Saya masih terngiang wajah perempuan belia 15 tahun dengan anak balita di pangkuannya, saat ia mendaftar cerai gugat di pengadilan agama Mojokerto tiga tahun lalu.
Saat itu saya sedang praktikum (PPL) di pengadilan dan mendapat tugas jadwal menjaga meja satu. Saya yang duduk di samping petugas meja satu mendengar jawaban dari alasan gugatan yang ia lakukan. Petugas meja satu bertanya secara mendetail kepada penggugat mengenai duduk perkara untuk dituliskan sebagai bahan gugatan.
Perempuan belia itu menangis sambil menceritakan bahwa suaminya tidak menafkahi dan tidak peduli pada anaknya. Setelah ditanya berkali-kali, barulah bisa ditarik kesimpulan bahwa alasan dia menikah dini dan mendapatkan dispensasi nikah pengadilan adalah kehamilan di luar nikah (marriage by accident).
Tangisan dan kisah pilunya saat itu terus membekas di benak saya sampai saat ini. Hal ini pula yang menjadi sebab saya tidak terburu-buru dalam urusan pernikahan, dan tidak ingin menjalin komitmen apapun jika masih ada keraguan dan ketidaksiapan.
Perkawinan anak menjadi mata rantai banyaknya angka perceraian dan permasalahan lainnya. Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat pedesaan, bahkan tak bisa dimungkiri di lingkungan sekitar kita.
Maka saya sangat bersyukur saat pulang kampung dan berkenalan dengan aktifis-aktifis yang gencar mensosialisasikan gerakan stop perkawinan anak, dan mengadvokasinya hingga ke ranah parlemen dan berhasil mendorong perubahan satu pasal undang-undang perkawinan, yaitu soal batas usia menikah 19 tahun.
Undang-Undang yang lahir 45 tahun lalu ini memiliki sejarah panjang terhadap terakuinya hukum Islam menjadi hukum positif yang mengikat. Namun juga perlu diperjuangkan perubahan-perubahannya sesuai dengan prinsip hukum “Taghayyiru al-Ahkam bi Taghayyir az-Zaman dan prinsip maslahahnya.
Tak cukup sampai situ. Untuk menegakkan pasal ini perlu juga dukungan masyarakat terutama orang tua agar menjaga dan mendidik anaknya supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang merugikan baginya, sesuai prinsip Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Juga agar tidak lagi terdengar kegalauan bapak hakim saat memutuskan perkara perizinan dan dispensasi nikah, bagi pasangan belia yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Seperti dilemati yang dialami bapak hakim PA Sumber yang saya temui beberapa bulan yang lalu.[]