Mubadalah.id – Sekitar beberapa hari kemarin saya menerima pesan pengaduan, semacam curhat dari seorang sahabat. Ia mengeluhkan tentang perilaku public figure plus tokoh agama yang menjadikan stigma janda sebagai bahan guyonan, becanda, dan objek seksual di akun media sosialnya.
“Zahra, tolong buatkan tulisan untuk mengkonter status si A. ia sering sekali membuat status soal janda seolah merendahkan perempuan berstatus janda. Saya yang menjalaninya terasa berat. Tapi di luar sana terkadang sesama perempuan pun ikut merendahkan, seolah hanya menjadi bahan gurauan. Tolong kami, si A ini orang berpendidikan, mengapa dia tega?”
Jujurly, setelah membaca pesan tersebut, dan melihat sendiri postingan-postingan di media sosial yang bersangkutan, saya tidak bisa tidur. Sebagai sesama perempuan saya merasakan kesakitan itu. Betapa perempuan tak ada nilainya. Menginjak-inak harga diri perempuan sedemikian rupa, sehingga yang tersisa hanya kemarahan.
Saya ingin sekali membela tapi belum tahu bagaimana caranya. Banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Ada relasi-relasi keluarga yang tetap harus saya jaga. Termasuk pemilihan kata yang hendak saya tuliskan dalam konsep surat terbuka di media sosial, agar dampaknya tidak berkepanjangan.
Stigma Negatif
Apa yang ada di pikiran kalian jika mendengar kata “janda”? Apakah sebuah status perempuan yang telah menikah kemudian mengalami perceraian, suaminya meninggal dunia atau pelabelan negatif lainnya? seperti tukang penggoda, perempuan tidak berdaya, dan lainnya.
Kata ‘janda’ sendiri, menurut kamus KBBI, berarti perempuan yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Pada awalnya kata ini bermakna netral, namun lama kelamaan mengalami pembusukan. Seiring stigma negatif yang masyarakat lekatkan pada perempuan yang tidak bersuami, kata ‘janda’ kerap mereka gunakan dalam canda atau olok-olok yang sifatnya seksis.
Padahal seorang perempuan yang menyandang status janda itu bisa memiliki peran banyak hal sebagai manusia, di lingkungan sosial dia tinggal dan harus mendapatkan dukungan yang setara. Namun, seringkali sebagian orang sudah terkonstruksi pemaknaan status janda karena tayangan sinetron di televisi yang sering menampilkan citra negatif.
Munculnya berita-berita negatif tentang janda, yang akhirnya menggeneralisir makna yang berujung pada diskriminasi status janda. Perempuan yang sudah tidak memiliki suami karena alasan tertentu, tetaplah perempuan dan manusia, yang kita harus lihat sesuai fungsi dan peran kemanusiaannya. Bukan hanya pelabelan negatif yang sering kaum patriarkis langgengkan.
Pelanggengan Stigma
Masyarakat Indonesia menganggap janda sebagai sosok yang tidak bermoral, dan hal ini menjadi akar atau dasar dari stigma janda. Stigma tersebut menyerang identitas moral dan harga diri seorang perempuan. Hingga membuatnya sulit untuk menampilkan diri sebagai seorang perempuan terhormat dan memiliki moral yang baik. Karena mereka anggap ‘rendah’ dan tidak terhormat, maka dianggap pantas untuk dijadikan bahan olok-olok dan guyonan.
Kita sadar atau tidak, olok-olok masyarakat terhadap status janda sebenarnya mengandung bibit-bibit kekerasan dan turut andil mempertahankan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Sebagaimana yang PR Ujianti tuliskan di Magdalene.co.
Pertama, olok-olok status janda memberi peluang terjadinya kekerasan seksual pada perempuan. Janda dianggap telah memiliki pengalaman seksual namun tidak terikat pada pernikahan, maka ia dianggap ‘kesepian’ dan menjadi target seksual oleh para laki-laki.
Olok-olok itu sendiri sebenarnya sudah merupakan bentuk pelecehan verbal. Sayangnya masyarakat sudah tidak bisa membedakan mana yang pantas menjadi bahan bercanda dan mana yang tidak. Padahal jika olok-olok dianggap sebagai sebuah kewajaran, maka peluang untuk berkembang menjadi pelecehan fisik juga besar.
Kedua, karena takut dengan stigma negatif dan olok-olok masyarakat terhadap janda, banyak perempuan memilih untuk tetap berada dalam perkawinan meskipun ia sendiri tidak bahagia. Karena misalnya suami berselingkuh atau suami melakukan kekerasan.
Ini berarti para penggemar guyonan status janda turut melestarikan kekerasan terhadap perempuan dan dalam rumah tangga. Kalaupun memutuskan bercerai, para perempuan ini kemudian memilih untuk menutupi hal tersebut rapat-rapat.
Ketiga, mereka yang suka mengata-ngatai janda sebenarnya mendorong pengucilan sosial pada salah satu kelompok anggota masyarakat. Membuat para janda kehilangan kesempatan mendapatkan dukungan, memberi manfaat kepada masyarakat dan mencari nafkah.
Perempuan Kepala Keluarga
Bibit kekerasan yang muncul bersifat sosial sekaligus ekonomi, padahal banyak dari para janda ini adalah kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Bagaimana bisa fokus bekerja dan mencari nafkah, jika terus menerus dihantui kekhawatiran akan menjadi obyek pelecehan seksual di tempat kerja?
Ketika seorang perempuan yang telah menikah sudah tidak memiliki suami lagi, dan kepergian suaminya meninggalkan anak-anak yang harus ia tanggung untuk ia rawat, dan ia besarkan dengan baik, tentu peran kepala keluarga otomatis tergantikan oleh perempuan.
Meski menyandang status sebagai seorang janda, tetap peran dan fungsinya mampu menjadi kepala keluarga. Sebab perempuan juga manusia yang memiliki kemampuan yang sama sebagai manusia, dan dapat berperan dalam lingkungan sosialnya. Di mana hal itu harus kita terima dengan setara tanpa ada stigma dan diskriminasi karena status “janda”.
Diskriminasi status dan stigma janda harusnya sudah tidak ada, sebab kita lebih fokus melihat seorang janda pada fungsi kemanusiaannya sebagai sosok ibu dan perempuan. Bukan pelabelan status karena satu dua berita negatif yang beredar dan menimpa orang yang kebetulan menjanda.
Dukungan Islam
Salah satu teks hadits yang merekam dengan jelas perubahan kondisi perempuan antara sebelum dan setelah Islam hadir di Jazirah Arabia adalah pernyataan Umar bin Khattab ra berikut ini. Pernyataan ini juga sekaligus menegaskan hak-hak perempuan dalam Islam.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ :قَالَ عمر بن الخطاب رضي الله عنه: – كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ لاَ نَعُدُّ النِّسَاءَ شَيْئًا، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ وَذَكَرَهُنَّ اللَّهُ، رَأَيْنَا لَهُنَّ بِذَلِكَ عَلَيْنَا حَقًّا. رواه البخاري في صحيحه، رقم الحديث: 5904، كتاب اللباس، باب مَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَجَوَّزُ مِنَ اللِّبَاسِ وَالْبُسْطِ.
Dari Ibn Abbas ra, berkata: Umar bin Khattab ra berkata: “Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami”. (Sahih Bukhari, no. Hadis: 5904).
Dr Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku 60 Hadits Hak-hak Perempuan dalam Islam menjelaskan bahwa pernyataan dan pengakuan Umar bin Khattab ra mengenai bagaimana Islam memberikan hak-hak bagi perempuan. Sesuatu yang tidak pernah mereka miliki sebelum Islam datang, yaitu masa Jahiliyah.
Islam Mengikis Tradisi Diskriminatif
Sebagaimana terekam berbagai ayat al-Qur’an, perempuan pada masa itu dianggap hina, orang tua merasa malu jika yang lahir adalah bayi perempuan. Dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya dikubur hidup-hidup karena orang tua tidak siap menanggung malu.
Jikapun mereka terima, perempuan lebih mereka pandang sebagai barang yang mereka miliki, bukan manusia yang bermartabat. Dinikahkan secara paksa pada masa kanak-kanak, diceraikan semena-mena, digantung tanpa cerai atau tetap dalam pernikahan. Lalu dipoligami tanpa batas, menajdi jaminan hutang, dihadiahkan kepada tamu, dan tidak diberikan peran sama sekali dalam urusan sosial.
Islam hadir, sebagaimana dalam pernyataan Umar, untuk mengikis tradisi diskriminatif ini dan mengangkat mereka sebagai manusia utuh. Seperti terekam dalam berbagai teks dasar, al-Qur’an dan Hadis, bayi perempuan yang lahir harus kita syukuri sama seperti laki-laki. Yang mengasuh dan mendidik mereka akan memperoleh pahala dari Allah Swt.
Jika perempuan dinikahkan tidak boleh lagi kita paksa. Tapi harus dengan kemauan dan kerelannya. Perempuan, sebagai istri juga harus kita perlakukan secara baik dan bermartabat. Kita ajak musyawarah bersama dalam mengelola keluarga dan rumah tangga.
Sementara itu jika ditinggal mati suami, ia tidak boleh diwarisi paksa oleh keluarga. Lebih dari itu, dalam Islam, perempuan juga kita beri kesempatan yang sama untuk memperoleh akses ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.
Akhir kata, jika di lingkungan kalian ada seorang perempuan yang ditinggal pasangan karena cerai hidup atau mati. Lalu melakukan perbuatan tidak atau kurang baik, maka yang salah bukan karena dia berstatus janda. Melainkan perbuatan yang telah individu tersebut lakukan. Sehingga kita tidak bias dalam melihat sebuah realitas yang ada di sekitar kita. []