Mubadalah.id – Jika Tajin Sorah menjadi tradisi kulenaran yang khas saat bulan Muharam, maka Tajin Sappar (Jawa: Sapar) pun menjadi rutinitas tahunan saat bulan Safar tiba. Menurut beberapa sumber menyebut bahwa tradisi tajin Sappar ini dilakukan oleh orang-orang Madura, juga daerah paling timur dari Jawa Timur (Tapal Kuda) dan masyarakat Jawa. Hanya saja orang Jawa menyebut tradisi ini dengan sebutan Jenang Sapar atau Jenang Grendul.
Berbagai daerah memiliki pandangannya masing-masing mengenai tradisi ini. Hanya saja, saya akan menyinggungnya dari perspektif orang-orang di sekitar rumah saya. Yakni sebagai masyarakat Probolinggo yang juga pelaku dari tradisi tersebut.
Pasalnya ada keunikan tersendiri bila dibidik dari Probolinggo. Selain menjadi bagian dari daerah Tapal Kuda yang notabene-nya berkebudayaan Madura. Tapi dari letak geografis yang masih dalam lingkup wilayah Jawa Timur, dalam beberapa aspek dan kebudayaannya masih ada unsur-unsur Jawanya. Sehingga konsekuensi logisnya adalah terdapat perbedaan orang-orang Probolinggo dalam meresepsi tradisi Tajin Sappar dari Madura.
Sedangkan Jenang Grendul dalam masyarakat Jawa juga mengenai falsafah dan makna yang terkandung di dalamnya. Baik kebudayaan yang melekat dalam tradisi Madura atau Jawa telah meramu satu dalam konsepsi orang-orang Probolinggo. Mungkin fenomena semacam ini bisa kita sebut sebagai dialektika kebudayaan.
Asal Usul Tradisi
Mengenai asal-muasal kapan tradisi tajin Sappar ini berlangsung masih belum terdapat sumber yang jelas . Namun ada pendapat yang menyebut bahwa tradisi ini merupakan warisan budaya dari Sunan Kalijaga.
Adapun komponen dasar dari tajin Sappar adalah terbuat dari tepung beras, gula merah, dan sedikit tambahan santan. Namun seiring perkembangannya, beberapa orang terkadang menambahkannya mutiara yang berwarna merah untuk menambah kemolekan tampilan dan cita rasanya.
Dahulunya bulan Sapar dianggap sebagai bulan sial, sehingga melakukan tradisi ini sebagai hajatan untuk mencari keselamatan dan keberkahan agar terhindar dari segala hal-hal buruk yang akan terjadi. Meskipun dalam Islam sendiri tidak mengenal bulan sial, bahkan Nabi Saw menghapus sendiri citra buruk yang tersemat pada bulan Safar ini.
Esensi Kehidupan Manusia
Terlepas dari itu, tajin Sappar memilliki kandungan makna filosofis yang sangat mendalam. Bukan sekedar kuliner yang hanya memiliki cita rasa di lidah. Tapi terdapat cita ideal yang ingin tercapai dalam menjalani pahit getir kehidupan di dunia.
Bahan dasar beras yang halus adalah simbol untuk menggambarkan sebuah upaya untuk selalu mengasah hati (Agengseh Ateh). Sebab hal itu merupakan gambaran manusia ideal yang selalu ingin menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sementara gula merah yang membuat warna merah kecokelatan pada bubur dan kuah santan putih melambangkan hitam putihnya kehidupan. Sementara bulir-bulir yang membentuk bulatan semacam kelereng atau orang madura (termasuk Probolinggo) menyebutnya plokkoran. Di mana menyiratkan bahwa hidup adalah perputaran takdir. Sehingga di manapun tempat tinggalnya, apapun takdir yang mereka peroleh harus tetap kuat menghadapinya.
Selain menambah kelezatan cita rasa, penggunaan santan kelapa pun bukan tanpa alasan. Dari hal tersebut, harapan dari pelaku tradisi tersebut mampu meniru seperti halnya pohon kelapa yang mampu bertahan kokoh meski badai angin menghantam dan hidup di tempat mana pun meski kekurangan air sekalipun.
Makna Bersatu dalam Perbedaan
Tidak hanya berhenti di situ, terdapat makna lain yang tidak kalah menarik dan mendalamnya. Warna merah kecokelatan itupun melambangkan darah seorang ibu. Sementara santan putih menyimbolkan air mani dari ayah, dan bulatan grendul berbentuk kelereng melambangkan bibit atau embrio. Jenang Sapar menggambarkan cikal-bakal manusia dan dari mana ia berasal.
Dengan kata lain, betapapun manusia berbeda-beda saat terlahir ke dunia, tapi manusia berasal dari hal yang sama, menyandang status yang sama sebagai mahlukNya: tidak ada yang lebih superior, dan tidak pula ada yang lebih inferior.
Perbedaan-perbedaan itu akan terasa manis jika bersatu kembali. Hal itu tergambar pada kesatuan antara grendul dengan siraman kuah jenang yang lengket membentuk perpaduan cita rasa yang khas. Sehingga sepatutnya sebagai manusia sebagai sesama mahlukNya agar senantiasa menghormati segala jenis ciptaanNya, untuk mencapai rasa manis dari kehidupan, maka perlu dengan semangat kebersamaan.
Dimensi Teologis
Betapapun terdapat tujuan yang mengarah pada mengharap terhindar dari kesialan. Tapi pijakan teologis dari tradisi ini adalah bertumpu pada kisah heroik yang Nabi Musa alaihi salam alami beserta pengikutnya. Menurut cerita yang beredar di tengah-tengah masyarakat, tajin sappar sebagai pengingat untuk menggambarkan peristiwa di zaman Nabi Musa.
Raja Fir’aun dan pasukannya berakhir tenggelam di laut merah saat mengejar Nabi Musa dan pengikutnya. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di bulan Safar. Dari latar belakang ini pulalah yang menjadi pijakan mengapa tradisi ini terlaksana di setiap tahunnya.
Adapun laut merah dalam peristiwa ini diibaratkan jenang. Sementara pasukan kafir ditamsilkan grendul yang membentuk bulatan-bulatan tepung yang kecil siap santap. Secara sekilas grendulnya memang nampak seperti kepala yang sedang tenggelam.
Dengan kata lain, tajin Sappar sebagai pengingat pada perjuangan Nabi Musa dkk yang berhasil selamat dari kejaran Raja Fir’aun yang terkenal kejam. Kira-kira begitu histori teologis yang mengitarinya.
Dimensi Sosiologis
Sementara dimensi sosiologisnya hampir mirip sebagaimana tajin Sorah meskipun sedikit lebih kuat. Pasalnya, selain memberikannya kepada tetangga sekitar sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang Allah anugerahkan. Juga terlihat dari proses pembuatannya, karena membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama sehingga melibatkan tetangga sekitar yang turut serta membantu dalam membuat bulatan-bulatan atau plokkoran.
Justru di situlah terjadi proses ta’awun (tolong-menolong) dan terbentuk komunikasi dengan orang-orang sebelah rumah, terjalin celoteh ringan terkait hal apapun, serta ketawa-ketiwi plus cekikan lepas yang menyertai guyonan-guyonan khas pedesaan.
Dari komunikasi yang terjalin, menumbuhkan keakraban yang lebih intens. Merajut kerukunan yang kian kusut menjadi semakin kuat, dan menjadi media penghubung keharmonisan di tengah kepungan individualitas. Semua itu secara tidak langsung telah mempraktikan konsep mu’asyarah bil ma’ruf sebagaimana Rasulullah ajarkan, dan di sisi berbeda mengamalkan konsep sedekah.
Dengan demikian, Tajin Sappar secara serempak mengandung dimensi historis, teologis, dan sosiologis. Bukan saja memperkuat hubungan baik dengan Allah tapi juga dengan sesamanya. Wallahu a’lam bi al-shawab. []