• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kisah Perempuan Desa yang Ingin Beranjak

Tentu, dengan keputusan ini aku berharap akan ada banyak perempuan desa, dan pemuda-pemuda yang memilih pulang setelah selesai bertugas, dan mendapat apa yang dicari di kota

Rara Zarary Rara Zarary
24/08/2022
in Pernak-pernik
0
Kisah Perempuan Desa yang Ingin Beranjak

Kisah Perempuan Desa yang Ingin Beranjak

397
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta.

Tetapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa. (Mohammad Hatta)

Mubadalah.id – Ini adalah kisah perempuan desa yang ingin beranjak. Alkisah, Aku adalah perempuan desa yang baru saja menamatkan pendidikan magister di salah satu perguruan tinggi negeri, tepatnya di kota Presiden Jokowi dilahirkan, Surakarta.  Aku merantau sebagai anak Ibu, yang sejak 11 tahun lalu ditinggalkan oleh suaminya. Seorang Ibu yang menggantungkan satu-satunya harapan padaku, harapan untuk tetap hidup baik-baik saja dan hidup layak seperti orang-orang di kota (sepemahaman Ibu, kehidupan orang-orang kota terpenuhi dan penuh dengan cahaya).

Meski tanpa suami –tanpa ayah- semangat dan keyakinan ibu terus menyala, mendukungku merantau sebagai perempuan desa yang haus ilmu pengetahuan dan butuh pengalaman, yang kelak akan kembali (pulang) ke desa dengan kaya wawasan dan menebar kebermanfaatan. Ahh, betapa tinggi ekspektasi Ibu, betapa mulia cita-cita Ibu, dan betapa aku bersyukur menjadi anak Ibu.

Saat merantau, aku berangkat sebagai perempuan desa yang yakin bisa menemukan banyak warna di kota, lalu kelak kembali sebagai puteri daerah dan membawa banyak cahaya, cahaya pembaruan kehidupan di desa, cahaya kemerdekaan untuk perempuan-perempuan desa, cahaya menyenangkan bagi anak-anak yang tak memiliki impian karena keraguan dan ketakutan, dan cahaya-cahaya lain seperti harapan Ibu, dan banyak harapan masyarakat di desa. Harapan suatu saat akan datang generasi yang cerdas, bertanggung jawab, serta mampu membangun desa lebih maju dan layak menjadi tempat pribumi bertahan hidup.

Sebagai bagian perempuan desa yang lahir dari budaya patriarki, bukan tak sulit untuk sampai di titik ini, titik di mana aku berhasil menyandang gelar magister dan masyarakat melihatku sebagai orang yang harus bisa diandalkan dalam berbagai hal, titik di mana para warga menagih perubahan, titik di mana aku –sebagai perempuan- harus membuktikan dan menyelamatkan kehidupan perempuan desa dari mitos dan stigma negatif lainnya, dan hal paling penting adalah titik di mana aku harus membawa kesadaran bahwa anak-anak desa berhak untuk bermimpi, berkarya, dan berjuang.

Di balik semua harapan, keinginan, dan tujuan itu, aku menempuh banyak proses yang kadang melelahkan, membosankan, bahkan meragukan dan menakutkan. Aku menyadari, setelah aku memutuskan merantau dari desa ke kota atas sebuah tujuan, maka aku harus kembali (pulang) ke desa untuk sebuah pembuktian. Membuktikan bahwa pendidikan tinggi yang sudah aku tamatkan akan berpengaruh dan memberi manfaat dalam kehidupan, termasuk bagi kehidupan di desaku.

Baca Juga:

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Bekerja adalah Ibadah

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Paling tidak, saat ini yang bisa dilihat adalah banyaknya warga yang menyadari dan mengamini bahwa pendidikan dan berwawasan itu memang sangat penting untuk menjadi pribadi yang berdaya, menjadi manusia yang lebih berharga, dan bisa menyikapi berbagai problem kehidupan lebih baik, daripada sebelumnya.

Tidak cukup sampai di sini saja, perjalananku sebagai perempuan desa masih sangat panjang yang tentu butuh teman-teman untuk berjuang bersama-sama. Teman-teman itu adalah kamu. Iya, kamu yang sedang membaca tulisan ini, kamu yang sedang merantau dan harus ingat pulang, kamu anak-anak desa yang harus kembali untuk menyalakan cahaya di desa.

Kamu anak Ibu yang harus ingat pada tujuan awal mengapa memilih merantau dan berjuang, kamu perempuan desa, kamu perempuan berdaya, yang memiliki jalan berjuang berbeda, namun tujuan kita sama; kelak membahagiakan diri kita, keluarga, bangsa, dan negara. Semoga perjalanan terjal kita yang menghadapi banyak lika-liku, mampu kita lalui dengan baik dan berwibawa.

Menyalakan Lilin Desa Bersama

Lilin yang hanya dinyalakan oleh satu orang, tidak akan pernah bisa menerangi jagad raya. Cahayanya akan hilang. Tapi, bila lilin-lilin itu dinyalakan bersama-sama, cahayanya menembus tak hanya pada dinding desa, namun ke jagat raya, Indonesia. Lilin yang dinyalakan oleh anak-anak desa. Seperti yang dikatakan oleh penyair yang lahir dari desa, “tanpa desa, negara hanya sebuah nama yang hampa.” (Raedu Basha, 2021).

Setalah bertahun-tahun aku menikmati banyak hal di kota, kini kepulanganku ke sebuah desa menemukan jawaban yang selama ini menjadi teka-teki aku tak pulang. Kali ini kepulangan itu berbeda, penuh harapan, penuh makna, dan sangat membahagiakan, sekali lagi semua ini karena aku masih punya harapan untuk menyalakan cahaya di desa. Jika boleh dan bisa, tak hanya cahaya lilin, namun purnama.

Terlepas dari segala alasan pulang, aku bersaksi: bahwa pendidikan bagi seluruh bangsa sangat penting, bagi kalangan laki-laki, perempuan, anak kota, anak desa sudah saatnya membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Saat pulang ke desa, kita berpikir soal peluang, salah satunya adalah membangun usaha, mengembangkan pariwisata, membangun komunitas, peduli literasi daerah termasuk literasi bagi usia lansia.

Hal itu salah satu tugas pemuda saat kembali ke desa untuk perubahan besar yang akan membuat desa hidup dan bercahaya. Salah satunya ada komunitas yang kami bangun bersama, yaitu komunitas Pesantren Perempuan. Sebuah komunitas yang akan menjadi teman bercerita, teman belajar, dan teman berjuang anak-anak di desa, terutama bagi para perempuan desa yang masih jauh dari kata berdaya. Kita punya cara berjuang berbeda, namun aku yakin kita dalam satu tujuan yang sama, menuju bahagia, berdaya, dan merdeka.

Sebuah Refleksi

Siapa yang akan membawa pembaruan di desa, bila generasi muda yang berpendidikan tinggi, berwawasan luas merasa lebih nyaman di kota? aku tahu semua orang punya jawaban masing-masing. Termasuk aku, mengapa aku harus dan memilih untuk pulang ke desa. Siap tidak siap, mau tidak mau: aku pulang untuk benar-benar mencari peluang, membuat peluang, dan menciptakan apa yang bahkan belum terpikirkan oleh warga, dan hal-hal itu adalah apa yang ku dapatkan selama aku berpetualang di kota.

Tentu, dengan keputusan ini aku berharap akan ada banyak perempuan desa, dan pemuda-pemuda yang memilih pulang setelah selesai bertugas, dan mendapat apa yang dicari di kota. Seperti yang dikatakan oleh Mohammad Hatta, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta. Tetapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”, tanpa orang-orang di desa kota akan sunyi, dan tanpa ilmu orang-orang desa tak akan memiliki cahaya.

Oleh sebab itu, sangat penting pendidikan bagi rakyat desa, dan sangat penting bagi rakyat desa untuk bersama menyadari bahwa kita semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperjuangkan asa. Tapi yang lebih penting adalah anak-anak desa mau pulang (kembali) ke desa, untuk menyalakan cahaya, bersama-sama.

Mari bersama saling mendukung untuk berdaya, berpendidikan, dan secara terus menerus berusaha menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dari kelompok terkecil seperti keluarga, warga desa, hingga rakyat kota. Tidak perlu memandang sebelah mata soal jenis kelamin, perbedaan suku, agama, dan bahasa, termasuk siapa yang punya kuasa.

Kaya miskin, laki-laki perempuan, warga desa dan kota, semua punya hak yang sama, sehingga perlu kesempatan yang sama. Sinergitas inilah yang lambat laun akan membangun masyarakat beradab dan menjunjung tinggi persatuan bangsa dan negara. Aamiin. Salam cinta, dari perempuan desa. 

Demikian Kisah Perempuan Desa yang Ingin Beranjak. Kisah yang penuh hikmah dan pelajaran hidup. Kisah perempuan desa yang ingin beranjak ini, semoga memberikan manfaat. []

Tags: bekerjabelajarHak PerempuanpendidikanPerempuan Desa
Rara Zarary

Rara Zarary

Perempuan asal Madura, saat ini aktif di komunitas Pesantren Perempuan, lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version