Mubadalah.id – Dalam Islam, mahar adalah pemberian sukarela (nihlah) (QS. an-Nisa (4): 4) sebagai simbol cinta calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya.
Dalam Islam, mahar juga menjadi simbol komitmen dan keseriusan calon suami kepada calon istri atas pemberian jaminan perlindungan. Terutama karena perempuan (istri) berpotensi untuk hamil, melahirkan, dan menyusui yang bisa menimbulkan rasa sakit dan melelahkan.
Oleh karena rangkaian proses reproduksi tersebut hanya dialami perempuan, maka laki-laki diminta komitmennya untuk mendukung dan melindungi perempuan, salah satunya melalui pemberian mahar.
Mahar diwajibkan oleh Allah Swt., tetapi nilainya disepakati oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan. Sebagai kewajiban, mahar serupa zakat yang wajib hukumnya.
Namun, untuk bentuk dan jumlahnya, mahar serupa dengan sedekah, bebas dan bersifat sukarela dan tanpa batasan ketentuan.
Sebagaimana kewajiban zakat yang tidak boleh ada timbal balik dari penerima, pemberian mahar juga tidak ada timbal balik dari penerima.
Artinya, mahar bukan alat tukar dari suami untuk memperoleh sesuatu dari istri. Semua manfaat dari pernikahan, seperti halalnya menikmati seksual atau yang lain, adalah menjadi hak bersama antara suami dan istri.
Bukan sebagai dampak dari pemberian mahar oleh suami, sehingga istri berkewajiban melakukan sesuatu untuk suami.
Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah harta apa pun yang memiliki nilai (ekonomis) di pasaran, misalnya cincin besi atau sepasang sandal yang bisa ia jual.
Beberapa ulama fikih, seperti Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M), berpandangan bahwa mahar bisa berupa apa pun selama pihak mempelai perempuan terima, termasuk satu biji gandum.
Semua ulama fikih sepakat tidak memberikan batasan tertinggi mahar. Selama calon suami bersedia dan rela dengan nilai mahar yang ia berikan. Namun, nilai mahar yang baik adalah yang moderat dan tidak memberatkan pihak laki-laki. []