Mubadalah.id – “Menurutmu kapan seseorang itu mati? Ketika peluru dari pistol menembus jantung? Saat terkena penyakit yang tidak bisa sembuh? Saat dia memakan sup jamur beracun? Bukan kesemuanya. Tapi seseorang mati saat dia dilupakan”. Begitulah ungkapan Dokter Hiruluk Guru Choper dalam serial Anime One Piece yang menayangkan adegan memorable dan sangat membekas kuat di kepala.
Ungkapan tersebut bertali erat dengan topik dalam tulisan ini yang sedikit mempertanyakan kematian itu sendiri. Selayaknya kelahiran, kematian juga peristiwa harian.
Kapan hari saya berziarah ke makam tokoh-tokoh besar Indonesia, yakni maqbarah KH. Hasyim Asy’ari, Gus Dur dan beserta keluarga pesantren Lirboyo yang terletak di Jombang.
Terdapat pelajaran menarik dan pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang terus menggeranyangi kepala dan tentu saja sangat mengusik. Seolah telah menjadi tradisi bahwa makam orang-orang besar yang memiliki pengaruh di masyarakat, tidak pernah sepi pengunjung.
Sosio-kultur masyarakat Indonesia juga turut mempengaruhi, bahkan Pew Research Centre (2020) menyebut Indonesia sebagai masyarakat yang lebih ‘religius’ ketimbang negara-negara Islam Timur Tengah, sehingga kecenderungan mentradisikan ziarah juga masih lestari dan terus mengalami peningkatan.
Dari saking ramainya orang-orang yang berlalu-lalang untuk berziarah. Ada yang datang dengan latar belakang yang berbeda dan alamat asal yang berbeda pula. Namun tetap memiliki tujuan yang sama, “nyekar makam” untuk memenuhi kebutuhan eksistensial religiusnya.
Secara tidak langsung, wisata membuka peluang untuk menghidupkan perekonomian, khususnya UMKM masyarakat sekitar. Bahkan tidak sedikit yang secara resmi telah mendeklarasikan sebagai wisata religi lantaran ramai orang-orang mengunjunginya yang silih berganti.
Pergeseran Tren Kepariwisataan
Hal ini juga sebagaimana laporan Kementerian Pariwisata Indonesia pada tahun 2021 bahwa perkembangan wisata religi di Indonesia meningkat sebesar 10-20% setiap tahunnya. Dan belum lagi, terjadi pergeseran tren model kepariwisataan dari “sun, sand, and sea” menjadi menjadi “serenty, sustainability and spirituality”.
Sebab selain masyarakat menginginkan untuk memenuhi kebutuhan berwisata juga ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Pasalnya, yang menjadi faktor utama yang menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar dan wisata religi adalah lantaran keberadaan makam tokoh besar yang telah wafat itu, yang menggaet para pengunjung untuk hadir berbondong-bondong meramaikan.
Saya sempat bertanya-tanya, pertanyaan yang (mungkin) anda dan kita semua juga pernah tertimpa pertanyaan yang sama: “Kok bisa ya mereka yang wafat bisa menghidupkan UMKM orang-orang sekitar, sedang kita yang hidup belum tentu bisa menggerakkan roda perekonomian sekitar?” hingga kemudian muncul pertanyaan lanjutan yang retoris nan reflektif “Sebenarnya siapa sih yang benar-benar mati dan siapa yang benar-benar hidup bila ditinjau dari asas kemanfaatan?”.
Apalagi terdapat sebuah fakta yang semakin membuat pertanyaan itu semakin membuncah. Hal ini mengambil tamsil dari kotak infak dan sedekah untuk menampung uang sukarela dari para peziarah yang biasa tersedia. Di makam Mbah Hasyim Asy’ari, Gus Dur, dan sanak keluarga pesantren juga tersedia jejeran kotak infak sebelum memasuki area makam.
Bahkan menurut beberapa sumber (Detik.com, TimesIndonesia, Republika, dll) melaporkan bahwa kotak infak tersebut pernah menghasilkan dana senilai 2,5 miliar dalam setahun. Beberapa sumber lain (Detik.com) menyebut bahwa kotak amal itu pernah memperoleh 250 juta dalam sebulan yang terhimpun dari sedekah orang-orang yang berlalu-lalang seolah tak pernah sepi dari kunjungan.
Sementara kita yang hidup, belum tentu kita menghasilkan dana dengan digit segitu di setiap bulan atau tahunnya? Konsekuensinya sebagaimana tergambar di awal, hal yang sama juga terjadi, UMKM di sekitar sana begitu hidup dan menghidupi orang-orang sekitar.
Tebar Kemanfaatan
Secara esensial, kehadiran pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan untuk membandingkan kita dengan mereka, tapi sebagai bentuk muhasabah diri menuju pribadi yang lebih baik lagi. Kalau mau membandingkan, saya pribadi kalah jauh, dan masih belum cukup pantas menyandingkan diri ini dengan sosok besar yang kontribusinya luar biasa besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, Gus Dur maupun keluarga pesantren.
Memang begitulah kenyataannya, namun yang lebih penting bahwa perbandingan yang terbaik bukanlah dengan orang lain, yakni sejauh mana diri kita sendiri di hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Memberikan kemanfaatan ternyata juga diperoleh dari mereka yang sekalipun telah wafat. Dengan begitu secara tidak langsung ungkapan Dokter Hiruluk tersebut turut mengafirmasi fenomena semacam ini.
Kematian hakiki itu bukan karena tertembak peluru, tertusuk pedang, terserang penyakit mematikan, ataupun terkena racun. Tapi kematian yang sebenarnya adalalah bila dia terlupakan. Tubuh organik memang mati dan jasad boleh saja terkubur, namun ide dan kontribusinya tetap segar dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal menebar manfaat, bukankah dalam redaksi hadis juga menyebut bahwa “sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain”. Apapun bentuknya, sereceh dan sesepele apapun, terpenting membawa kemanfaatan bagi sesama.
Sekali lagi, bila dilihat melalui kacamata kebermanfaatan siapakah yang benar-benar hidup dan siapa yang benar-benar mati? Wallahu a’lam bi al-shawab. []