Mubadalah.id – Waktu berlalu begitu cepat menggerogoti usia. Tahun-tahun berlalu dan aku masih di sini. Di sekeliling anak-anak yang bernasib sepertiku, yang kehadirannya tak pernah diinginkan. Anak-anak jalanan.
Ada 27 anak yang bekerja denganku. Aku menampung mereka hanya untuk mencarikan mereka pekerjaan. Untuk tempat tinggal, mereka berasal dari berbagai macam tempat: panti asuhan, kolong jembatan, perkampungan kumuh, dan ada juga orang tua yang mempekerjakan mereka padaku. Aku tak bisa menolak kehadiran mereka. Meski beberapa orang menganggapku preman jahat, sejatinya aku memberi penghidupan pada mereka.
Tentang 27 Anak Jalanan
27 anak itu, semuanya kupekerjakan di berbagai macam tempat, yang aku sudah menjalin kerjasama dan perjanjian dengan pemiliknya. Tukang jaga toilet, tukang parkir, jual koran, penjaga kotak amal di sebuah masjid Jami’, penjaga masjid di mall, mengamen, menjual minuman ringan, menjual es teh, menjual camilan, kue, dan ada pula yang menjadi badut di jalanan.
Jika ada di antara mereka yang berani mencuri, akan aku pukul tangan dan kakinya dengan rotan sekeras mungkin, supaya jera. Begitulah, bagiku hidup sekeras apapun, kita masih muda dan masih memiliki tenaga. Mengambil hak orang lain bagian dari mengingkari kekuatan. Itu prinsipku. Prinsip yang seperti wahyu, yang kita tidak tahu darimana datangnya sementara kita tak diajari oleh siapapun. Prinsip seorang preman pasar yang dianggap bandit.
Bandit menurut mereka, karena aku sering meminta biaya keamanan sebesar 5.000 pada pedagang-pedagang di pasar itu. Bagiku biaya keamanan itu wajar, karena aku bersama temanku memang benar menjaga pasar dari keributan, juga orang-orang yang seenaknya menyerobot tanah atau tempat penjualan.
Selain itu memang kami mengamankan mereka dari preman-preman yang sering menarik pungutan liar dengan jumlah yang besar. Atau preman-preman lain yang sering mengganggu anak-anak jalanan.
Berbicara tentang anak jalanan itu, dari 27 anak, ada satu anak yang tingkahnya membuatku agak jengah akhir-akhir ini.
“Fatih yang mana?”
Aku menceritakan perihal anak itu pada temanku yang sama-sama menjaga pasar, Erhan.
“Yang menjaga toilet di Masjid Jami,” jawabku.
Permintaan Fatih
Seminggu lalu, Fatih yang paling pendiam dan pemalu itu tiba-tiba datang ke pasar tempat aku bekerja dan meminta waktu untuk berbicara padaku. Dia takut-takut saat itu. Aku menyuruhnya agar mendekat dan bertanya padanya apa ada hal yang ingin disampaikan? Biasanya anak-anak yang datang memintaku untuk memindahkan mereka bekerja. Aku menanyakan hal itu, dan Fatih menggeleng.
Kemudian dia melontarkan permintaannya, hal yang membuatku terhenyak.
“Dia memintaku, mengajak semua anak-anak lain menghadiri acara Maulid Nabi.”
Erhan terdiam, ragu-ragu menjawab, “Bukankah bagus?” tanyanya tak yakin.
“Bagiku itu adalah hal yang asing. Sebab kami tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Masjid. Salat pun, aku tak pernah, entahlah anak-anak itu shalat atau tidak, dan, kami tak punya pakaian agamis.” jawabku.
Erhan menatapku. Membenarkan ucapanku.
Kuceritakan lagi bahwa setelah permintaannya itu aku jawab akan mempertimbangkannya. Namun karena besoknya aku tak kunjung memberi jawaban, Fatih mendatangiku lagi, dengan memohon, katanya, sebab pada hari Maulid Nabi itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Ia meminta padaku agar pada perayaan ulang tahunnya, dia bisa mengajak kami ke acara tersebut.
“Apa sulitnya dituruti?” tanya Erhan meminta penjelasan matang.
Aku menatapnya kesal, “Aku malu.”
“Tak perlu malu. Aku akan ikut denganmu. Pakai kemeja saja dan anak-anak perempuan, pastinya punya kerudung, kan?” katanya memberi saran.
Permintaan yang Lain
Akhirnya, aku menuruti permintaan Fatih. Dia terlihat senang. Namun katanya lagi, ada permintaan terakhir, menemui Uztadz yang biasa mengimami di Masjid Jami’ itu.
“Fatih, permintaanmu sulit Abang penuhi,” ucapku. “Untuk apa kita harus menemui Ustadz itu?”
“Karena… Ustadz itu yang mengundang, Bang.” jawabnya terbata.
“Kalau mengundang, kenapa tidak langsung ke Abang saja?”
Fatih terdiam. Lalu kemudian menunduk. Aku mudah goyah jika seorang anak sudah menunduk, entah karena habis kumarahi, atau karena mogok bekerja, yang padahal untuk kehidupan mereka sendiri. Aku tak tega melihat raut-raut seperti itu. Hidup susah begini, harusnya tak mudah gentar menghadapi apa pun dengan tidak mudah tunduk atau menunduk.
“Baiklah, besok kita temui Ustadz itu,” kataku yang akhirnya mengalah. Mencoba memenuhi permintaan salah satu anak naunganku itu.
Menemui Ustadz Hamka
Benarlah esoknya, jam 4 sore aku menemui Ustadz itu. Ustadz Hamka namanya. Usianya sekitaran 50 tahun. Aku sudah meminta Fatih agar menyampaikan pada Ustadz itu jika aku akan menemuinya tepat jam 4 sore. Dan kini di beranda Masjid itu, Fatih dan Ustadz itu telah menungguku.
“Fatih berkata pada saya, Mas, kalau ingin mendengarkan ceramah dan mengikuti perayaan Maulid Nabi,” ucap Ustadz itu membuka percakapan setelah kami bersalaman. Fatih tidak ada, katanya hendak melanjutkan pekerjaannya menjaga toilet Masjid.
“Jadi, bukan Ustadz yang mengundang kami?” tanyaku heran.
Ustadz Hamka tersenyum, “Dia meminta saya, agar berkenan mengundang Mas dan anak-anak yang lain.”
Aku mengangguk paham. Fatih ingin agar kami datang di acara Maulid Nabi itu dengan meminta Ustadz Hamka seolah-olah mengundang kami.
“Fatih ini, saya lihat berbeda, Mas,” ujar Ustadz Hamka.
Dalam hati aku mengiyakan. Entah hanya dugaan atau firasat belaka, Fatih memang berbeda.
Fatih datang padaku saat usianya 8 tahun. Aku tak tahu usia tepatnya, aku hanya menduga-duga saja. Katanya dia ditinggal pamannya di pinggir jalan. Terlunta-lunta di jalanan, seorang anak naunganku yang melihatnya membawanya padaku dan bertanya apakah Fatih boleh menjadi anggota kami.
Aku menerimanya dan Fatih ikut anak itu tinggal di perkampungan kumuh. Kini usia Fatih 10 tahun, berarti kini sudah 2 tahun berlalu dia bersamaku. Namun, aku tak terlalu mengenalnya lantaran sifat pendiamnya.
Ustadz bercerita bahwa semenjak bekerja di Masjid ini, Fatih sering memperhatikan orang-orang yang tengah berwudhu ataupun salat. Dia bahkan mulai menghafal tata cara wudhu gerakan salat yang dilihatnya.
Sesekali, saat malam ketika Masjid sudah sepi dia mencoba berwudhu lalu beranjak ke dalam dan mulai belajar gerakan salat sendirian. Ustadz yang kebetulan melihatnya kemudian mengajari Fatih cara shalat yang benar. Sejak saat itu, Fatih jadi tahu cara berwudhu dan salat dengan tepat berkat diajari Ustadz Hamka.
Perihal Selawat Nabi
“Suatu hari ada rombongan peziarah yang mampir dan ikut salat di sini, mereka salat berjamaah lalu melanjutkan dengan pembacaan shalawat. Fatih mendengar shalawat itu, lalu saat aku datang dia langsung menghambur padaku, katanya, ‘Ustadz, itu bacaan salat yang berbeda?’ aku jawab bahwa itu adalah selawat.
Fatih bercerita, bahwa saat mendengar itu hatinya tiba-tiba trenyuh. Dia meminta untuk dituliskan selawat itu dan mengajarkan cara membacanya. Aku memenuhi permintaannya. Ternyata, dia selalu membawa kertas itu ke manapun, meski aku tahu bahwa dia sudah menghafal bunyi selawat itu.
Akhirnya aku mengajaknya berbincang dan mengatakan padanya terkait selawat Nabi itu. Aku ceritakan dengan mendetail perjuangan Nabi Muhammad dan karena jasanya kita diperintahkan untuk berselawat pada Nabi. Tiba-tiba dia menangis. Dia mengucapkan satu kata, ‘Muhammad adalah nama depanku, Ustadz’.
Kemudian dia berterima kasih padaku, bahwa katanya, sekejam apapun kehidupan ini, dia jadi tahu maksud orang tuanya_yang tak pernah dia ketahui sosoknya_memberinya nama, agar ia menjadi orang terpuji.
Fatih kemudian bertanya, sikap dan perbuatan apa saja yang bisa menjadikan manusia terpuji. Aku tak menjawabnya, aku menyarankan padanya agar lebih mengenal Nabi Muhammad dulu lalu setelah itu bisa meneladani sifatnya. Lalu aku ceritakan perihal Maulid Nabi itu.
Perihal Maulid Nabi
‘Maulid Nabi adalah hari kelahiran Nabi. Dengan merayakannya, berarti kita turut bersuka cita atas datangnya utusan yang Mulia dari Allah SWT. untuk membawa umat manusia dari zaman kebodohan ke zaman yang terang benderang ini,’ terangku padanya.
‘Aku ingin mengajak yang lain untuk berbahagia mendengar kisah Nabi Muhamamd, Ustadz.’ ucapnya mengutarakan permintaan itu.”
Ustadz Hamka menyelesaikan ceritanya. Membuatku paham akan cerita sebenarnya.
“Fatih bilang padaku, bahwa saat Maulid itu adalah hari ulang tahunnya,” kataku pada Ustadz, meminta pembenaran.
“Dia bercerita bahwa dia tidak pernah tahu kapan dia dilahirkan, namun dia juga bercerita, lantaran ada nama Muhammad, maka dia pun ingin lahir seperti hari Nabi Muhammad lahir,” terang Ustadz Hamka.
“Lalu apa tujuannya mempertemukan aku dengan Ustadz?” tanyaku.
“Fatih ingin tinggal di Masjid. Tidak lagi di perkampungan kumuh itu. Dia memintaku untuk menyampaikannya padamu, dan kau menyampaikannya pada teman-temanmu. Dia ingin berhenti bekerja denganmu,” ucapan Ustadz seketika menghentakku.
Meski semua anak memiliki hak untuk di mana mereka bekerja, aku akan tetap merasa kehilangan. Aku akan merasa mereka tak betah bekerja denganku. Dari situlah kemudian aku akan merasa bersalah. Merasa tidak bisa memberi kehidupan pada mereka.
“Bisa jadi, dalam acara ini, dia juga hendak berpamitan pada teman-temannya.” pungkasnya.
Aku termenung.
Setelah selesai aku berpamitan dan mengajak Fatih pulang. Sepanjang jalan aku tak bisa berkata sepatah kata pun atau menanyakan apa-apa pada Fatih.
Menghadiri Maulid Nabi
Maulid Nabi pun tiba. Kami semua menepati janji untuk ikut menghadiri acara Maulid Nabi itu. Panggung megah berdiri tepat di depan beranda Masjid, dengan design bertuliskan “Peringatan Maulid Nabi Muhammad”.
Bangku-bangku untuk penonton berjejer rapi di depannya. Lampu-lampu berwarna-warni menyala dengan hiasan-hiasan bunga di beberapa titik. Di samping panggung ada ruang yang dihampari terpal. Mungkin untuk orang yang tidak kebagian duduk di kursi.
Belum banyak orang yang datang. Aku mengajak yang lain agar duduk di bawah saja, di terpal itu.
Setelah semua anak duduk, barulah aku dan Erhan akan duduk di tempat yang tersisa. Namun Fatih tiba-tiba memegang tanganku sembari refleks mengatakan sesuatu, “Fatih sedih, Bang.”
Aku terheran-heran mendengarnya.
“Fatih takut bertemu Nabi Muhammad,” katanya lagi. Membuatku terhenyak. Apa maksud anak ini takut bertemu Nabi Muhammad? Sudah gilakah dia?
“Fatih tidak bisa seperti Nabi Muhammad,” katanya lagi. Semakin membuatku pening akan celoteh-celotehannya. Kupikir anak ini sedang ngawur pikirannya. Aku tak menanggapi apapun, mencoba mencerna arah pembicaraannya.
“Karena, ada nama Muhammad pada nama Fatih,” pungkasnya. Lalu kemudian menangis.
Aku bingung. Menatap sekeliling, khawatir ada yang mendengar tangisan Fatih. Tapi aku tak bisa membuatnya diam. Akhirnya kupasrahkan saja dan kubiarkan dia menangis sambil memegang erat lenganku..
Tangisnya berhenti saat acara hendak di mulai. Ternyata sebelum ceramah, akan dibuka dengan marhabanan. Aku tak tahu apa marhabanan itu. Aku hanya menyaksikan orang-orang bergantian membaca buku yang sepertinya berbahasa arab. Terkadang di selingi dengan nyanyian-nyanyian.
Ada satu momen di mana kami semua berdiri. Saat berdiri itu semua orang mengikuti nyanyian tersebut dengan suara lantang. Sangat lantang, ada juga beberapa orang memejamkan mata mereka. Bahkan kulihat ada juga yang menangis. Suasana seketika menjadi sakral bagiku.
Sebuah Kejadian yang Mengubah Segalanya
Namun, di momen itulah kejadian yang tak akan pernah kuduga terjadi. Fatih tiba-tiba menangis dengan mata terpejam, aku keheranan dan menggoncang-goncang tubuhnya agar bisa diam. Namun, Fatih tak juga mengindahkan goncanganku. Tangisnya semakin menjadi. Mulutnya terus-terusan menyebut nama Muhammad. Dan seketika itu pula, tiba-tiba saja dia terjatuh pingsan.
Aku panik. Entah bagaimana kejadiannya kami sudah di rumah sakit. Kami semua menunggu Fatih. Aku tak tahu acara di sana tengah berlangsung ceramah atau masih diributkan oleh pingsannya Fatih.
Mungkin aku yang paling khawatir dari semuanya. Aku merasa takut terjadi apa-apa dengan Fatih. Karenanya aku mulai mencoba berdoa untuk keselamatan Fatih. Suatu hal yang tak pernah kulakukan seumur hidupku.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruangan Fatih, mengabarkan satu hal, yang tak pernah ingin kudengar.
“Dia sudah tidak ada, Mas.”
Seketika hatiku merasa remuk redam.
Kepergian Fatih
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Fatih telah dimakamkan. Aku menangisi kepergiannya dengan tak berdaya. Termenung dengan pandangan kosong di beranda kosanku.
Momen dengan Fatih amat begitu singkat namun entah mengapa dia telah menorehkan suatu hal berharga dalam hidupku.
“Bang Hamim, terima kasih sudah mau mengurus Fatih dan membantu Fatih. Bang Hamim telah mengamalkan salah satu akhlak Nabi, yaitu mencintai anak yatim dan membantu fakir miskin seperti kami.”
Aku baca kembali surat dari Fatih. Surat yang ditemukan di kantong celananya. Sebuah tulisan yang aku tahu ditulis oleh orang lain sebab Fatih tak bisa menulis maupun membaca. Tulisan di belakang bacaan salawat miliknya.
Aku menangis sejadi-jadinya usai membaca ulang surat itu.
Sepeninggal Fatih aku memutuskan mengirim anak-anak naunganku ke Panti Asuhan. Aku menghabiskan semua uangku untuk memasukan mereka ke panti asuhan itu. Dan aku, mengeluarkan diriku sendiri dari bekerja di pasar. Aku berniat mengabulkan keinginan Fatih, bekerja di Masjid Jami’ sebagai tukang bersih-bersih dan menjaga toilet tetap.
Setiap kali bekerja itu, aku juga tertarik melihat gerakan-gerakan orang berwudhu maupun salat. Lalu suatu hari, setelah berwudhu yang sebelumnya dibetulkan oleh Ustadz Hamka, aku menginjakkan kakiku ke shaf paling depan. Menggelar sajadah, dan mengumandangkan takbir. []