Mubadalah adalah nilai dan prinsip untuk menumbuhkan kebaikan bersama dalam sebuah relasi, baik keluarga maupun sosial, sehingga kedua belah pihak harus melakukan kebaikan tersebut bersama-sama agar keduanya juga memperolehnya bersama-sama. Salah satu pihak tidak menerima saja dan tidak juga membebankan saja.
Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya – Gus Dur
Dalam sejarahnya, perempuan pernah (bahkan masih) dianggap sebagai manusia nomor dua. Perempuan cenderung disubordinasi oleh kedudukan laki-laki dalam masyarakat. Dalam berbagai tataran kemasyarakatan, perempuan sering berada di bawah laki-laki. Ketika bos adalah laki-laki, maka sekretarisnya perempuan. Pun, dalam ranah keluarga, istri dipandang lebih rendah dibanding suami.
Hal tersebut terjadi karena kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat, yaitu budaya yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Pandangan tersebut turut melanggengkan ketidaksetaraan gender yang amat potensial dalam menciptakan berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender.
Karena posisinya yang lebih rendah, perempuan rentan menjadi korban diskriminasi tersebut. Diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu pelabelan negatif, subordinasi, marjinalisasi, beban kerja ganda, dan kekerasan.
Melihat berbagai bentuk diskriminasi tersebut membuat saya berpikir ulang tentang makna hablum minallah wa hablum minannas. Secara syariat, umat Islam diperintah untuk selalu berbuat baik kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia sebagai mahkluk Allah.
Meminjam pendapat Amina Wadud dalam Kodir (2019), seorang muslimah feminis, posisi laki-laki yang lebih diunggulkan dibanding perempuan mengindikasikan bahwa ketimpangan tersebut bertentangan dengan konsep tauhid yang memandang semua manusia berada dalam posisi setara. Satu-satunya hierarkis di dalam konsep tauhid adalah posisi Allah yang lebih tinggi dibanding manusia.
Saya menemukan poin menarik dalam buku Ensiklopedia Muslimah Reformis; Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Reinterpretasi Dan Aksi karya Musdah Mulia (2019). Buku setebal 772 halaman tersebut menjelaskan pentingnya hubungan antarmanusia sebagai makhluk yang setara tanpa ada yang direndahkan maupun ditinggikan.
Dalam buku yang terdiri dari 16 bab tersebut, Musdah menyebut bahwa inti dari berbagai hal dalam kehidupan manusia, termasuk hubungan antarmanusia, adalah tauhid. Ia menilai konsep tauhid selama ini masih cenderung dipersempit hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah. Padahal, makna tauhid lebih luas dari itu.
Konsep tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada satu tuhan yang boleh disembah yaitu Allah. Tidak ada satu pun makhluk, termasuk manusia, yang bisa menyamai posisi Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih luas, konsep tauhid tersebut dapat dimaknai bahwa semua manusia memiliki posisi yang setara.
Tidak ada manusia atau sekelompok manusia yang lebih tinggi dibanding manusia lainnya. Maka, manusia harus saling menghormati bukan karena palabelan tertentu, namun sesederhana karena identitas mereka sebagai manusia sekaligus hamba Allah. Artinya, jika ada sistem sosial yang memosisikan satu manusia lebih tinggi dibanding manusia lain, sama artinya mengingkari konsep tauhid yang sejak lama diajarkan Islam.
Konsep tauhid yang dijelaskan Musdah memiliki relevansi dengan konsep kesetaraan gender yang sering dipandang tak sesuai ajaran Islam. Keduanya percaya bahwa semua manusia memiliki posisi yang setara sebagai manusia. Laki-laki dan perempuan punya posisi setara di mata Allah, hanya derajat ketaqwaannya saja yang membedakan.
Konsep kesetaraan gender yang terus diperjuangkan oleh kelompok feminis juga melarang manusia untuk saling berlaku diskriminatif. Manusia yang lebih kuat dalam konstruksi sosial tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap manusia yang lebih lemah.
Tak cukup sampai di situ, Musdah menambahkan bahwa golongan yang dianggap lemah juga tidak boleh menjadikan dirinya seperti hamba terhadap golongan lainnya. Hal itu, lanjut Musdah, dapat mencemari kemurnian tauhid sebagai bentuk tunggal penghambaan diri terhadap Allah.
Penjelasan bahwa konsep kesetaraan gender amat relevan dengan ajaran tauhid dalam Islam adalah satu hal yang menarik. Apalagi melihat banyaknya pandangan dari beberapa kalangan yang menyebut ajaran Islam sama sekali tak ada hubungannya dengan konsep gender maupun Hak Asasi Manusia (HAM).
Nyatanya, keduanya berada dalam satu koridor yang sama. Keduanya percaya bahwa manusia memiliki posisi setara. Kedua konsep tersebut percaya bahwa manusia yang setara hanya memiliki posisi lebih rendah dibanding Tuhannya yang Maha Tinggi. Keduanya sama-sama memperjuangkan keadilan demi mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera, sesuai salah satu prinsip utama Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Konsep tauhid tidak akan lengkap jika hanya berbuat baik kepada Allah. Sebagai manusia, kita juga perlu berbuat baik kepada sesama. Pada akhirnya, adanya berbagai diskriminasi yang terjadi kepada sesama manusia, terutama kepada perempuan yang diposisikan lebih rendah dalam sistem patriarki merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran tauhid. Bagaimana mungkin bisa disebut berhubungan baik dengan manusia jika masih berlaku diskriminatif terhadap sesama manusia? []