Mubadalah.id – Jilbab dan Hijab adalah dua kosakata klasik yang terus diperbincangkan dan diperdebatkan secara timbul tenggelam.
Isu ini telah tertulis dalam beribu buku, kitab kuning dan berbagai jurnal ilmiyah, selama berabad-abad. Hari-hari ini ia kita bincangkan kembali di antara kaum muslimin di negeri ini dalam suasana yang sengit dan menegangkan.
Situasi caci maki dan sikap tanpa etika berhamburan. Ini memperlihatkan bahwa kita, bangsa muslim terbesar ini semakin mundur ke belakang.
Secara singkat, Jilbab pada mulanya sebagaian orang pahami sebagai kain yang ia gunakan untuk menutupi kepala perempuan dan Hijab bermakna sekat/pemisah antara dua ruang.
Dalam perjalanan sejarahnya terminologi tersebut mengalami proses perubahan pemaknaan dan persepsi.
Dewasa ini keduanya ia persepsi sebagai sebuah pakaian seorang perempuan, bahkan lebih khas lagi ia adalah busana muslimah yang memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama.
Persepsi ini secara sosial akan membawa dampak kebalikannya. Yakni bahwa perempuan yang tidak mengenakan jilbab/ hijab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan yang taat.
Dalam bahasa yang lain dan mungkin emosional, ia adalah perempuan yang kurang atau tidak berakhlak baik.
Betapa tingkat kesalehan, kebaikan budi dan ketaatan beragama seseorang seakan-akan hanya terlihat dan terukur dari aspek busana yang ia pakainya. Pandangan ini telah menyederhanakan persoalan.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Jilbab dan Aurat