• Login
  • Register
Rabu, 7 Juni 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia

Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i merupakan sosok pemikir yang kritis dalam membaca dan melihat problematika kehidupan. Pemikirannya yang out of the box memberikan pemahaman dan warna baru dalam tradisi pemikiran Islam

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
20/03/2023
in Figur
0
Warisan Gusdur

Warisan Gusdur

535
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Secara historis, sepak terjang pemikiran Islam di Indonesia tidak dapat terlepas dari tiga guru bangsa tersebut. Meskipun mereka tidak selalu satu pendapat, namun mereka tetap saling menghormati. Baik warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i memiliki corak yang berbeda. Namun tujuan, orientasi, dan nilai-nilai luhur perjuangan mereka bagi bangsa Indonesia tetap sama.

Ketiga tokoh tersebut memiliki kontribusi yang begitu besar bagi keberlangsungan perdamaian bangsa Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Bahkan survei yang Alvara Institute lakukan pada Desember 2021 menyebut bahwa 99,4 % orang Indonesia mengakui jika agama berperan penting dalam kehidupan.

Angka ini menunjukkan bahwa agama sudah menjadi pedoman dan rule of way bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di mana sejak awal terkenal sebagai masyarakat Timur yang ramah dan relijius.

Namun yang tidak boleh kita abaikan bahwa agama pun dapat memicu ketegangan yang berujung pada konflik. Apalagi jika agama sudah bercampur dengan kepentingan-kepentingan praktis sehingga substansi dari agama pun sering terdistorsi. Kehadiran ketiga tokoh tersebut memberi andil yang luar biasa dalam menghadirkan wajah Islam Indonesia yang inklusif dan toleran dan menolak gerakan-gerakan yang merongrong persatuan dan kesatuan Indonesia.

Daftar Isi

    • Pandangan Prof. Musdah Mulia
  • Baca Juga:
  • Arus Utama Pribumisasi Islam: Upaya Pencegahan dari Ranah Keluarga
  • Gus Dur dan Gandhi: Manusia dalam Bingkai Kemanusiaan
  • Gus Dur dan Ramuan Relativisme Budaya untuk Indonesia
  • Gus Dur dan Diplomasi Sepak Bola Kini
    • Kemampuan Berpikir Kritis
    • Kemampuan Bertindak Demokratis
    • Kemampuan Beragama secara Humanis
    • Pendidikan Damai

Pandangan Prof. Musdah Mulia

Kemarin penulis menyaksikan perhelatan Refleksi Kebangsaan bertajuk “Spirit Guru Bangsa – Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i – dalam Aspek Bernegara Masa Kini”. Acara kolaborasi antara Caknur Society, Jaringan Gusdurian, dan Ma’arif Institute ini menjadi cerminan akan indahnya kerukunan antar organisasi besar. Walaupun dengan perbedaan tokoh yang ia kagumi masing-masing.

Baca Juga:

Arus Utama Pribumisasi Islam: Upaya Pencegahan dari Ranah Keluarga

Gus Dur dan Gandhi: Manusia dalam Bingkai Kemanusiaan

Gus Dur dan Ramuan Relativisme Budaya untuk Indonesia

Gus Dur dan Diplomasi Sepak Bola Kini

Hadir dalam acara tersebut Prof Musdah Mulia, pendiri Mulia Raya Foundation. Sebuah Yayasan independen nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, seperti advokasi perempuan dan anak. Dalam pemaparannya beliau memberikan refleksi terkait apa saja yang perlu kita teladani dari ketiga guru bangsa tersebut.

Pada dasarnya ada banyak teladan yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran. Namun pada kesempatan tersebut, Prof. Musdah Mulia menekankan pada 3 hal warisan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i yang perlu generasi era sekarang teladani, antara lain:

Kemampuan Berpikir Kritis

Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i merupakan sosok pemikir yang kritis dalam membaca dan melihat problematika kehidupan. Pemikirannya yang out of the box memberikan pemahaman dan warna baru dalam tradisi pemikiran Islam.

Seperti yang kita ketahui bahwa kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan di era sekarang. Namun, Prof. Musdah Mulia juga menyayangkan bahwa pendidikan tinggi kini tidak menjadikan mahasiswanya dapat memiliki pemikiran kritis secara otomatis. Bahkan lebih miris lagi, lanjut beliau, setingkat professor sebagai representasi dari kaum terpelajar saja terkadang tidak luput dari perjokian.

“Karena kritis ini adalah buah dari literasi. Sedangkan pendidikan tidak berbanding lurus dengan kemampuan literasi.” Ujar  dosen UIN Jakarta dan perempuan pertama yang diangkat sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.

Kemampuan Bertindak Demokratis

Prinsip demokratis sebagai warga negara Indonesia sangat kita perlukan. Namun syarat yang harus terpenuhi untuk mewujudkan hal tersebut adalah memiliki civility values atau keadaban. Masyarakat yang demokratis hendaknya dapat menghormati orang lain, menerima keberagaman, dan menghargai perbedaan. Selain itu juga dapat mendengarkan dengan penuh empati serta memiliki lingkungan yang mendukung kolaborasi tanpa mengkotak-kotakkan latar belakang sosial.

Dan prinsip seperti ini telah Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i ajarkan dalam rekam jejaknya. Bagaimana ketiga guru bangsa ini selalu memperjuangkan hak-hak masyarakat minoritas yang sering terabaikan dari gelanggang percaturan politik maupun bidang-bidang lainnya.

Kemampuan Beragama secara Humanis

Pada akhirnya tujuan dari masing-masing agama adalah kemanusiaan. Tetapi belakangan ini kita sering menjumpai bahwa semakin banyak orang yang agamis, namun tidak manusiawi.

“Kamu mending jangan hijrah deh, soalnya sebelum hijrah kamu sibuk memikirkan dosa-dosamu, tetapi setelah hijrah kamu malah sibuk memikirkan dosa-dosa orang lain” ujar Prof Musdah Mulia.

Semakin orang beragama, sambung beliau, seharusnya semakin bermuhasabah diri, semakin intropeksi terhadap diri sendiri. Bukan malah menyalahkan orang lain dan merasa paling benar sendiri. Pada dasarnya Indonesia tidak dapat terlepas dari agama. Oleh karena itu, aktivis perempuan ini juga berharap supaya masyarakat sekarang hendaknya memikirkan bagaimana masa depan agama itu bisa lebih berkeadaban dan manusiawi.

Pendidikan Damai

Prof Musdah Mulia menuturkan bahwa pemikiran-pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i harus selalu kita kaji ulang dan juga dikembangkan. Salah satu caranya, menurut beliau, adalah dengan melaksanakan pendidikan damai.

Pada dasarnya pendidikan damai telah diajarkan oleh Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii.  Namun hal demikian tetap harus kita lakukan dan kembangkan. Karena tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selalu kondusif. Oleh karena itu pendidikan damai yang mengedepankan kemampuan berpikir kritis, demokratis, dan humanis ini menjadi penting.

Pendidikan damai dapat kita lakukan dengan penguatan literasi bagi setiap masyarakat. Prof Musdah Mulia menyebut lima bidang literasi yang harus digalakkan. Yakni literasi kemanusiaan, literasi kebangsaan, literasi lingkungan, literasi digital, dan literasi kesetaraan gender.

Kelima unsur literasi ini penting kita gencarkan untuk mewujudkan pendidikan damai sebagai manifestasi dari pemikiran-pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. []

Tags: Buya Syafi'iCak Nurgus durketeladananProf. Musdah Mulia
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Dapat disapa melalui akun @kang_udin30

Terkait Posts

Fatimah al-Banjari

Fatimah al-Banjari: Perempuan yang Mengisi Khazanah Kitab Kuning Nusantara

6 Juni 2023
Perkembangan Islam di Gorontalo

Peran Putri Owutango dalam Perkembangan Islam di Gorontalo

3 Juni 2023
Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso, Perempuan Yang Ikut Berkontribusi Lahirnya Pancasila

2 Juni 2023
Ayu Lasminingrat

Ayu Lasminingrat, Pionir Pendidikan Perempuan dari Sunda

31 Mei 2023
Rayyanah Barnawi

Kenalin Nih, Rayyanah Barnawi: Perempuan Muslim yang Meneliti di Luar Angkasa

30 Mei 2023
Nyi Hajar Dewantara

Nyi Hajar Dewantara : Kesalingan Suami-Istri Dalam Mewujudkan Cita-Cita Perjuangan

29 Mei 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ketimpangan Relasi Suami Istri

    Pandangan Jamal al-Banna terhadap Ketimpangan Relasi Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Hari Raya Idul Adha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Alasan Patriarkhi Tetap Bertahta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fatimah al-Banjari: Perempuan yang Mengisi Khazanah Kitab Kuning Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemaknaan Hadis Pengasuhan Anak Yang Ibunya Menikah Lagi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Sa’i: Simbol Perjuangan untuk Meraih Kehidupan
  • Pemaknaan Hadis Pengasuhan Anak Yang Ibunya Menikah Lagi
  • Rahasia Tawaf
  • Pandangan Jamal al-Banna terhadap Ketimpangan Relasi Suami Istri
  • Fahmina Berikan Pendampingan Pengelolaan Sampah di 4 Pesantren

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist