• Login
  • Register
Selasa, 28 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Victim Blaming, dan Gejala Sosial Akibat Kurang Empati Terhadap Korban Kekerasan

Salah satu penyebab victim blaming adalah karena munculnya toxic masculinity. Adanya laki-laki disosialisasikan untuk menjadi maskulin dan tidak boleh mengekspresikan diri mereka. Laki-laki yang menjadi korban pelecehan menjadi enggan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya

Halimatus Sa'dyah Halimatus Sa'dyah
23/09/2021
in Publik
0
Korban

Korban

230
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Masyarakat masih memandang pelecehan seksual sebagai hal yang tabu untuk diungkapkan. Hal ini berdampak pada korban yang akhirnya enggan melaporkan kasus yang menimpanya pada pihak yang berwenang. Anggapan bahwa pelecehan seksual hanya bisa terjadi terhadap perempuan, kenyataannya kekerasan juga bisa menimpa pada laki-laki.

Pelecehan seksual tidak mengenal gender, bisa menimpa pada siapa saja. Bukan hanya  laki-laki, melainkan perempuan, orang dewasa dan anak-anak. Hanya sebagian kecil masyarakat yang paham betul mengenai arti dan tindakan tidak senonoh tersebut. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, misalnya di tempat umum, sekolah, kampus, kantor, atau bahkan di dalam rumah sendiri. Namun, pelecehan seksual lebih kerap terjadi di tempat umum atau ruang publik. Ini dikarenakan di tempat umum banyak orang yang tidak dikenal hingga korban sulit untuk mendapatkan bantuan.

Kemudian ketika korban berani untuk meminta tolong, sering kali tidak dipedulikan oleh masyarakat karena menganggap tindakan tersebut adalah hal normal dan tidak perlu dikhawatirkan. Seperti contohnya ada orang asing yang tiba-tiba mengelus tangan atau bahkan paha kita, hal tersebut tentunya merupakan pelecehan seksual. Tetapi mirisnya, sebagian besar masyarakat di negeri kita ini masih banyak yang menyepelekan.

Sering kali korban pelecehan seksual merasa enggan untuk melaporkan kasusnya. Imbas buruknya, kejadian ini pun semakin membuat pelaku di atas angin karena merasa tidak bersalah. Korban takut melapor karena kuatir akan terjadi victim blaming, sebuah istilah yang digunakan untuk menyalahkan korban atas kejadian atau bencana yang menimpa dirinya.

Hal yang demikian merupakan suatu perilaku dimana pelaku memutar balikkan fakta yang terjadi dari sesungguhnya. Misalnya perempuan menjadi korban perkosaan, namun pelaku menyalahkan korban perkosaan dengan dalih keluar malam sendirian. Perihal cara berpakaian pun menjadi alasan pelaku untuk menyalahkan korban.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual
  • Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal
  • Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang
  • Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Baca Juga:

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal

Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Masyarakat juga tidak jarang untuk memaafkan pelaku jika sudah menerima hukuman di penjara. Namun saat ini banyak pelaku yang balik melaporkan korban jika dirinya dilaporkan. Masyarakat diam saja yang akhirnya berdampak menormalisasi perilaku pelecehan seksual. Menganggap peristiwa tersebut sebagai hal yang wajar.

Working Women United  mendefinisikan pelecehan seksual sebagai bentuk komentar, penampilan, saran, atau kontak fisik yang tidak diinginkan serta menyebabkan rasa tidak nyaman. Orang mengalami orientasi seksual yang menyimpang, mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya condong kepada perilaku pelecehan.

Pelecehan seksual memberikan berbagai dampak psikologi pada korban. Dalam  hal ini trauma yang dialami oleh laki-laki sama besar dengan perempuan. Reza Indragiri Amriel, seorang pakar psikologi forensik mengatakan bahwa trauma yang dialami pada kasus pelecehan seksual terhadap laki- laki cenderung dirasakan lebih besar. Adanya pandangan terhadap laki-laki yang dianggap lebih unggul membuat mereka khawatir orang-orang sekitarnya mempertanyakan orientasi seksnya, membuat para korban menjadi lebih tertutup.

Dampak psikis di mana pelecehan seksual menjadi faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan dampak sosial adalah korban sering sekali dikucilkan dalam kehidupan sosial, korban mengalami stres dan terganggu fungsi perkembangan otaknya.

Seorang laki – laki sering kali diberi label oleh masyarakat sebagai figur yang maskulin sedangkan perempuan diberi label feminin. Hal ini berujung pada adanya perbedaan dalam pembagian tugas maupun peran dalam masyarakat. Maskulinitas sebagai suatu konstruksi gender tidak pernah lepas dari norma sosial yang bisa menghambat terciptanya relasi gender dengan setara.

Di mana pembahasan gender masih berpusat pada perempuan dan isu-isu yang mengelilinginya. Jika seorang laki-laki gagal menunjukkan karakteristik maskulin, maka dia dianggap sebagai laki-laki yang lemah dan menjadi bahan ejekan.

Salah satu penyebab victim blaming adalah karena munculnya toxic masculinity. Adanya laki-laki disosialisasikan untuk menjadi maskulin dan tidak boleh mengekspresikan diri mereka. Laki-laki yang menjadi korban pelecehan menjadi enggan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.

Relasi kuasa pada kekerasan seksual merupakan suatu unsur yang dipengaruhi oleh pelaku atas kelemahan korban. Kekerasan seksual yang diterima oleh korban akan memberikan dampak buruk. Di mana dampak buruk terhadap korban kekerasan tidak hanya secara fisik, tetapi dari segi lainnya, seperti: psikis, seksual, sosial, maupun ekonomi. Dampak lainnya adalah korban akan mengalami kesulitan dalam berelasi dengan masyarakat dan juga semakin diperkuat dengan munculnya stigma serta pengucilan oleh  orang-orang di sekitarnya.

Pada umumnya kekerasan seksual sering terjadi pada kaum wanita, namun tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga dapat memperoleh perlakuan tersebut. Adanya stigma masyarakat akan toxic masculinity menjadi tameng pada para pelaku dan membuat para korban semakin tidak berdaya.

Fenomena kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki seolah menjadi rahasia umum yang tidak terselesaikan. Hal ini sangat memprihatinkan, pada dasarnya negara diharapkan hadir dengan seluruh elemen-elemen yang dimilikinya. Mulai dari jajaran pengambilan kebijakan, penegakan hukum serta masyarakat agar secara terpadu menghapus kekerasan seksual. Negara harus menjamin dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negaranya.

Tags: Cegah KekerasanKekerasan seksualSahkan RUU PKSVictim Blaming
Halimatus Sa'dyah

Halimatus Sa'dyah

Penulis adalah adalah FORDAF Fatayat & RMI NU Tulungagung dan kader Swara Rahima. Bekerja menjadi guru di PM Darul Hikmah Tawangsari Kedungwaru Tulungagung

Terkait Posts

Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Akhlak dan perilaku yang baik

Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

26 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bapak Rumah Tangga

    Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist