Mubadalah.id – Pertama kali saya mengenal sosok Kartini sewaktu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Saat peringatan Hari Kartini tiba, para siswi perempuan berpakaian kebaya dan bersanggul. Sementara siswa laki-laki mengenakan pakaian adat Jawa. Kami mengikuti karnaval di atas kereta kuda. Orang-orang menyebut kami ‘Kartini cilik’. Dalam benak saya, Kartini adalah sosok perempuan di masa lalu yang cantik dan suka memakai kebaya.
Saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, pengetahuan tentang Kartini bertambah. Ia adalah sosok pahlawan. Ia membuka sekolah untuk anak-anak perempuan. Di zamannya dulu katanya anak-anak perempuan tak boleh mengenyam bangku pendidikan.
Saat SMA, mungkin juga di sekolah-sekolah lain, peringatan Hari Kartini berkembang menjadi lomba fashion show. Peserta lomba mengenakan kebaya dan jarik sebagai pakaian tradisional dengan rambut di sanggul. Tak lupa dengan make up yang membuat wajah mereka semakin cantik.
Siapakah sebenarnya Kartini? Mengapa ia harus kita representasikan melalui lomba fashion show?
Melalui lagu Ibu Kita Kartini yang saya hafal sejak dini, sebenarnya saya sudah kagum kepada beliau. Pasalnya, di antara sekian banyak pahlawan perempuan di Indonesia, hanya Kartini lah yang terabadikan dalam bait lagu wajib.
Kekaguman saya bertambah, manakala selepas kuliah saya tahu fakta terbaru bahwa Kartini adalah murid Kiai Shaleh Darat. Ia begitu kagum saat pertama kali mengetahui terjemah Surat Al Fatihah dari gurunya. Itulah kali pertama ia memahami terjemah dari ayat-ayat Al Quran yang sering ia baca.
‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ ternyata berasal dari salah satu terjemah ayat Al Quran yang menginspirasi Kartini: Minadzulumati ilannur. Sebagai Muslim, saya begitu bangga dengan Kartini dan keislamannya.
Ketika mengenal kesetaraan gender, saya jadi tahu Kartini bagaimana makna sebenarnya dari bait lagu ‘pendekar kaumnya’. Ia adalah pejuang perempuan untuk perempuan. Kartini adalah seorang feminis.
Benarkah Sosok Kartini Sesempurna itu?
Lengkap sudah pengetahuan saya tentang Kartini. Ia benar-benar sosok perempuan sempurna dengan segala gelar yang ia miliki. Ia cantik, mandiri, islami, dan bermanfaat bagi sesama.
Namun, benarkah Kartini sesempurna itu? Benarkah ia adalah pahlawan dan pendekar? Nyatanya Kartini adalah anak perempuan yang menjalani pingitan sejak usianya 12 tahun. Ia terisolir dari dunia luar. Menurut Ester Lianawati dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan, ia hidup dalam kondisi yang tidak disukainya, bahkan ditentangnya.
Semula, Kartini menolak keras perjodohan dengan orang tak dikenal. Ia juga memiliki prinsip tak mau dipoligami. Namun, hidup membawanya untuk mengambil keputusan bersedia dinikahkan dengan Bupati Rembang yang saat itu sudah beristri. Kartini tutup usia setelah melahirkan anak pertamanya.
Lihat, betapa mengerikannya hidup Kartini. Hidup Kartini tak berjalan dalam perlawanan-perlawanan sengit. Suatu gambaran yang muncul di benak saya saat masih kanak-kanak sebab citra disematkan kepadanya: Pendekar Bangsa.
Kartini tidak bertempur. Ia tak punya kesempatan untuk melawan. Kartini terpaksa ‘kalah’ dari garis hidupnya: menerima perjodohan orang tuanya.
Ester Lianawati tak menyebutnya sebagai ‘kekalahan’. Menurutnya itu adalah cara Kartini untuk tetap berdaya dengan berada di samping laki-laki yang memiliki kedudukan. Sebab, hanya dengan cara itu ia mendapat kepercayaan rakyatnya.
Kartini mungkin ‘memenangkan’ hati rakyat. Namun, ia jelas-jelas kalah. Ia meletakkan prinsip hidup yang ia pegang sejak dulu demi rakyatnya.
Mengapa Kartini Menjadi Pahlawan Nasional?
Dalam sejarah Indonesia, kita tak menemukan cerita tentang sosok Kartini yang berperang melawan penjajah. Lantas mengapa ia terkenal sebagai sosok pahlawan?
Jejak sosok Kartini nampak dari surat-surat yang ia tuliskan kepada sahabat penanya di Belanda. Kelak, surat-surat itulah yang bakal dibukukan dengan judul Emansipasi: Surat-Surat kepada Bangsanya 1899-1904 (2014).
Katrin Bandel, seorang perempuan berkulit putih kelahiran Jerman, muallaf, dan saat ini menetap di Jogja, menawarkan pandangan lain dalam memandang Kartini. Menurutnya, segala citra dan gelar Kartini perlu sedikit dikesampingkan, manakala kita menekuri surat-surat yang Kartini tulis secara langsung.
Katrin Bandel mempertanyakan ulang segala citra yang kita lekatkan kepada Kartini. Kartini yang dianggap pahlawan Bangsa, padahal dalam surat-suratnya ia mengagumi Belanda yang lebih maju peradabannya. Selain itu, dianggap feminis, padahal ia pada akhirnya bersedia dipoligami. Kartini yang dianggap sebagai ‘ibu’, padahal ia meninggal hanya beberapa hari setelah kelahiran putra pertamanya.
Kartini, Perempuan Jawa yang Hidup di Masa Kolonial
Membaca surat Kartini, kita akan sadar bahwa dia bukan ikon, tapi manusia dengan segala kompleksitasnya. Kartini tidak mudah dimengerti, dan mungkin dia sendiri pun tidak mudah memahami diri (Katrin Bandel dalam Kajian Gender dalam Konteks Pasca Kolonial).
Kartini adalah sosok perempuan Jawa sebagai kaum elit yang hidup dalam masa Kolonial. Ia mendapatkan pendidikan secara modern dari sisi Eropa. Ia tahu, nilai-nilai humanisme Barat termasuk emansipasi perempuan kerap kali berbenturan dengan adat istiadat di negerinya sendiri. Ia menyimpulkan budayanya sendiri kolot dan hanya bisa maju lewat pertolongan Barat. Namun, ia juga menyadari kekerasan dan eksploitasi yang Belanda lakukan kepada Indonesia.
Kartini batal berangkat melanjutkan studinya ke Belanda. Padahal ia amat mencita-citakannya. Berdasarkan surat yang Kartini tuliskan kepada sahabat penanya, ia khawatir masyarakat akan memandang dirinya sebagai perempuan Jawa yang kebarat-baratan, sehingga mereka tak mau menyerahkan anak gadisnya kepada sekolah yang ia kelola.
Kartini memilih menyetujui perjodohan itu demi memenuhi ekspektasi rakyatnya. Tentu itu adalah keputusan yang berat. Ia yang sebelumnya yakin adat istiadatnya kolot, namun ia tetap harus mendapat simpati rakyat agar dapat me neruskan cita-citanya, membagikan pendidikan kepada anak-anak perempuan rakyatnya.
Kartini adalah Manusia Hibrid
Nampak sekali bahwa citra yang kita bebankan kepada Kartini adalah sebagai perebutan identitas: wakil feminisme, putri Indonesia, pendekar untuk kaumnya, priyayi Jawa, korban kolonialisme, murid ulama besar.
Katrin Bandel mengajak kita untuk menerima kenyataan, bahwa Kartini bukanlah salah satu dari versi itu. Ia adalah sosok kompleks. Ia manusia hibrid dengan segala pertentangan dalam dirinya. Ia gelisah dan terombang-ambing. Ia kesatuan dari berbagai identitas itu: perempuan Jawa, juga Eropa, Hinda. Ia feminis, juga kolonial, namun memikirkan rakyatnya, juga Islam, dan lain sebagainya.
Pandangan ini penting buat kita terima. Karena nampaknya bukan hanya pada Kartini saja kita membebankan sederet citra yang belum tentu ia sendiri mampu menanggungnya. Kepada diri kita sendiri, kita juga sering kali membebankan citra yang terlampau berat.
Kita menuntut diri menjadi sebuah identitas yang kita harapkan ada dalam diri kita. Padahal, kita adalah kesatuan dari beragam hibriditas biografi, pengalaman hidup, beban trauma masa lalu, serta sederet cerita yang membentuk pribadi dan pandangan hidup. Dengan menerima bahwa sosok Kartini adalah sosok yang hibrid, kita juga akan lebih mampu menerima segala kompleksitas dalam diri kita. []