• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir: Pancasila Sudah Islami

Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila mengutip petuturan Kiai Wahab Hasbullah bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (nilai-nilai agama) tak lain adalah Islam itu sendiri

Wafiroh Wafiroh
01/06/2022
in Featured, Publik, Rekomendasi
0
KH. Afifuddin Muhajir

KH. Afifuddin Muhajir

334
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berbicara tentang Kiai Afifuddin Muhajir, maka kita tidak bisa lepas dari berbicara tentang kemasyhurannya dalam bidang Usul Fikih. Sosok Kiai rendah hati ini beberapa waktu silam mendapat gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang.

Tentu hal ini wajar mengingat kealiman dan kepakaran beliau dalam bidang Usul Fikih sudah diakui bahkan hingga level internasional. Dikisahkan bahwa Said Aqil Siradj pernah mendeklarasikan bahwa Kiai Afif (panggilan akrab beliau) adalah salah satu dari dua pakar Usul Fikih di Indonesia. Bahkan Syaikh Wahbah Zuhaili seringkali menggantikan tugasnya di Indonesia kepada Kiai Afif.

Dalam momen penganugerahan doktornya, beliau menyampaikan sebuah orasi ilmiah berjudul Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushush dan Maqashid). Melalui orasinya tersebut, beliau menegaskan bahwa Pancasila yang menjadi dasar negara kita tidak bertentangan dengan teks-teks agama (nushush) dan dengan makna-makna yang dituju dari adanya syariat (Maqashid Syariah).

Tulisan ini tak lain hanya ingin menyajikan pokok-pokok pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir dalam orasinya tersebut. Tentu saja, dengan sedikit uraian sesuai dengan kadar keilmuan penulis yang masih minim ini. Selain itu, tulisan ini merupakan seri kedua dari tulisan Pancasila dan Agama yang ditulis dalam rangka memperingati-mengenang hari besar bangsa kita: hari Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni.

Orasi yang beliau sampaikan, tanpa tedeng aling-aling menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama dan pakar agama yang sangat nasionalis. Alih-alih membawa narasi yang rentan memecah persatuan, seperti yang banyak ditemukan belakangan ini dari tokoh-tokoh agama, beliau justru tampil membela keutuhan negara melalui orasinya tentang Pancasila. Bagi beliau, Pancasila tidak hanya dasar negara semata. Namun ia sesuai dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama Islam.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

Uraian Pandangan Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila

Sebagaimana judul orasi ilmiah yang beliau sampaikan, berikut pandangan Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila dalam timbangan syariat. Dalam hal ini dari aspek teks-teks (nushush) dan maqashid syari’ah.

Pertama, dari aspek teks agama, menurut beliau Pancasila berkisar di antara tiga kemungkinan. Yaitu tidak bertentangan, selaras atau bahkan bisa jadi agama itu sendiri. Dikatakan tidak bertentangan, karena tidak ada butir-butir Pancasila yang menyalahi Tauhid dan keimanan umat Islam.

Sementara dalam urusan relasi sosial (muamalah) dalam Islam sendiri hukumnya adalah boleh (mubah) selama tidak terdapat dalil yang melarangnya. Tak lain yang dijadikan acuan adalah terwujudnya maslahat dan terhidar dari mafsadar atau kerusakan. Jadi selama dua hal tersebut bisa terwujud, apa yang salah kemudian?

Dikatakan selaras, menurut beliau ini adalah jawaban yang moderat. Hingga pada satu titik, Pancasila terentas dari objek perdebatan antara menolak atau menerimanya. Karena berdasarkan kajian yang beliau lakukan, ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang secara konten sesuai dengan isi Pancasila.

Pancasila adalah agama itu sendiri, karena ternyata dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.

Kedua, sementara Pancasila dikatakan selaras dengan Maqashid Syari’ah, dari aspek bahwa keduanya merupakan asas universal yang menjadi rujukan bagi setiap undang-undang partikular di negeri ini. Hemat penulis, kedua hal ini mengalir pada satu muara yang sama.

Pancasila maupun Maqashid sama-sama tidak akan mengizinkan adanya kebijakan negara yang bertentangan dengan asas-asasnya. Tidak boleh ada kebijakan yang melanggar sila keadilan, misalnya sebagaimana tidak boleh pula kebijakan yang tidak memperhatikan terwujudnya maslahat sebagaimana dalam teori maqashid. Bahkan tidak boleh melakukan apapun –meski terdapat maslahat partikular– namun dapat merusak kemaslahatan universal.

Sebagaimana pada seri pertama tulisan ini, Kiai Afifuddin Muhajir juga menguraikan masing-masing sila dengan nushus. Penulis tidak ingin menguraikan masing-masing sila berdasarkan perspektif Kiai Afif karena keterbatasan ruang. Sekedar contoh, penulis akan menjabarkan pandangan Kiai Afif mengenai sila ketiga. Sementara selebihnya, pembaca bisa merujuk langsung kepada sejumlah media-media yang menyiarkan langsung orasi ilmiah beliau.

Persatuan Indonesia, menurut Kiai Afifuddin Muhajir sejatinya adalah keyakinan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu bangsa yang disatukan oleh bahasa, budaya, sejarah, letak geografis dan kepentingan yang sama tanpa perasaan istimewa di antara bangsa-bangsa lain. Pemahaman ini sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat maupun ukhuwah Islamiyah. Justru keberlangsungan negara dengan semua aspeknya hingga urusan agama sekalipun bergantung pada itu semua.

Beliau mengutip sejarah bahwa praktik sila ketiga dapat ditemukan dari perjuangan para ulama dan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berkorban harta hingga darah untuk memperjuangkan bangsa mereka. Terkait dengan hal ini, H.O.S. Cokroaminoto berpandangan bahwa alih-alih menghalangi nasionalisme, justru Islam mengukuhkannya. Kiai Afifuddin Muhajir juga mengutip petuturan Kiai Wahab Hasbullah bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (nilai-nilai agama) tak lain adalah Islam itu sendiri.

Dari sini kita dapat menilai, bahwa Kiai Afifuddin Muhajir dengan kepakarannya dalam ilmu agama dan Usul Fikih secara khusus, tampil sebagai pemuka agama yang nasionalis. Alih-alih memicu sensitifitas negatif terhadap negara seperti banyak kita temui dari tokoh-tokoh lain, beliau justru sebaliknya. Menampilkan wajah Islam yang nasionalis, toleran, rukun, guyub dan berdiri kukuh dengan Pancasila dengan seluruh pengamalannya sebagai pondasi. Allahu A’lam. []

Tags: cinta tanah airIndonesiaKebangsaanKiai Afifuddin MuhajirNasionalismePancasila
Wafiroh

Wafiroh

Alumni Ma'had Aly Situbondo - Perintis Pesantren Anak Tarbiyatul Quran wal Kutub

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version