Mubadalah.id – Fenomena kekerasan seksual meningkat saat pandemi. Pada sisi lain, Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 hingga sekarang masih menjadi perdebatan. Menteri Nadiem Makarim dalam Mata Najwa edisi “Ringkus Predator Seksual Kampus” mengatakan bahwa kekerasan seksual di Indonesia adalah pandemi.
Saya sangat setuju, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh Negara di dunia. Namun, mengapa kekerasan seksual masih langgeng terjadi? Apa batasan antara kekerasan seksual dan tidak? Apa vaksinnya?
Berbicara tentang kekerasan seksual selalu melelahkan bagi saya secara personal, perasaan yang campur aduk antara sedih, marah, takut, jijik dan sakit. Saya juga merupakan korban. Minggu lalu saya diundang oleh Katolikana Muda TV untuk berbicara mengenai “Pandemi Kekerasan Seksual: Bagaimana Menanganinya?”. Ada beberapa pertanyaan menarik yang saya dapatkan baik dari host maupun dari penonton.
Ada yang menanyakan pada saya mengapa kekerasan seksual baru diributkan sekarang, mengapa dulu tidak diributkan? Meski tidak diketahui kapan pertama kali kasus kekerasan seksual terjadi di dunia, namun pada masa Rasulullah SAW pernah ada kasus seorang perempuan diperkosa oleh laki-laki saat dia pergi ke luar rumah untuk shalat berjamaah (dalam hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Kasus tersebut tentu bukan satu-satunya kasus, masih banyak sebelum itu perempuan yang diperlakukan tidak manusiawi terutama yang berhubungan dengan seksualitasnya sebelum zaman Rasulullah SAW. Kata seksual atau seksualitas itu mungkin masih asing bagi sebagian orang. Setiap zaman, Negara, bahasa dan budaya mungkin memiliki istilah khusus untuk menyebutkan kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya.
Menurut Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual, “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
Permendikbud no. 30 juga menjelaskan pengertian kekerasan seksual beserta bentuk-bentuknya yang secara khusus dalam lingkungan kampus. Dalam Permendikbud ini juga dijelaskan bahwa kekerasan seksual itu mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Jadi memang penting memiliki pemaknaan dan ruang khusus mengenai kekerasan seksual agar tidak salah tafsir.
Berdasarkan pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa kekerasan seksual bukan hal yang baru di Indonesia. Namun memang semakin lama orang-orang semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak bisa dibiarkan menjadi fenomena gunung es tak tak pernah terkikis, justru bertambah besar.
Sebagian orang masih merasa tabu membicarakan hal ini. Tapi kesadaran, pengetahuan masyarakat, gerakan perempuan dan perspektif keadilan gender membawa isu ini menjadi terlihat dan berusaha mengadvokasi.
Agar masyarakat tidak bingung mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual, KOMNAS Perempuan membaginya dalam 15 bentuk yaitu perkosaan; intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; pelecehan seksual; eksploitasi seksual; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (human trafficking); prostitusi paksa; perbudakan seksual; pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung; pemaksaan kehamilan; pemaksaan aborsi; pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; penyiksaan seksual; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; serta kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Menurut Menteri Nadiem Makarim, vaksin untuk pandemi kekerasan seksual adalah edukasi dan sanksi. Edukasi dan sanksi ini harus ada dalam payung hukum sehingga dapat dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Bagi saya, Permendikbud ini adalah vaksin yang cukup efektif, yang dapat membuat jalan untuk mendapatkan vaksin lainnya bahkan obat penyembuhnya dalam bentuk lain.
Perdebatan dalam ruang digital yang meributkan frasa consent dan adanya anggapan Permendikbud melegalkan zina, justru mendistorsi tujuan utama kebijakan ini yaitu untuk pencegahan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Mereka yang menolak kebijakan ini hanya fokus pada hal-hal itu, dan tidak pernah membahas bagaimana mereka memberikan pencegahan dan perlindungan pada korban.
Indonesia darurat kekerasan seksual, terutama dalam kampus. Dari survey Kemendikbud, 77% dosen mengatakan pernah melihat kekerasan seksual di dalam kampusnya sendiri 67% tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Seringkali kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang, sehingga korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan bahkan tidak berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami sendiri.
Saya sendiri adalah korban kekerasan seksual di ruang publik, sampai sekarang hal itu masih menyisakan trauma bagi saya. Kampus saya masih menjadi tempat yang aman bagi saya, namun tidak pada sebagian mahasiswa dan mahasiswi di luar sana. Misalnya kasus oleh dosen pada mahasiswi di Universitas Riau yang belakangan ramai dibicarakan dan malah korban diancam kriminalisasi.
Saya juga sedih sekali ketika mendengar penuturan korban dalam acara “Ringkus Predator Seksual Kampus”, yang terpaksa tidak melanjutkan kuliahnya karena kekerasan seksual yang dialaminya di kampus membuatnya trauma dan kerugian yang besar dalam hidupnya. Tidak mudah bagi korban untuk terbuka akan pengalaman traumatisnya, juga tidak mudah untuk mendapatkan keadilan karena payung hukum di Indonesia belum memadai.
Sebagian orang masih menyalahkan korban ketika terjadi kekerasan seksual seperti menyalahkan pakaian korban dan waktu mereka dilecehkan. Padahal penelitian dari beberapa lembaga di Indonesia menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual di ruang publik itu 18 % menggunakan rok dan celana panjang, 17% berhijab. Kekerasan seksual di ruang publik justru paling banyak terjadi pada siang hari 35%, sore 25%, malam 21% dan pagi 17%.
Kita semua harus berhenti menyalahkan korban, kita harus mempercayai cerita korban, memberikan perlindungan dan keamanan bagi mereka. Kita juga harus memiliki payung hukum yang berpihak pada korban, dan memberikan sanksi berat pada pelaku. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, jadi itu adalah aib bagi pelaku dan bukan bagi korban. Kita butuh seluruh tempat, waktu dan kondisi menjadi aman bagi semua orang tanpa terkecuali.
Demikian penjelasan terkait kekerasan seksual meningkat saat pandemi. Itu tentu sesuatu yang mencengangkan, terlebih kekerasan seksual meningkat saat pandemi, yang notabenenya orang tak banyak aktivitas di luar rumah.[Baca juga; Bagaimana cara agar terhindar dari kekerasan seksual?]