Pernyataan Sitti Hikmawaty terkait berenang di satu kolam yang sama antara lawan jenis bisa membuat perempuan hamil sungguh membuat miris. Bayangkan, sekelas Komisioner KPAI saja bisa salah pemahaman terkait mitos seksual, bagaimana masyarakat awam? Penulis jadi ingat mitos-mitos seksual lainnya yang sudah beredar sejak masa SMA : berhubungan seksual satu kali tidak bisa membuat perempuan hamil atau tertular HIV. Tentu itu adalah pemahaman yang salah dan mitos yang ngawur.
Potret di atas merupakan potret buruknya pendidikan seksual di Indonesia. Masih banyak mitos seksual lainnya yang beredar dan mempengaruhi pola pikir kita sampai saat ini. Jika pendidikan seksual sudah ditanam dengan baik sejak dini maka pemahaman tentang sperma yang bisa berenang dengan medium air di kolam renang tidak akan terjadi.
Sperma yang berada di luar organ reproduksi perempuan tidak akan lama bertahan, terutama jika terkena kaporit di dalam kolam renang, proteinnya akan terdegradasi. Selain itu, pernyataan Komisioner KPAI terasa bahwa pembuahan adalah hal yang sangat mudah sehingga sperma terkesan ‘tidak sengaja” bisa nyangkut di sel telur. Padahal kehamilan adalah hasil dari satu sperma yang berhasil mengalahkan jutaan sperma yang berenang di dalam organ reproduksi perempuan, jadi jelas bukan faktor tidak sengaja.
Pendidikan Seksual di Indonesia
Pendidikan seksual di Indonesia masih terkesan tabu. Padahal, titik tekan pendidikan seksual adalah pada pendidikan, bukan seksualnya. Sehingga anggapan jika anak-anak diberikan pendidikan seksual maka akan membuat pikirannya porno justru salah kaprah.
Tentu pendidikan seks bagi anak harus berjenjang sesai usia, mulai dari pengenalan dan pengetahuan biologis seperti perbedaan jenis kelamin, dampak perbedaan jenis kelamin, pengolahan nafsu bagi yang sudah beranjak remaja, kesehatan reproduksi, hingga alat bantu yang berkaitan dengan pengaturan kehamilan seperti kontrasepsi.
Menurut World Health Organisation (Organisasi Kesehatan Dunia), pendidikan seks seharusnya tidak terbatas sampai pengetahuan biologis, tetapi berperan untuk melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat lewat pendidikan.
Menurut penelitian Stephanie Creagh tentang Pendidikan Seks di SMA D.I. Yogyakarta tahun 2004 dalam hasil kuesionernya untuk pertanyaan Saya biasanya dapat informasi tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual bertanggung jawab dari…’ menyebutkan ada beberapa sumber anak mendapatkan pengetahuan pedidikan seksual.
Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa sekolah menjadi sumber tertinggi bagi siswa SMA mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan seksual. Namun, itupun masih rendah yakni 23,7%. Selebihnya, rasa penasaran remaja akan terjawab dengan usaha mereka mencari tahu sendiri melalui majalah sebesar 15,4% dan teman sebesar 14,5%.
Bayangkan saja jika remaja mencari tahu hal-hal terkait pendidikan seksual di majalah yang sebelumnya tidak dibekali dengan pemahaman yang tepat, maka dia akan menelan mentah-mentah apa yang dia baca atau bahkan salah memahami apa yang dia dapatkan.
Begitu juga dengan sumber teman yang pemahamannya belum tentu benar. Inilah potensi besar anak-anak mempercayai mitos atau salah kaprah tentang pemahaman seksualitas. Sumber dari orang tua juga hanya sedikit, 10,1%.
Sekolah dan orang tua yang seharusnya menjamin pendidikan seksual anak masih merasa canggung dan khawatir jika anak didik atau anak kandungnya menjadi porno atau memicu berhubungan seks di luar nikah setelah mengetahui pendidikan seksual.
Padahal menurut data evaluasi WHO atas 47 program pendidikan seks di Amerika Serikat dan negara lain, pendapat ini keliru. Menurut hasil evaluasi tersebut, dalam 15 studi kasus, pendidikan seks tidak menimbulkan atau mengurangi perilaku seks pra-nikah dan kejadian kehamilan dan kasus PMS antara remaja.
Lagipula dalam 17 studi kasus dievaluasi, pendidikan seks memperlambatkan permulaanya hubungan seks, mengurangi jumlah pasang hubungan seks, dan mengurangi kejadian kehamilan tak direncanakan dan penularan Penyakit Menular Seksual (PMS).
Jadi, pendidikan seksual jelas ada manfaatnya dan tidak mendorong angka hamil di luar nikah atau seks bebas. Sekolah dan orangtua juga selayaknya menjadi sumber utama pendidikan seksual bagi anak supaya pemahaman mereka tidak salah kaprah perihal seksualitas. Tentunya, jika pendidikan seksual sudah tertanam baik, mitos dan salah ucap seperti hamil dalam satu kolam bagi perempuan yang berenang bersama laki-laki tidak akan terjadi. []