Mubadalah.id – Pada esai sebelumnya tentang “Membincang Feminisme Nusantara, Mungkinkah?”, kita telah mendiskusikan feminisme Nusantara. Bahwa upaya mempribumikan feminisme, dan melahirkan pemikiran kesetaraan gender yang tidak mengabaikan karakter budaya Nusantara adalah satu hal yang sangat mungkin dilakukan.
Namun, pertanyaan kemudian adalah, apa hal itu penting untuk dilakukan? Memangnya, untuk apa ada konsep feminisme Nusantara? Pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam mendiskusikan urgensi feminisme Nusantara.
Menurut saya setidaknya ada dua hal yang membuat kenapa feminisme Nusantara menjadi penting. Pertama, feminisme Nusantara menjadikan gerakan kesetaraan gender sesuai dengan konteks ke-Nusantara-an. Dan kedua, feminisme Nusantara dapat menjadi upaya menghapus stigma negatif feminisme dalam masyarakat Indonesia.
Kesetaraan gender yang sesuai konteks ke-Nusantara-an
Wacana kesetaraan gender di Indonesia umumnya dilingkupi dengan paradigma atau pemikiran feminisme Barat. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat perbedaan konteks kehidupan (perempuan) di Barat dan Nusantara. Hal ini karena tiap masyarakat memiliki kekhasan masing-masing.
Sebagaimana Syamsurijal dalam “Menuju Feminisme Nusantara: Menata Ulang Gerakan Perempuan di Indonesia,” menjelaskan bahwa, “…sejatinya sejarah, narasi, masalah dan pengalaman perempuan di dunia ini berbeda satu sama lain. Karenanya tidak cukup baik jika melulu hanya menuliskan universalisme gerakan perempuan di dunia. Perlu muncul tulisan-tulisan yang menunjukkan pengalaman perempuan lebih sepesifik sesuai dengan konteks dan historiositasnya masing-masing.”
Dalam hal ini, upaya melahirkan satu konsep pemikiran kesetaraan gender dan feminisme yang tidak mengabaikan akar sejarah dan budaya Nusantara adalah penting kita lakukan. Selain menghasilkan paradigma feminisme yang tidak mengabaikan pengalaman kehidupan perempuan Nusantara, atau feminisme yang sesuai konteks ke-Nusantara-an, adanya feminisme Nusantara juga, sebagaimana Syamsurijal, dapat menunjukkan hal-hal yang berbeda dari apa yang feminisme Barat bayangkan.
Misalnya, tentang ruang domestik dan publik. Dalam konteks pengalaman perempuan di Barat, ruang domestik dan publik dipandang sebagai dua ranah yang berbeda, dan dalam perbedaan ini ruang domestik merupakan zona privat yang lebih rendah daripada ruang publik dan menyubordinasi peran perempuan. Pandangan ini yang biasa melingkupi wacana kesetaraan gender di Indonesia. Sehingga, tidak heran jika muncul pandangan kesetaraan gender dan feminisme yang menolak keras dan seakan meremehkan peran perempuan yang memilih bekerja (berkiprah) di rumah.
Keragaman pengalaman perempuan Nusantara
Padahal pengalaman perempuan Nusantara menunjukkan hal yang agak berbeda. Hal ini sudah pernah saya bahas dalam esai “Memaknai Ruang Domestik Perempuan dalam Konsep Nusantara.” Ruang publik dalam konsep Nusantara tidak dikenal lebih baik daripada ruang domestik, dan keduanya tidak dibayangkan sebagai dua hal yang berbeda dan tidak berkaitan.
Sehingga, misalnya istri (perempuan Nusantara) memilih bekerja di rumah, maka statusnya tidak lantas lebih rendah dengan suami yang mencari nafkah di luar rumah. Sebab, dalam konsep Nusantara tidak ada yang lebih baik antara ruang domestik dan publik karena keduanya dipandang saling berkaitan. Dua ruang yang perlu berjalan agar rumah tangga makin baik dan mapan.
Konsep Nusantara yang demikian membuat Nyai (Ulama Perempuan) Madura memaknai ruang domestik bukan sebagai ruang yang membelenggu perannya. Sebagaimana Hasanatul Jannah dalam Ulama Perempuan Madura, bahwa Nyai Madura memandang ruang domestik sebagai ruang untuk berkarya, bekerja, bercerita, dan berbuat baik. Bagi Nyai Madura, ruang domestik merupakan dunia yang harus ia jaga dan pelihara.
Jadi, feminisme Nusantara membuat kita dapat memaknai kesetaraan gender dari akar sejarah dan budaya Nusantara. Ini bukan bertujuan untuk mengatakan bahwa budaya Nusantara adalah yang paling baik dan pas untuk perempuan. Dan juga bukan karena anti dengan produk pengetahuan Barat. Melainkan, adalah satu upaya melihat konsep kesetaraan gender dan feminisme yang sesuai dengan konteks ke-Nusantara-an.
Feminisme Nusantara menghapus stigma negatif feminisme
Selain menghasilkan pemikiran kesetaraan gender dari akar sejarah dan budaya Nusantara, feminisme Nusantara juga dapat membuat feminisme menjadi tidak terasa asing dalam masyarakat Indonesia. Hal ini setidaknya dapat menghapus stigma negatif feminisme dalam masyarakat Indonesia.
Stigma negatif feminisme tidak lepas karena feminisme adalah produk pengetahuan Barat. Di sisi lain, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat post-kolonial (pernah dijajah), dan sebagaimana Raewyn Connel, dkk., dalam “Toward a Global Sociology of Knowledge: Post-Colonial Realities and Intellectual Practices,” bahwa, “The log shadow of colonial history falls across whole domains of knowledge (Bayangan panjang sejarah kolonial (penjajahan) melingkupi domain-domain pengetahuan).”
Jadi penjajahan (kolonialisme) tidak hanya membuat banyak nyawa melayang, melainkan juga pasca-penjajahan melahirkan dampak traumatik yang memengaruhi produksi pengetahuan. Connel, dkk., menjelaskan kalau kolonialisme berdampak pada “the re-forming of the natives’ minds (pembentukan ulang wawasan pribumi).” Dalam hal ini, terbangun dinding tebal atas pengetahuan Barat yang kita pandang representasi penjajah. Lalu berkaitan dengan pengetahuan pribumi atau non-Barat sebagai representasi bekas jajahan.
Karena itu produk pengetahuan Barat sering kali dipandang sebagai intrusion (gangguan) bagi nilai-nilai ke-Nusantara-an. Hal ini juga berlaku pada feminisme yang merupakan produk pengetahuan Barat.
Upaya mempribumikan feminisme bukan hanya melahirkan gagasan feminisme ala Nusantara. Namun juga membuat feminisme menjadi terasa tidak asing dalam masyarakat Indonesia. Sehingga, stigma negatif feminisme dapat di-counter, karena kita menggali kesetaraan gender dari akar sejarah dan budaya Nusantara itu sendiri. Hal ini menjadikan feminisme atau gerakan kesetaraan gender dapat mewujud dengan ramah di Indonesia.