang lama.
Tentu santri dalam Pilpres tidak boleh apatis dan bahkan harus ikut proaktif dan kreatif sebagai bagian dari warga negara yang merayakan pesta demokrasi. Karena itulah, dalam upaya ikut menghindari atau mencegah kampanye yang menggunakan harmful content (konten berbahaya), santri juga harus turut mengkampanyekan narasi-narasi damai.
Kampanye dengan Nilai Makruf
Dalam konteks menjaga dan mengukur konten kampanye agar terhindar dari harmful content, santri bisa menerapkan standar konsep nilai-nilai makruf yang digagas Ibu Nyai Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A. Di dalam Al Qur’an kata makruf disebut sebanyak 32 kali.
Adapun dari 32 kali penyebutan, ada 18 ayat terkait perkawinan, keluarga, serta relasi lelaki dan perempuan. Adapun selebihnya, tentang amar ma’ruf nahi munkar, dakwah, serta tatanan kehidupan sosial yang baik. Itu menunjukkan memang relate jika digunakan dalam konteks kampanye ini.
Lantas, apa yang dimaksud dengan makruf? Beliau menjelaskan, makruf adalah sesuatu yang dianggap benar dan baik menurut syariat, akal sehat, tabiat sosial, serta membawa kelegaan dan kelapangan hati. Mengacu konsep tersebut, artinya proses dalam membuat konten atau pun ketika akan menyebarkan konten, maka harus terlebih dahulu muatannya kita kaji atau kita nilai dengan ajaran syariat. Apakah sesuai atau tidak?
Di samping itu juga perlu menakar sesuai akal sehat. Tentu sebagai manusia yang dibekali logika, setiap orang mampu mengukur dengan nalarnya apakah ketika konten atau berita yang kita buat, akan banyak membawa kebermanfaatan atau kemadharatan? Selanjutnya juga perlu menimbang tentang kepatutan sosial, bagaimana pandangan di tengah masyarakat.
Jika telah melalui proses tersebut dan konten kita sebarluaskan, juga harus kita jaga dengan nilai-nilai makruf. Kalau terjadi sebuah kesalahpahaman di tengah pemberitaan, kita selesaikan dengan cara yang makruf. Bukan justru mempertajam perselisihan yang memicu saling menghujat atau memunculkan ujaran kebencian baru. Wallahu a’lam bish-shawab. []