Mubadalah.id – Setiap orang sudah sewajarnya bekerja, melakukan aktivitas dalam kesehariannya. Di antara tujuan bekerja untuk memenuhi penghidupan selama sehari penuh secara terus menerus. Di mana anusia harus mampu bertahan hidup. Dengan bekerja manusia dapat melakukan sistem tukar jasa dengan barang atau uang. Atau sebaliknya sebagaimana yang kita pahami dalam kegiatan ekonomi pada umumnya.
Dalam Islam bekerja adalah suatu keharusan, bekerja adalah bagian dari ritual ibadah selain ibadah-ibadah mahdhah yang harus dilakukan, terutama sebagai seorang muslim. Isyarat yang Allah Swt berikan dalam al-Qur’an mengenai keharusan bekerja adalah bahwasannya Allah Swt dalam al-Qur’an surah al-Naba>’ ayat 11 ;
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
Artinya : Dan telah kami jadikan waktu siang untuk mencari penghidupan.
Urgensitas Bekerja menurut al-Qur’an
Secara terminologi penyebutan kata “kerja” dalam al-Qur’an dengan lafal al-‘amal merupakan bentuk ism al-masdar dari kata ‘amila-ya’malu-amalan. Mahmud Yunus menerjemahkan lafal al-‘amal di antaranya; mengamalkan, memperbuat, bekerja, mengerjakan, dan berusaha. Sebagaimana termaktub dalam Kamus Arab-Indonesia (Mahmud Yunus; 281), yang juga memiliki padanan kata dengan lafal fa‘ala-yaf’ulu artinya mengerjakan.
Istilah kerja bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang hingga malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tidak mengenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Begitulah Islam mengajarkan kita, sebagai hambanya perihal pentingnya bekerja.
Dalam al-Qur’an kerja tersebutkan dalam beberapa lafal, di antaranya adalah ‘amila dan fa‘ala. Dari kedua term tersebut memiliki implikasi yang berbeda-beda dalam kegiatan manusia. Term lafal kerja yang al-Quran sebutkan, memberi gambaran dan penjelasan kepada manusia tentang etos kerja dalam mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Sebab di dalam Islam, dalam mencapai kebahagiaan akhirat tidak terlepas dari kebahagiaan dunia.
Perintah bekerja dalam al-Qur’an
Allah SWT. dengan menggunakan sighat fi’l al-Amr memerintahkan hambanya supaya bekerja, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surah al-Taubah ayat 105 ;
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan kembali kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Adapun tafsir potongan ayat wa qul imalu oleh Shaikh Ah}mad Mus}t}ofa al-Maraghi menjelaskan dengan “katakanlah kepada mereka (wahai Rasulullah), bekerjalah kalian untuk dunia dan akhiratmu, untuk diri dan umatmu, maka ketahuilah, bahwa pekerjaan itu adalah tempat bergantungnya kebahagiaan, tidak ada alasan untuk meninggalkannya…” (Tafsir al-Maraghi, jilid ; 20).
Begitu gamblang untuk kita pahami isyarat al-Qur’an dalam menjelaskan urgensitas tujuan bekerja, dan mengantarkan para pembaca kepada pemahaman bahwasannya bekerja tidak bisa kita tinggalkan tanpa alasan tertentu.
Tafsir Urgensitas Bekerja
Kemudian dalam penafsirannya pula beliau menjelaskan, bahwa: Dan Allah akan melihat perbuatanmu, baik atau buruknya. Maka wajib bagimu untuk memperhatikan segala tindakan dan perbuatanmu. Dan ingatlah, bahwa Allah swt Maha Mengetahui, lagi daripada maksud dan niat para hambanya sekalian.
Hal ini selaras dengan lanjutan kalimat dalam ayat tersebut, yaitu وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ yang berarti “Dan katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-nya dan orang-orang mukmin…”, dalam penafsirannya Shaikh Sayyid Qutb menjelaskan bahwa amalan disini adalah amalan-amalan yang sifatnya zahir, yaitu amalan yang dilihat oleh Allah, juga nampak oleh Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman.
Adapun dalam konteksnya, berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebelumnya, yakni mulai ayat 103-105, oleh Shaikh al-Maraghi dalam penafsirannya bahwa: makna global dari ayat tersebut adalah menjelaskan beragam faedah mensedekahkan harta dan anjuran mengerjakannya, serta menjelaskan tentang penerimaan taubat seseorang
Sebagai suatu aktivitas, tujuan bekerja dalam pandangan Islam merupakan suatu hal yang wajib dan penting, bukan hanya sebagai kewajiban yang harus individu lakukan, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Islam juga telah mengangkat kerja sebagai kewajiban secara shar‘i, hal ini nampak ketika melihat konsistensi pada penyebutan lafal amila bersandingan dengan lafal amana kurang lebih sebanyak lima puluh kali al-Qur’an menyebutkannya.
Wewenang dan Kapabilitas
Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surah Al-Nisa: 173 ;
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya : Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Persamaan Hak Bekerja
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dalam penyebutan lafal amila sering kali didahului dengan konjungsi الذين yang mana termasuk dalam bentuk jamak atau banyak. Fu’ad Nimah kemudian menjelaskan, menjadi catatan penting, bahwa: “lafal (الذين، اللاتي، اللائي) juga penggunaannya untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang berakal tanpa terkecuali” (Fu’ad Ni‘mah ; 94-96). Hal ini kemudian terkuatkan dengan dalil al-Qur’an surah al-Nahl ayat 97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Artinya : Siapapun mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman.
Shaikh Muhammad Mutawalli Syarawi dalam penafsirannya menjelaskan, bahwa Allah SWT. memberikan kita penjelasan kepada hambanya suatu perkara yang umum. Yaitu masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam ayat ini.
Adapun mengenai amalan saleh yang diterima di sisi Allah SWT. adalah terletak pada iman. Allah SWT. tidak melarang bagi perempuan untuk mengerjakan amal saleh. Karena amal saleh sama-sama diterima oleh-Nya, baik dari laki-laki maupun perempuan, dengan letak syaratnya adalah pada iman. Oleh sebab itu Allah SWT. berfirman وهو مؤمن yang artinya “dalam keadaan beriman.
Berdasarkan penjelasan dari penafsiran al-Mukarram al-Sharawi, dapat kita ketahui bahwa dalam haknya baik laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk bekerja, dan hal ini didorong atas kepentingan yang akan kembali kepada manusia sendiri. Antara lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tidaklah manusia memperoleh kebutuhannya, kecuali melalui usaha-usahanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surah al-Najm ayat 39;
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Artinya : Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.
Karena sebenarnya usaha adalah bentuk gerakan yang nyata dan mutlak dalam menggapai apapun. Sebagaimana yang kita tahu, dan banyak yang berkembang di masyarakat adalah berkembangnya unit-unit usaha yang tercipta oleh para wirausahawan. Selain usaha-usaha yang juga terbentuk oleh negara. []