Mubadalah.id – Ketika ada berita perselingkuhan, selalu saja ada term yang heboh dan paling rajin dimunculkan. Apalagi kalau bukan istilah Pelakor. Istilah yang merupakan kepanjangan dari ‘perebut laki orang’ itu selalu saja ramai diwacanakan dan memosisikan perempuan sebagai satu-satunya sosok yang patut untuk disalahkan. Mengapa masyarakat gemar memakai istilah Pelakor dan menuding perempuan?
Coba kita Googling dan mengetik kata ‘pelakor’. Ada 3.720.000 hasil penelusuran dengan berbagai judul. Beberapa judul video yang muncul misalnya, ‘Video Aksi Istri Tampar Suami dan Pelakor Viral, Netizen Puas’. Ada juga artikel berjudul ‘Inilah 3 Fakta Tentang Pelakor’. Masih banyak lagi judul-judul fantastis bombastis yang dibuat dengan embel-embel Pelakor. Pada satu sisi, beritanya menjual. Pada sisi yang lain, masyarakat menikmati hujatan yang ditujukan pada perempuan.
Apabila kita mengamati kasus demi kasus yang terjadi, laki-laki selalu invisible dalam setiap kasus perselingkuhan. Maksudnya begini, ketika perselingkuhan sudah ketahuan oleh sang istri maka perseteruan yang terjadi adalah sesama perempuan. Si istri dengan si perempuan yang satunya. Mereka seperti berebut laki-laki dan menyalahkan satu sama lain. Si istri dianggap tidak mumpuni dalam melayai suami, sehingga si suami layak untuk berpaling ke lain hati.
Sedangkan si perempuan satunya, sudah pasti habis-habisan dicecar sebagai perempuan yang merebut suami orang lain. Lalu bagaimana dengan si suami? Dia seperti invisible dan tidak masuk dalam list utama sebagai sosok yang bersalah.
Padahal, perselingkuhan itu terjadi oleh dua individu dewasa – bukan satu individu. Mestinya kan, ada dua pihak yang disalahkan. Situasi ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang patriarkal. Laki-laki selalu dianalogikan sebagai sosok yang maskulin seperti perkasa, haus akan hawa nafsu, sosok yang dilayani, dan lain-lain. Sedangkan perempuan dilekatkan dengan perannya yang feminin, seperti lemah lembut, melayani, penurut, dan seterusnya.
Pandangan yang kaku terhadap peran perempuan dan laki-laki tersebut, akhirnya menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan distigma buruk apabila tidak melayani laki-laki. Lalu laki-laki dianggap ‘sangat wajar’ apabila melakukan perselingkuhan karena nafsu laki-laki dianggap lebih besar daripada perempuan (padahal, menurut seorang dokter dalam sebuah pelatihan yang saya temui, beliau mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara nafsu dengan jenis kelamin).
Perempuan kemudian disalahkan dalam kasus perselingkuhan, baik dari sisi si istri maupun si perempuan satunya. Perempuan dilekatkan dengan peran-peran domestik sebagai sosok yang melayani keluarga termasuk suami. Implikasinya, si istri disalahkan karena dianggap tidak mampu untuk melayani suami.
Kemudian perempuan juga diberi label sebagai pelakor atau penggoda (jarang sekali ada istilah laki-laki penggoda). Ditambah penafsiran agama yang sangat bias gender, yang melekatkan perempuan pada ‘sumber fitnah’ maupun ‘penghuni api neraka’ (padahal laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah dan penghuni api neraka). Dampaknya, si perempuan satunya lagi disalahkan karena dianggap menggoda laki-laki yang sudah bersuami.
Saya bukannya membenarkan perselingkuhan. Tetapi, kita perlu menyadari bahwa perselingkuhan itu dilakukan oleh dua individu dewasa dan tidak sepatutnya menyalahkan satu pihak saja. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip perkawinan sangat perlu menjadi fondasi dalam membina rumah tangga yang saling membahagiakan.
Perjanjian yang kokoh, berpasangan, saling rela, saling memperlakukan dengan baik, serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan adalah pilar-pilar relasi keluarga yang patut untuk dipegang teguh (Lima Pilar Relasi Keluarga Bahagia, Youtube Swararahima dotcom).
Dalam hal ini, keterbukaan satu sama lain adalah hal mendasar dalam relasi suami istri. Berkomunikasi secara terbuka dan jujur adalah salah satu ciri dalam relasi setara yang bisa diterapkan di dalam rumah tangga. Karena relasi setara yang saling membahagiakan itu, dibangun oleh dua belah pihak, suami dan istri. Ada upaya dari keduanya untuk membangun hubungan yang bahagia. Kalau sudah sama-sama bahagia dan memegang teguh prinsip keluarga sakinah mawaddah warahmah, tidaklah terpikir untuk melakukan perselingkuhan.
Kalau sudah memahami situasi dan ketidakadilan yang dihadapi perempuan, tidaklah pula kita berpikir untuk memberi stigma ataupun menyalahkan perempuan. Coba refleksikan kembali dari pengalaman kita sehari-hari. Bagaimana ketidakadilan yang dialami oleh perempuan akibat ideologi patriarkal yang menancap di kepala itu. Lalu pertanyakan diri kita sendiri, “sudahkah aku adil sejak dalam pikiran?” []