Mubadalah.id – Koalisi Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI), Gender Network Platform, dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam press rilisnya (Selasa, 14/12/21) menyatakan dan mendorong pengesahan RUU TPKS di sidang paripurna DPR RI.
Upaya ini tentu dilakukan karena Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual dan membutuhkan payung hukum yang melindunginya. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam SIMFONI PPA pada 1 Januari hingga 9 Desember 2021, ada 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 73,7 persennya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, terdapat 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 59,7 persen.
Kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dan institusi keagamaan juga semakin marak. Ini menandakan makin tipisnya tempat aman bagi perempuan. Data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan tahun 2015-2020, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas. Termasuk kasus yang terjadi di beberapa lembaga negara dan aparat penegak hukum yang belakangan banyak terungkap.
Begitupun kekerasan yang terjadi di tempat kerja. Berdasarkan data Trade Union Rights Centre (TURC), NonGovernment Organization (NGO) yang berperan sebagai Pusat Studi dan Advokasi Perburuhan untuk mendukung peran serikat pekerja dalam memperjuangkan hak-hak buruh serta kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya, menyatakan bahwa kekerasan di tempat kerja juga mengkhawatirkan.
TURC pada 2018 merilis bagaimana kondisi pekerja Indonesia terkait dengan tindak kekerasan, pelecehan dan diskriminasi. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika di KBN Cakung (2017) menunjukkan bahwa 56,5% buruh garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk dan 93,6% dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme di tempat kerja.
Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50% buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil. Statistik serta fakta-fakta terkait kekerasan yang terjadi di tempat kerja saat ini adalah pengingat kuat bahwa kekerasan di tempat kerja lebih umum dari pada yang kita kira.
Fakta dan peristiwa tersebut di atas sudah cukup mengambarkan betapa perempuan, anak perempuan, dan juga laki-laki sangat tidak terlindungi secara hukum. Sudah saatnya segera disahkan Undang-undang yang melindungi dari kekerasan seksual dan menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya.
“Kami memperjuangkan pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja. Karena tempat kerja menjadi salah satu klaster penyumbang kasus kekerasan seksual setelah lembaga pendidikan dan tempat umum. Pemerintah harus tindak cepat dan tanggap. Apakah pemerintah akan mebiarkan anak-anak bangsa kehilangan masa depan?” Ungkap Ary Joko dari APBGATI.
“Keamanan dan keselamatan pekerja bukan hanya baik untuk pekerja saja, tetapi juga untuk perusahaan dan bisnisnya, karena keamanan yang baik itu akan meningkatkan produktivitas kerja” Imbuh Amalia Falah dari Gender Network Platform
Negara wajib memastikan tidak ada lagi korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi sehingga membutuhkan penanganan terpadu dan komprehensif, pelaku dihukum dan tidak ada lagi hak-hak korban yang dilanggar, untuk itu koalasi ini menyatakan dan mendorong agar:
Pertama, Kepada DPR RI harus menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam agenda sidang Paripurna dan mengesahkannya sebagai RUU inisiatif DPR dan memandatkan kepada Baleg untuk menindaklanjuti pembahasannya guna percepatan pembahasan menjadi UU TPKS, dan menyampaikannya kepada Presiden untuk segera dibahas bersama Pemerintah sebagai RUU Prioritas dalam Prolegnas 2022.
Kedua, Kepada Pemerintah. Mengapresiasi Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas lintas kementerian/lembaga untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS dan merekomendasikan kepada Pemerintah untuk melibatkan lembaga HAM Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan LPSK sebagai bagian dari Gugus Tugas.
Ketiga, Kepada DPR dan Pemerintah. Memastikan keterlibatan unsur masyarakat yang memberikan dukungan pada RUU TPKS dan pendapat korban dalam pembahasan RUU TPKS. Gugus tugas Pemerintah dan DPR RI harus membuka ruang-ruang partisipasi bagi masyarakat dan korban sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019, membuka ruang lebar partisipasi politik rakyat dalam segala proses tahapan pembentukan undang-undang.
“Berdasarkan kejadian yang semakin marak akhir-akhir ini, alam sedang bekerja untuk kita. Tangan Tuhan bekerja bagaimana RUU TPKS ini dibutuhkan agar semakin banyak yang terlindungi hidupnya, dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin keamanan hidup warga negaranya” Pungkas Sri Nurherwati pada penyampaian siaran pers yang dilakukan koalisi ini. []