• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Makna Azwaj itu Bukan Bidadari

Mubadalah Mubadalah
15/09/2021
in Kolom
0
azwaj

azwaj

396
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Mas, artikelmu tentang mubadalah itu masih belum menjawab kegelisahan gadis itu. Anakku juga membacanya dan merasa belum menemukan jawaban yang dibutuhkan”, demikian salah satu komentar tentang tulisan pertama saya di media Resiprositi.com “Oh…soal bidadari itu”, saya bergumam dalam hati. Dalam artikel tersebut, saya bercerita ada anak gadis yang menangis karena ayahnya akan ditemani bidadari di surga sementara ibunya entah ditemani siapa. Apa benar azwaj itu berarti bidadari?

Di samping karena cara pandang yang seksis dan diskriminatif terhadap perempuan, konsep surga dan bidadari ini, salah satunya, berangkat dari tafsir dan terjemahan literal terhadap kata Azwaj. Kata ini adalah bentuk plural dari kata zawj yang secara literal berarti “pasangan”. Al-Qur’an sendiri menggunakan dua kata ini secara netral gender, untuk laki-laki dan perempuan. Sementara dalam bahasa Arab dan fiqh Islam sendiri justru dibedakan, zawj-azwaj (زوج – أزواج) untuk laki-laki/suami sementara zawjah-zawjaat (زوجة – زوجات) untuk perempuan/istri.

Konsistensi al-Qur’an ini menjadi misteri tersendiri, sehingga perlu kerja keras tafsir dan terjemah untuk memastikan apakah kata “zawj-azwaj” itu untuk laki-laki atau justru untuk perempuan. Andai tetap netral kata azwaj diartikan pasangan-pasangan, sebagaiman al-Qur’an itu sendiri, konsep bidadari yang hanya untuk laki-laki itu tidak akan pernah ada dalam teologi Islam.

Zawj itu Pasangan

Dalam hitungan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an, ada 17 tempat penyebutan kata zawj dalam al-Qur’an. Ada 7 tempat tanpa imbuhan kata ganti (زوج), 4 empat dengan imbuhan kata ganti orang kedua laki-laki (زوجك), 2 tempat dengan imbuhan kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki (زوجه), dan 4 tempat dengan imbuhan kata ganti orang ketiga tunggal perempuan (زوجها).

Untuk kata zawj yang tanpa imbuhan, ada ayat yang menggunakannya untuk arti “pasangan” (al-Hajj, 22: 5; asy-Syu’ara, 26: 7; Luqman, 31: 10, dan Qaaf, 50: 7), ada yang menggunakannya untuk arti “istri” (an-Nisa, 4: 20), dan ada juga untuk “suami” (al-Baqarah, 2: 230). Untuk ketiga makna ini, semuanya, al-Qur’an menggunakan satu kata yang sama, yaitu zawj. Tanpa embel-embel “ta” marbutah (ة). Jika ingin konsisten dengan al-Qur’an, sebenarnya bisa diartikan “pasangan” dalam bahasa Indonesia. Seperti juga ayat di bawah ini:

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ (البقرة، 102)

“……Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya….” (al-Baqarah, 102).

Kata zawjuhu (زوجه) dalam al-Baqarah (QS. 2: 102) diartikan “istrinya”. Kata ini akan lebih timbal-balik (mubadalah) jika diartikan “pasangannya”. Sehingga yang menjadi subyek yang diajak bicara oleh ayat tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Hal yang sama dengan kata zawjuha (زوجها) biasa diartikan “suaminya” di ayat al-Mujadilah (QS. 58: 1). Tetapi anehnya, kata “zawjuha” di ayat-ayat lain (an-Nisa, 4: 1; al-A’raf, 7: 189; dan az-Zumar, 39: 6) justru diartikan “perempuan/Hawa”. Ayat di bawah ini misalnya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا (النساء، 1)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya (Hawa)”. (an-Nisa, 4: 1).

Ini adalah terjemahan yang sangat terkenal, padahal ia secara bahasa terbalik. Seharusnya zawjuha diartikan “suami/lelaki” karena disambung kata ganti perempuan (ها), tetapi di terjemahan di atas diartikan “istri/perempuan/Hawa”.

Terjemahan yang terbalik ini dilakukan untuk membenarkan ideologi pre-teks bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Padahal secara literal “nafsin wahidah/diri yang satu” adalah mu’annats (perempuan) sehingga pasangan yang diciptakan dari perempuan (zawjuha) harusnya laki-laki.

Andai diartikan “pasangannya” saja, bukan istri atau Hawa, maka ayat tersebut menjadi lebih netral dan sama sekali tidak mencerminkan konsep penciptaan Hawa dari Adam. Kedua nama ini sesungguhnya tidak disebutkan dalam ayat-ayat tersebut di atas. Lebih dari itu, ayat-ayat ini, dengan mendahulukan “nafsin wahidah” yang mu’annats dari “zawjuha” yang mudzakkar, justru secara literal ingin menolak dan membalik teologi penciptaan perempuan dari laki-laki.

Azwaj adalah Pasangan-pasangan

Hal yang sama juga kata azwaj (أزواج) bentuk jamak dari zawj. Dalam ayat-ayat balasan surga (al-Baqarah, 2: 25, Ali Imran, 3: 15, dan an-Nisa, 4: 57), kata azwaj ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan “istri-istri/bidadari-bidadari”, sehingga mengesankan hanya laki-laki yang memperoleh mereka kelak di surga.

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة، 25).

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada bidadari-bidadari yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (al-Baqarah, 2: 25).

Sebagian mengganti “bidadari-bidadari” dengan “istri-istri”. Makna pertama berarti makhluk surgawi yang akan menemani laki-laki sementara makna kedua bahwa istri di dunia akan ikut suami kelak di surge. Kedua makna ini menempatkan laki-laki sebagai subyek yang beriman dan berbuat baik, lalu “bidadari/istri” adalah yang diperoleh oleh laki-laki tersebut.

Padahal al-Qur’an juga diturunkan untuk perempuan, mengundang mereka untuk beriman dan berbuat baik. Pada praktiknya, juga banyak perempuan yang beriman dan berbuat baik, sehingga seharusnya layak memperoleh balasan kenikmatan surga dan pasangan suci untuk mereka, sebagaiman laki-laki. Kecuali kalau ajaran Islam dan perintah-perintah al-Qur’an hanya diperuntukkan bagi laki-laki semata. Padahal kan tidak demikian.

Jika “azwaj” di sini diartikan “bidadari/istri” maka perempuan tidak menjadi subyek dan tidak diajak bicara oleh ayat tersebut. Tetapi jika diartikan “pasangan”, maka baik laki-laki maupun perempuan menjadi subyek yang diajak bicara ayat tersebut secara setara. Di sini jelas arti “pasangan” lebih mencerminkan perspektif timbal balik dan kesalingan (mubadalah). Sementara arti “bidadari/istri” sangat seksis dan diskriminatif.

Hurun ‘Iin

Konsep bidadari surga juga dipahami dari kata “huur ‘iin” (حور عين) dalam ayat-ayat lain (QS. Ad-Dukhan, 44: 54; ath-Thur, 52: 50; ar-Rahman, 55: 72; dan al-Waqi’ah, 56: 22). Ayat-ayat ini juga berbicara mengenai balasan orang-orang yang beriman dan berbuat baik. Tanpa spesifik menyebut laki-laki. Memang struktur bahasa yang digunakan adalah untuk subyek laki-laki (mudzakkar).

Tapi bukankah semua ayat-ayat al-Qur’an itu memang demikian? Tentang iman, shalat, puasa, zakat, haji, dan semua perintah kebaikan, secara bahasa diarahkan kepada laki-laki? Jika ayat-ayat surga hanya dipahami untuk laki-laki semata, maka semua ayat tentang ajaran-ajaran Islam juga harus dipahami hanya untuk laki-laki. Karena struktur bahasanya sama persis.

Tetapi karena ayat-ayat perintah dan ajaran berlaku untuk perempuan, maka ayat-ayat balasan surga juga harus berlaku untuk perempuan. Agar perempuan juga menjadi subyek ayat-ayat surga, “huur ‘iin” tidak bisa diartikan “bidadari” yang secara bahasa sangat khas diperuntukkan bagi laki-laki. Yang lebih netral dan membawa semangat mubadalah adalah arti “pasangan/pendamping yang indah”.

Andai saja kata “huur ‘iin” tidak diartikan bidadari dan kata “azwaj” dibiarkan netral sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, dengan diartikan “pasangan-pasangan”, maka konsep teologis yang muncul juga adalah bahwa “semua orang baik dan saleh di dunia, baik perempuan maupun laki-laki, akan memperoleh pasangan yang suci di surga”.

Dus, konsep bidadari yang seksis dan diskriminatif yang menggelisahkan anak gadis itu menjadi tidak perlu ada. Karena laki-laki akan dapat pasangannya yang suci dan setia, perempuan juga dapat pasangannya yang suci dan setia sesuai imajinasi masing-masing tentang kenikmatan, keintiman dan kebahagiaan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tags: bidadariperempuanperempuan bidadari
Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version