Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA mejelaskan bahwa adanya harta gono gini merupakan konsekuensi logis dari proses yang dibangun dalam sebuah keluarga yang disangga secara bersama-sama oleh suami dan istri.
Ketika suami dan istri berada dalam sebuah perkawinan, maka, kata Nyai Badriyah, keduanya terikat dalam sebuah perkongsian atau syirkah dengan perannya masing-masing.
Bisa jadi suami yang bekerja dan istri yang memenejemen pengelolahan dan distribusinya, bisa jadi keduanya bekerja bersama-sama. (Baca juga : Ijtihad : Cara untuk Pembagian Harta Gono Gini)
Sehingga penghasilannya merupakan jerih payah berdua, dan bisa jadi masing-masing bekerja dan saling membahu dalam menghidupi keluarga.
Beragam model syirkah ini, menurut Nyai Badriyah, menunjukan bahwa istri dan suami sama-sama berperan dalam pencarian mata pencaharian.
Karena itulah ketika salah satu meninggal atau terjadi perceraian, sangat logis jika masing-masing memiliki hak atas harta tersebut, masing-masing mendapatkan setengah dengan asumsi bahwa kontribusinya sama-sama penting.
Nyai Badriyah mengungkapkan, jika ekonomi sebuah keluarga sepenuhnya bertumpu pada istri, misalnya, karena suaminya tidak mau bekerja.
Kemudian, suami tidak memberi nafkah dan tidak mau mengerjakan urusan rumah tangga, maka harta gono-gini pun tidak layak suami miliki.
Sebab harta gono gini merupakan akibat dari kerjasama dalam sebuah perkongsian yang terjadi dalam perkawinan. (Rul)