Mubadalah.id – Jika Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, barangkali tidak begitu dengan Adnan Oktar. Awal tahun 2021 ini, Adnan Oktar yang di Indonesia dikenal luas sebagai Harun Yahya dijatuhi hukuman penjara 1075 tahun. Lantas, kejahatan macam apa yang dilakukannya hingga Pengadilan Turki mengganjarnya dengan hukuman yang tidak masuk akal?
Harun Yahya, pertama kali saya mengenal namanya ketika kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) salah satu kampus negeri di Jatinangor-Sumedang. Layaknya primadona, Harun Yahya kerap diperdengarkan di segala ruang. Di laboratorium, di ruang kelas, di mushola fakultas, di kantin, di kost-kostan. Kepopulerannya membuat teman-teman dan senior saya getol sekali menggelar bedah buku dan pemikirannya.
Saat itu, bukunya “Atlas Penciptaan”, “Keruntuhan Teori Evolusi”, “Negeri-Negeri yang Musnah”, seolah menjadi harta karun yang membuat setiap orang yang menentengnya selalu nampak keren. Tak terhitung lagi banyaknya selebaran yang dibagi secara cuma-cuma dan bisa didapat dengan mudah di pintu mushola fakultas.
Tak hanya itu, ebook ilegal Harun Yahya menjadi softfile yang lebih wajib dimiliki ketimbang file pelajaran kuliah. Tersebar dengan begitu cepat, berpindah dari personal computer yang satu ke lainnya. Begitupun dengan video-video Harun Yahya yang dengan sukarela saya dan teman-teman tonton berjamaah di kost-kostan. Tak peduli jika itu akan menghabiskan waktu kami berjam-jam, yang seharusnya dapat kami pakai untuk menonton video sains lainnya serial “Cosmos” Carl Sagan, misalnya.
Harun Yahya menjelma menjadi intelektual sains yang mencuri perhatian karena teorinya berkiblat pada agama. Sosok yang dicari-cari, ketika banyak tokoh sains menganut atheism. Banyak orang terbius dengan upayanya meruntuhkan teori evolusi Charles Darwin. Teori yang dianggap sesat karena mengusung ‘manusia berasal dari monyet’.
Ketidakterimaan atas dangkalnya pengetahuan pada teori Charles Darwin membuat Harun Yahya mulus sekali melancarkan teorinya. Rendahnya pemahaman masyarakat umum, bahkan kami mahasiswa di Fakultas MIPA untuk menerima bahasa sains yang dianggap terlalu tinggi, membuat Harun Yahya mudah mengambil hati kami, remaja-remaja yang haus akan pengetahuan baru.
Yang menyedihkan, kecanduan akan pemikiran Harun Yahya, membuat saya dan teman-teman hanya menempatkan pemikiran-pemikiran sainstis Albert Einsten, Stephen Hawking, Carl Sagan, Charles Darwin berhenti di ruang kelas ketika pelajaran berlangsung. Kami tak menyisakan ruang lain untuk mereka hadir.
Di sisi lain, pustakawan humaniora di Jatinangor dengan mimik muka sedih sekaligus marah mengeluhkan minimnya minat baca mahasiswa fakultas MIPA. Perpustakaannya hampir tak pernah kedatangan tamu dari MIPA. Seolah-olah ada dinding yang begitu tebal antara humaniora dan sains.
Ia mengaku tak menyediakan satu pun buku Harun Yahya. Ia hanya menyediakan buku-buku sains dari ilmuwan yang kredibel, sekalipun tumpukan buku tersebut tidak pernah ada yang meminjamnya.
Keluhannya tidak bisa saya bantah, ketika saya menyadari bahwa saya dan teman-teman di kampus lebih memilih berkumpul di mushola untuk berbincang tentang Harun Yahya, kadang pula tentang gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perpustakaan sama sekali tidak menarik. Ia hanya ruang yang penuh dengan kesunyian.
Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Ungkapan ini ternyata harus saya percayai meskipun butuh waktu yang lama. Setelah dielu-elukan bak nabi oleh jutaan pengikutnya, segala euphoria tentangnya yang mulai muncul di awal tahun 2000-an mendadak redup ketika di tahun 2018 pemerintah Turki menangkap dan mendakwanya dengan puluhan tuntutan.
Tak main-main, ia dituntut mendirikan dan memimpin organisasi kriminal, mencuri data pribadi, melanggar hak orang atas pendidikan. Dan yang paling membuatnya pantas diganjar hukuman sangat berat yaitu selain melakukan penyiksaan, ia pun melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan dewasa dan anak di bawah umur.
Hukuman 1075 tahun tidak pernah sepadan dengan kejahatan yang dilakukannya, terlebih pada kejahatan seksual. Harun Yahya telah membunuh banyak kehidupan. Menyuguhkan ketakutan akan masa depan yang suram bagi para korban.
Selain itu, Ia juga harus bertanggung jawab atas pemikiran pseudosains (kebohongan sains) yang diusungnya. Pemikiran yang telah membunuh nalar kritis remaja-remaja yang seharusnya dapat tumbuh dengan liar. Ia mencuri uang, tenaga, perhatian, dan waktu kami. Hal yang tidak mungkin ia dikembalikan.
Butuh dua dekade untuk membunuh kebohongan Harun Yahya. Waktu yang sangat panjang. Harga yang harus dibayar mahal. Pengalaman ini dapat menjadi gambaran bagaimana seharusnya kita menjadi pemilah agar orang-orang seperti Harun Yahya alias Adnan Oktar tidak lagi mendapat ruang. []