Mubadalah.id – Penikmat kajian Tafsir tentu tidak asing dengan julukan Tokoh Hermeneutika yang melekat pada Kiai Sahiron Syamsuddin. Adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tempat dimana Kiai Sahiron menginternalisasi teori hermeneutika. Kajian hermeneutika syarat akan embel-embel Bible milik umat Kristen sehingga keberadaannya dianggap sebagai metode yang akan mengacaukan dan menyesatkan jika diterapkan dalam Al-Qur’an.
Sekitar sebulan yang lalu, Kiai Sahiron mendapatkan gelar profesornya dalam bidang Ilmu Tafsir. Banyak kalangan telah memanfaatkan kepakaran Tokoh Hermeneutika Kiai Sahiron dalam bidang Tafsir. Tidak hanya di lingkungan akademik sebagai proses lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan namun juga di kancah negara sebagaimana kita ketahui kehadiran Kiai Sahiron sebagai saksi ahli dalam kasus Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaj Purnama.
Baru-baru ini, channel Meet and Great UIN Sunan Kalijaga yang dipandu oleh Prof. Al-Makin yang merupakan rektor kampus tersebut, me-release perbincangan Prof. Al-Makin dengan Kiai Sahiron. Ada hal-hal menarik dalam pembahasan, dan perbincangan kedua tokoh ini mulai pendidikan, pemikiran hingga persahabatan antar keduanya.
Kiai Sahiron lahir di Cirebon tepatnya desa Panembahan. Pendidikan masa kecil tokoh Hermeneutika ini memulainya dari Pendidikan SD pada pagi hari dan pendidikan Diniyah di sore hari. Ia menempuh Pendidikan menengah dan atas di Mts-MA Babakan Ciwaringin Cirebon mulai tahun 1981 hingga 1987.
Dalam proses pendidikan tokoh Hermeneutika ini, Kiai Sahiron mendapatkan ilmu alat (grammer) seperti Nahwu Sharaf dengan membuat modal studi tahap selanjutnya. Selanjutnya, pada tahun 1987 menempuh S-1 Tafsir Hadis di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, berlanjut S-2 di Kanada dan S-3 di Jerman dengan mengambil tugas akhir terkait Tafsir.
Mengenal Metode Penafsiran Tokoh Hermeneutika
Dalam video berdurasi 42 menit 25 detik tersebut, Kiai Sahiron mengulas tentang metode penafsiran. Kiai Sahiron memulai pembahasan dengan menyebutkan tiga madzhab besar tafsir di masa kontemporer. Pertama, Quasi Objectivis Conservative adalah madzhab yang mempunyai pandangan bahwa seseorang memahami ayat suci Al-Qur’an harus menggali original meaning dengan berbagai analisis. Makna original meaning tersebut dipertahankan (conserve) hingga masa kontemporer.
Melalui video tersebut, Kiai Sahiron memberikan contoh QS. An-Nisa ayat 3. Makna tekstual (original meaning) dari ayat tersebut untuk menikah dua, tiga, atau empat masih hingga sekarang.
Madzhab kedua, Quasi Objektivis Progresive. Berbeda dengan madzhab pertama yang tetap mempertahankan makna original, madzhab kedua ini tidak harus mempertahankan makna original tetapi lebih kepada aspek Maqasidul Qur’an (tujuan yang sesuai dalam Al-Qur’an). Dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 tersebut, Maqasid yang menunjukkan Al-Qur’an adalah memperhatikan anak yatim.
Hal ini terbukti dari rangkaian ayat sebelum sampai pada “menikahlah satu, dua, atau tiga, terdapat narasi; “fa’in khiftum an-laa tuqsitu fil yatama” (maka jika kamu takut tidak akan berlaku adil kepada anak yatim). Maqasid kedua yaitu bahwa Al-Qur’an mengajari tentang keadilan dalam keluarga sebagaimana narasi; “fa’in khiftum an-laa ta’dilu fawaahidah” (maka jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka monogami-lah.
Dalam ayat ini, meskipun ada pelarangan poligami (haram) tapi kita perlu memahami apakah seseorang concern untuk mempraktekkan sesuai Maqasidul Qur’an atau tidak.
Dalam perbincangan ini juga ada penjelasaan tentang penggunaan kata Maqasid yang secara filosofis menggunakan kajian Al-Qur’an. Maqasid merupakan tujuan di balik (beyond) sebuah ayat yang menghasilkan sebuah pemaknaan dan tindakan. Maqasid dalam kajian fiqh seringkali familiar dengan penyebutan ‘illat yaitu sesuatu yang darinya tersebut, hukum menjadi berlaku.
Terakhir adalah Madzhab Subjektifis yang merupakan madzhab yang menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak menggunakan original meaning tetapi mengembangkan pemaknaan untuk konteks kekinian dengan tanpa merujuk masa lalu.
Kelahiran teori Makna Cum Maghza dari Tokoh Hermeneutika Indonesia
Selain memberikan pengantar tersebut, hal pembahasan penting dalam perbincangan ini adalah kelahiran teori penafsiran tokoh Hermeneutika Kiai Sahiron. Jika kita mengenal Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dengan masterpiece teori Mubadalahnya, maka kita perlu juga mengenal Kiai Sahiron Syamsudidin dengan masterpiece teori “Makna cum Maghza”.
Dalam pendekatan Kiai Sahiron mengajukan ini, seorang penafsir dituntut untuk melakukan tiga pendekatan. Pertama, Al-Makna At-Tarikhi (makna historis) lafal Al-Qur’an dengan melalui serangkaian metodologi. Kedua, Al-Maghza At-Tarikhi (signifikansi) ayat Qur’an. ketiga Al-Mutaharik Al-Mu’asshir (signifikansi ayat di masa sekarang).
Untuk menjelaskan teorinya tersebut, Kiai Sahiron memberikan contoh kata auliya’ dalam QS. Al-Maidah ayat 51. Al-Makna At-Tarikhi (makna historis) dari kata auliya’ bisa menelusuri dalam kitab Lisanul ‘Arab terdiri dari 3 huruf و – ل – ت yang memiliki dua masdar yaitu al-walayah yang berarti qurbah (kedekatan) dengan isim fail berupa al-waliy yang jika menjamak menjadi auliya’. Masdar kedua yaitu al-wilayah berarti sulton (power) dengan isim failnya berupa al-waaliy yang jika dijamakkan menjadi al-wulaat.
Masdar kedua inilah yang bermakna sebagai pemimpin. Selain dari Lisanul ‘Arab, penelusuran kata auliya’ juga bisa dengan cara intertekstualitas melalui persamaan dengan teks-teks yang ada pada Al-Qur’an dan Hadis.
Setelah menemukan Al-Makna At-Tarikhi, maka harus melanjutkan pada penemuan Al-Maghza At-Tarikhi (signifikansi). Kata auliya’ jika berhenti pada pemaknaan Al-Makna At-Tarikhi maka akan menimbulkan makna yang kacau; Islam mengganggap tidak toleran kepada umat lain. Oleh karena itu perlu melihat maqashid dari ayat tersebut melalui konteks yang terjadi pada masa tersebut di mana saat itu ada oknum Yahudi yang menghianati Rasulullah.
Maka pemaknaan QS. Al-Maidah ayat 51 seharusnya bukan tertuju apada auliya’ tetapi ketidakbolehan seseorang mempercayai orang yang berkhianat. Dari penarikan makna konteks dulu tersebut, maka dengan demikian Al-Mutaharik Al-Mu’asshir (signifikansi ayat di masa sekarang) yang lahir adalah ketidakbolehan seseorang melakukan perbuatan pengkhianatan.
Persahabatan Ala Aristoteles
Di penghujung perbincangan, Prof. Al-Makin dan Kiai Sahiron bercerita tentang persahabatan yang terjalin antar keduanya. Bukan pemikir hebat jika setiap ucapannya tidak mengandung hikmah ilmu pengetahuan. Dalam membicarakan persahabatan, keduanya mengutarakan konsep persahabatan Aristoteles.
Menurut Aristoteles, ada tiga konsep persahabatan; pleasure (untuk bersenang-senang), utility (karena saling menguntungkan), dan virtue (tulus). Dengan saling melengkapi definisi tersebut, keduanya sepakat mengamini konsep persahabatan mereka adalah konsep persahabatan ketiga yaitu persahabatan by virtue (tanpa kepentingan apapun). []