Mubadalah.id – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengungkapkan sebuah wacana sebagai persyaratan menerima bantuan sosial (bansos) bagi rakyat miskin. Dedi Mulyadi menyampaikan terkait menjadikan vasektomi atau keluarga berencana (KB) laki-laki sebagai persyaratan untuk menerima bansos.
Ia menyampaikan wacana tersebut setelah rapat koordinasi di Balai Kota Depok pada 29 April 2025 lalu. Gubernur Jawa Barat itu juga mengusulkan warga yang bersedia menjalani vasektomi akan mendapatkan insentif sejumlah Rp500 ribu.
Wacana tersebut mendapatkan banyak sorotan dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi memang mengungkapkan bahwa laki-laki harus mengambil peran untuk berkontrasepsi, tidak hanya perempuan.
Lantas apakah menjadikan vasektomi sebaga syarat menerima bansos sudah tepat?
Negara Melimpahkan Solusi Permasalahan Struktural Pada Rakyat
Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa wacana ini muncul setelah seringkali mendapatkan keluhan dari masyarakat miskin. Mereka mengeluh tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup karena memiliki terlalu banyak anak. Dedi juga menyampaikan bahwa KB bisa menjadi solusi dalam mengentas kemiskinan dan jumlah kelahiran yang meningkat.
Namun, berdasarkan survey yang BPS Jawa Barat luncurkan, menyebutkan bahwa fertilitas Jawa Barat menurun dalam lima dekade terakhir. Long Form SP2020 mencatat TFR sebesar 2,11 yang berarti hanya sekitar 2-3 anak yang dilahirkan perempuan selama masa reproduksinya.
Mengutip dari Tempo.co, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Haris Semendawai menilai vasektomi sebagai syarat menerima bansos merupakan kebijakan yang diskriminatif. Menurut dia, kebijakan tersebut akan membuat banyak masyarakat yang berhak dan membutuhkan bansos batal mendapatkan bantuan. Syarat vasektomi juga terlalu berat bagi masyarakat miskin.
Wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bansos merupakan pelimpahan tanggung jawab struktural negara kepada individu. Kemiskinan bukan hasil dari pilihan reproduksi, melainkan ketimpangan akses antara masyarakat mampu dengan masyarakat tidak mampu.
Kesenjangan akses terhadap pendidikan layak, layanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan pengelolaan sumber daya alam yang timpang merupakan penyebab kemiskinan itu sendiri. Negara seharusnya membenahi mulai dari akar terkait masalah kemiskinan. Mulai dari memberantas korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam, dunia pendidikan, lapangan kerja, dan dunia kesehatan.
Masyarakat dengan ekonomi tidak mampu seringkali menjadi korban eksploitasi tenaga kerja, tidak mendapatkan jaminan sosial, dan masih banyak lainnya. Sehingga dengan membebankan masalah struktural tersebut kepada korban merupakan tindakan yang tidak tepat.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Pasal ini mengamanatkan negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan, termasuk fakir miskin dan anak-anak yang terlantar.
Dengan demikian, bansos seharusnya merupakan hak rakyat miskin tanpa harus kita bebankan dengan persyaratan yang memberatkan.
Kekuasaan Negara dan Otonomi Tubuh
Dalam pernyataan terbarunya, Dedi mengungkapkan bahwa KB dilakukan atas dasar tanggung jawab dan kesadaran bukan pemaksaan.
Namun, klaim tersebut tidak sejalan dengan pernyataannya yang akan mengecek kembali apakah penerima bansos tersebut sudah KB atau belum. Jika belum KB maka tidak bisa menerima bansos.
Meski diklaim bukan sebagai kewajiban, pada praktiknya bisa saja tidak demikian. Masyarakat rentan seringkali menjadi korban atas tindakan pemerintah yang diskriminatif.
dr. Sandeep Nanwani, Spesialis Kesehatan Seksual dan Reproduksi UNFPA menyebutkan bahwa pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan merupakan hak individu yang harus diambil secara sukarela berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat.
Wacana ini perlu kita kaji ulang. Apakah anjuran KB kepada masyarakat miskin sudah dilengkapi dengan informasi terkait pilihan metode kontrasepsi yang akurat dan benar atau hanya anjuran agar bisa menerima bansos.
“Pemenuhan akses dan kualitas terhadap keluarga berencana adalah hak setiap warga negara, termasuk mendapatkan akses terhadap informasi komprehensif untuk merencanakan kehidupan sesuai nilai dan keyakinan setiap individu, termasuk dalam memilih metode kontrasepsi,” ungkap dr. Sandeep Nanwani.
PKBI juga menyatakan bahwa mengaitkan bantuan sosial dengan menjalani vasektomi, di samping tidak etis, juga melanggar hak dasar untuk kesehatan seksual dan reproduksi. Hak ini menetapkan kapan, bagaimana, dan dengan siapa seseorang ingin memiliki anak harus kita hormati. Kebijakan ini menjadi bentuk pemaksaan terselubung ketika prosedur medis seperti vasektomi dipaksakan sebagai syarat bantuan.
Selain itu, wacana ini juga bertentangan dengan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.”
Daripada memaksakan vasektomi, sebaiknya pemerintah memudahkan akses bagi masyarakat yang sadar dan sukarela memilih metode kontrasepsi ini. Di Indonesia sendiri apabila ingin mengakses metode kontrasepsi vasektomi yang pemerintah sediakan terbilang masih sulit dengan sejumlah persyaratan yang ada.
Vasektomi dalam Pandangan Islam
Wacana vasektomi ini menimbulkan banyak polemik di masyarakat termasuk dari agama Islam. Bahkan ada pengharaman melakukan tindakan vasektomi. Lalu bagaimana sebenarnya vasektomi dalam pandangan Islam?
Imam Nakha’i menjelaskan bahwa ada sebagian ulama yang mengharamkan vasektomi berdasar surat al-An’am ayat 151 dan surat al-Isra’ ayat 31.
“Menggunakan kedua dalil ini sebagai dalil haramnya vasektomi, sesungguhnya kurang tepat. Karena kedua ayat ini secara tegas melarang membunuh anak-anak karena kemiskinan yang dideritanya, atau karena ketakutan jatuh miskin di kemudian hari. Membunuh anak dengan alasan apapun pastilah tidak boleh. Vasektomi jelas bukan pembunuhan terhadap anak, tetapi berupaya untuk tidak memiliki anak. Apalagi orang yang melakukan vasektomi, seringkali bukan karena faktor kemiskinan atau takut miskin. Melainkan dengan tujuan berusaha keras untuk mendidik dan mengantarkan anak-anak yang ada pada kesejahteraan dan kebaikan di masa yang akan datang.” ungkap Imam Nakha’i.
Dosen Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo itu juga menjelaskan bahwa vasektomi bukan merupakan pengebirian, sehingga tidak termasuk perlawanan terhadap sunnatullah.
Vasektomi bukan Pemandulan Permanen
Vasektomi sering kita maknai dapat menyebabkan pemamdulan permanen, sehingga semakna dengan pengebirian yang ulama haramkan. Ulama sepakat bahwa pengebirian pada hewan, apalagi pada manusia adalah haram berdasarkan banyak hadis nabi.
Namun, yang perlu kita pertanyakan adalah apakah vasektomi merupakan pemandulan permanen yang semakna dengan pengebirian?
Dalam dunia medis ada istilah vasektomi reversal, yakni menyambungkan kembali vas deferens, sehingga memungkinkan sperma kembali memasuki semen. Dengan demikian, vasektomi bukanlah pemandulan permanen yang semakna dengan pengebirian.
“Vasektomi merupakan pembatasan memiliki keturunan atau yang umum kita sebut tahdidu an-nas. Jadi yang tidak boleh bukan membatasi memiliki anak, melainkan merusak fungsi reproduksinya. Apakah vasektomi merusak? Secara medis tidak karena ternyata bisa disambung kembali melalui operasi, walaupun saat ini prosedur tersebut terbilang sulit dengan biaya yang mahal,” tambah Imam Nakha’i.
Imam Nakha’i menekankan bahwa vasektomi dapat menjadi haram apabila kita paksakan. Seperti kita jadikan sebagai syarat menerima bansos, hal tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia. []