“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa
Mubadalah.id – Itulah ungkapan sastrawan yang tersohor di bangsa ini, bahwa menulis adalah mengukir keabadian serta peninggalan intelektual yang tak pernah usang oleh zaman. Termasuk salah satunya adalah S.K. Trimurti. Zaman memang telah berubah, tapi rekaman akan sejarah masa lampau pun tak pernah terlupakan bahkan terabadikan lewat tulisan.
Disadari atau tidak, diakui atau belum, dicatat ataupun diingat, tokoh pejuang dan pergerakan kemerdekaan juga menulis. Mereka menulis semua hiruk piruk perjuangan dalam merebut kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah S.K. Trimurti.
Perempuan Priyayi Hobi Menulis
Anak gadis dari keluarga priyayi, mestinya mengikuti adat istiadat yang telah ditetapkan orang-orang terdahulu. Harus dipingit saat berusia muda, harus menundukkan kepala tatkala berjalan, serta tidak ada larang untuk dimadu. Akan tetapi, berbeda dengan S.K. Trimurti.
S.K. Trimurti yang lahir dari kalangan priyayi tersebut, memilih hidup yang berbeda. Tidak menjadi abdi keraton ataupun pengawai negeri sipil pada umumnya. Buk Tri panggilannya, lebih senang hidup dengan kesederhanaan, namun penuh dengan makna. Dia memilih ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia bahkan menentang segala kebijakan yang menindas lewat tulisannya yang berapi-api, sehingga menjadikan keluar masuk penjara.
Perempuan yang memiliki nama asli Surastri Karma Trimurti alias S.K. Trimurti, lahir di desa Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah pada 11 Mei 1912. Perempuan yang telah memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dibandingkan dengan kawan-kawan sebanyanya di masa itu. Membuatnya mahir di pelbagai bahasa di antaranya bahasa Belanda, bahasa Perancis, dan bahasa Jepang. Kemahirannya itulah yang membuatnya langkas untuk membaca segala literatur berbahasa asing.
Bahkan, melansir di sebuah majalah Gatra yang bertema “Bukan Sekadar Kartini” ihwal S.K. Trimurti yang usianya sudah mencapai 92, dia tetap membaca. Kendati minat baca Tri sangatlah tinggi hingga mengalahkan anak muda. Baginya membaca adalah menggugah rasa untuk mempertebal keberpihakannya. Selain itu, agar tak mudah menua hingga mudah mengingat masa lampu atas perjuangan yang telah dia lakukan.
Gemar Membaca dan Menulis
Dia tidak hanya gemar membaca, tapi juga menulis. Dia hobi menulis cerita pendek dengan imaji yang telah ia ciptakan. Cita-citanya ingin sekali berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Hal ini menandai bahwa persinggungan seorang yang gemar dalam membaca pastilah juga memiliki ketertarikan dalam menulis. Dua hal yang tak bisa dipisahkan, akan terpaksa terpisah dalam konteks hari ini.
Setelah lulus dari pendidikan ke sekolah Goebernemen dan sekolah Guru Putri Surakarta, Tri menjadi hulponderwijeres (guru bantu) di almameternya, di Solo. Tiga tahun kemudian, dia berpindah dari Solo ke Banyumas, mengikuti jejak ayahnya yang bertugas di kota Pendalaman Jawa Tengah. Ia mengajar, di sekolah Kepandaian Putri. Di sana pula, ia kembali mengasah bakatnya yakni menulis.
Penuturan sejarah pun mengatakan bahwa perjuangan kiprah Tri menjadi babak baru, tatkala menjadi guru di sekolah Kepandaian Putri. Gairahnya dalam belajar mempertemukan dia, dengan sosok orator ulung. Karena sosok tersebutlah mengubah cara berpikir Tri. Kemudian, perempuan kelahiran Boyolali itu, memutuskan untuk berkecimpung dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, dibandingkan menjadi guru sebagaimana profesi awal yang telah dipilihnya.
Cikal Bakal Memilih untuk Berjuang
Siapa orator ulung itu? Dia adalah Soekarno bapak presiden pertama Indonesia. Pertemuan diawali tatkala S.K. Trimurti berkesempatan mengikuti rapat terbuka partai Indonesia (Partindo). Sehubungan dengan itu, Bung Karno hadir dalam rapat tersebut dan memberikan pidato. Tentu bung Karno sangat lihai dalam mengikat para peserta rapat tersebut dengan orasi yang berapi-api. Sehingga, menggugah hati Tri untuk memperteguh imamnya dalam berpolitik, selaoin itu berkeinginan bergabung dalam partai tersebut.
Sebagaimana yang telah tertulis dalam buku S.K. Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia, S.K. Trimurti mengungkapkan bahwa “Meski Bung Karno berpidato tanpa pengeras suara, kami masih bisa mendengar suaranya yang membahana. Bukan main pidato itu. […] Saat itulah saya tergugah untuk ikut bergabung dengan Partindo. Artinya, saya harus melepas jabatan saya sebagai guru.”
Kehadiran Soekarno menyihir para kader partai untuk terus melakukan perjuangan. Partindo secara konsisten kembali menyebarkan nilai-nilai perjuangan kepada seluruh masyarakat Bandung melalui terbitan surat kabar. Ada dua surat kabar yang menjadi corong perjuang partai Partindo yaitu Suluh Indonesia Muda dan Pikiran Rakjat.
Demikian pula, Soekarno menyuruh Tri untuk menulis di koran Pikiran Rakjat, tetapi mulanya Tri menolak, sebab yang menulis dalam koran itu adalah tokoh-tokoh keren pada zamannya. Mengutip dalam majalah Gatra Tri menceritakan bahwa dia menolak “Saya, nggak bisa,” jawab Trimurti. Namun, Soekarno tetap mengajaknya dan memaksanya untuk menulis “Harus bisa.”
Menjadi Penulis Produktif
Kemudian, karena arahan dari bung Karno serta keinginannya pula menghasilkan hasil yang luar biasa. Dia menjadi salah satu penulis yang produktif di koran tersebut. Bahkan, Tri sangat gemar menulis kritikan ketidakadilan sistem kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Dari tulisannya pula, membuat penjajah geram dan ingin sekali menangkap S. K. Trimurti untuk tidak lagi menulis. Sebab, membuat rakyat Indonesia sadar akan ketidakadilan yang terjadi.
Di samping itu pula, S.K. Trimurti pernah menempuh pendidikan di Universitas Indonesia jurusan Ekonomi. Selain itu, dia juga memiliki kesempatan untuk mengikuti Sekolah Guru Putri serta aktif dalam giat jurnalistik. Dengan demikian, dua pendidikan formal tersebut juga menjadi amunisi untuk aktif dalam gerakan kemerdekaan Partindo.
Sebagai perempuan yang melek pengetahuan, Tri semakin getol dalam mengkritik anti-imperialisme dalam tulisannya. Tidak ada keraguan ataupun gentar dalam menulis setiap bait, yang menarasikan kelasah-kelusuh dalam kehidupan yang penuh ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Alhasil, dia perempuan yang mahir dalam menulis, harus rela keluar masuk penjara, sebab tulisannya. Tulisan itu pula, yang menjadikannya menjadi perempuan berpena tajam yang ditakuti para penjajah.
Perempuan Berpena Tajam
Berulang kali berganti nama samaran, tetapi tetap saja kenak ciduk pemerintah kolonial. Sekitar 1936, Tri tertangkap oleh pemerintah Hindia Belanda pasca menyebarkan pamflet antikolonialisme. Belanda memasukkan ke penjara Bulu, Semarang selama sembilan bulan. Selepas keluar dari penjara, buk Tri malah lihai dalam menulis soal gerakan anti-kolonialisme.
Pada September 1939, buk tri menjalani proses hukum di pengendalian kolonial lantaran memuat artikel yang mengkampanyekan anti-imprealisme di Sinar Selatan. Hasil proses hukum menyatakan bahwa Tri bersalah dan kemudian dibredel akibat tulisannya itu. Kemudian, di 1943 dia kembali dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Jepang.
Sebab, tulisannya yang gemar menyudutkan Jepang yang terekam di majalah Pesat. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan dia kapok dalam melakoni aktivitas tersebut. Seyogyanya, majalah Pesat merupakan majalah yang didirikan Tri dan suaminya. Dengan tujuan sebagai ikhtiar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sekitar 1960, dia kembali menyalurkan kegemarannya di dua majalah yakni Harian Rakjat (surat kabar milik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Api Kartini (Jurnal milik Gerwani, yang kerap keli memperjuangkan nasib perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Selain itu, di juga sering mengkritik kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering memperlakukan perempuan sebagai makhluk kelas kedua.
Trimurti Award
Perjuangan S. K. Trimurti terus berlajut, bahkan begitu melegenda dalam dunia jurnalisme. Dia adalah wartawan senior yang melakoni dunia jurnalistik selam tiga zaman (sebelum kemerdekaan, presiden orde lama, dan orde baru). Sehubungan dengan itu, tulisannya menjadi kekuatan utama Trimurti dalam memperjuangkan gagasannya. Di zaman kemerdekaan, tulisannya mulai beredar di berbagai koran nasional.
Trimurti tidak mengenal lelah, ketika tak lagi muda, beliau juga mengawal pemerintahan Soeharto ketika masa Orde Baru dengan tetap menjadi jurnalis. Tulisan yang bernas yang memiliki keberpihakan terhadap kaum yang termarginalkan. Dapat kita simpulkan pula bahwa semua tulisannya menentang anti-imprealisme, anti-kolonialisme, serta semua hiruk piruk ketidakadilan terhadap perempuan.
Selama karier menjadi jurnalis Trimurti bekerja di pelbagai surat kabar di Indonesia. Di antaranya Genderang, Bedoeg, Pikiran Rakyat dan lain sebagainya. Dengan demikian, impiannya menjadi kenyataan, orang-orang mengenalnya menjadi wartawan perempuan yang memiliki lagam khas dalam tulisannya. Bahkan tulisannya menjelma menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu ketidakadilan.
Dari dia pula, adanya simbol perwujudan dari kesadaran politik pada kaum perempuan. Oleh karena itu, Trimurti mengilhami Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk mengabadikan namanya sebagai anugerah atau penghargaan dengan nama Trimurti Award. Anugerah ini bertujuan untuk melestarikan semangat dan prinsip perjuangan Trimurti baik kepada aktivis perempuan atau jurnalis perempuan. []