Mubadalah.id – Tafsir mubadalah selalu memandang laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang sama-sama disapa, termasuk dalam konsepsi fitnah.
Keduanya bisa menjadi pelaku, dan pada saat yang sama bisa menjadi korban. Untuk tafsir mubadalah ini, ada tiga langkah yang perlu kita lakukan, yaitu:
Pertama, meletakkan pemaknaan teks Hadis ini pada inti ajaran Islam, bahwa kehidupan ini adalah ujian dan pesona (fitnah) untuk meningkatkan kebaikan dan menjaga diri dari keburukan. Segenap kehidupan ini artinya mencakup laki-laki dan perempuan.
تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ (1) ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ (2)
Artinya: Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (1) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (2). (QS. al-Mulk (67): 1-2).
Langkah kedua, menangkap pesan moral dari teks Hadis tersebut, yaitu menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada fitnah atau pesona. Secara jelas dalam teks tersebut yang diajak bicara adalah laki-laki, sehingga yang disebutkan sebagai fitnah adalah perempuan.
Langkah ketiga, membalik pesan tersebut secara resiprokal. Bahwa pesona juga bisa timbul dari laki-laki kepada perempuan, sehingga perempuan juga kita minta untuk waspada dan menjaga diri.
Artinya, teks ini berbicara persoalan yang sesungguhnya timbal-balik mengenai pentingnya menjaga diri dari kemungkinan terjerumus akibat pesona orang lain.
Dengan pemaknaan mubadalah ini, teks Hadis tentang fitnah perempuan, tidak bermaksud untuk memberikan label fitnah atau kodrat penggoda terhadap perempuan. []