Mubadalah.id – Dokter Letty, seorang istri, 46 tahun, tewas di ruang praktik, ditembak suaminya yang juga dokter. Sang istri sedang mengajukan gugat cerai karena tak tahan dengan KDRT yang dilakukan suaminya. Sang suami tak hanya pelaku KDRT tetapi juga pelaku kekerasan kepada karyawati/staf di klinik sang istri.
Sebagai konselor paralegal yang kerap dimintai tolong untuk proses gugat cerai, saya tahu bahwa selama proses pengajuan gugatan, banyak hal bisa terjadi. Apalagi jika sang istri lari dari rumah.
Pihak tergugat akan melakukan segala cara untuk menentang upaya sang istri, dari ancaman tidak akan mengizinkan membawa anak, akan memperpanjang/menggantung proses di persidangan, sampai mengancam secara fisik. Penentangan suami itu bukan karena dia begitu cintanya tetapi ini terkait dengan egonya sebagai lelaki.
Atas ancaman-ancaman serupa itu saya selalu menanggapi secara serius. Karenanya saya selalu menganjurkan agar penggugat benar-benar waspada, minta pindah-pindah tempat tinggal, tinggal di shelter.
Kemudiaan memintanya untuk menggunakan kendaraan dengan jalur yang tidak biasa, tidak turun dari mobil di tempat yang tak ada orang, langsung memasukkan mobil ke garasi sebelum turun.
Lalu membawa alat pengaman paling dasar seperti air lada/air cabai atau hairspray untuk disemprotkan ke mata atau alat kejut listrik.
Sepengalaman saya, saat penantian proses perceraian sebetulnya merupakan waktu yang sangat rentan bagi istri. Kekerasan yang dilakukan tergugat akan bertambah berkali lipat. Ini karena maskulinitas patriarki mantan pasangan benar-benar tertohok. Karenanya sangat kuat kehendak untuk menaklukkan. Ia merasa terlecehkan dan tertantang oleh pihak yang selama ini berhasil ia ancam, ia kuasai.
Kekerasan dalam proses perceraian yang mengancam nyawa bukan kasus langka. Satu kasus bahkan terjadi di ruang tunggu di sebuah Pengadilan Agama yang menewaskan sang penggugat cerai. Sangatlah keliru jika kemudian yang dipersoalkan semata keadaan psikis pelaku, apalagi menyalahkan korban yang melakukan gugatan.
Analisis
Menurut saya, analisisnya harus mampu melihat bahwa akar persoalannya terletak pada konstruksi relasi kuasa dalam perkawinan.
Perkawinan adalah membangun relasi dua pihak. Namun perkawinan yang tidak sehat akan berkembang ke arah relasi kuasa berbasis status gender yang sangat berpotensi menindas.
Anggapan dan pembenaran bahwa suami merupakan kepala keluarga sering meleset mereka maknai sebagai penguasa keluarga.
Saat terjadi gugatan, sebetulnya perkawinan itu nyaris tanpa status. Kedua pihak telah sampai ke tahap paling sulit untuk berdamai. Ini karena kekerasan yang terjadi, atau apapun pemicunya dari proses perceraian itu telah berlangsung lama.
Jika ada kekerasan di mana sang istri lebam-lebam, sesungguhnya kekerasan lain telah terjadi dan berlangsung tahunan. Proses mediasi formalitas di pengadilan jarang yang berhasil mendamaikan manakala cekcok dan atau kekerasan pelaku telah berlangsung lama dan akut.
Menyadari begitu kritisnya situasi tanpa status selama proses gugat cerai, seharusnya ada upaya perlindungan yang sangat serius yang kita lakukan secara sistemik oleh negara.
Dalam pengalaman saya, ancaman psikis dan fisik yang membuat penggugat (istri dalam konteks gugat cerai/tergugat dalam cerai talak) menyerah sebelum ke pengadilan tak berkurang. Ini karena korban merasa sendirian dan ketakutan.
Padahal begitu si istri membatalkan gugatannya, intensitas kekerasan tak pernah atau jarang yang berkurang. Sebaliknya malah makin hebat. []