• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mahar Seperangkat Alat Salat Ternyata Bisa Menjadi Penyebab Pernikahan Tidak Berkah, Lho!

Gus Baha menjelaskan, bahwa pemberian mahar berupa alat salat ini bisa menjadi makna dari “merendahkan perempuan”.

Khoniq Nur Afiah Khoniq Nur Afiah
03/12/2023
in Personal
0
Mahar Seperangkat Alat Salat

Mahar Seperangkat Alat Salat

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kita seringkali memaknai bahwa sebuah pernikahan akan terlihat lebih islami atau lebih berkah jika maharnya adalah seperangkat alat salat. Selain itu, alat salat juga kerap menjadi salah satu opsi yang banyak terpilih oleh kalangan masyarakat kita untuk menjadi mahar. Namun, sebenarnya ada penjelasan yang cukup menarik dari Gus Baha mengenai mahar seperangkat alat salat.

Pada suatu ceramah Gus Baha sedang menjelaskan sebuah maqalah yang Sahabat Umar sampaikan mengenai golongan orang yang ahli surga. Di antaranya adalah perempuan yang mau membebaskan maharnya kepada calon suaminya.

Gus Baha menjelaskan lebih lanjut, bahwa mahar yang dimaksud ini bukan mahar yang menjadi tradisi kita. Yakni hanya seperangkat alat salat, tidak ada tambahan barang berharga lainnya. Beliau menjelaskan dengan logika yang cukup mudah untuk orang awam pahami.

Bagaimana seorang laki-laki itu bisa kita nilai menghargai seorang perempuan sebagai calon istrinya, jika mahar yang kita berikan hanya seperangkat alat salat? Sebab, jika orang nakal atau perempuan nakal saja bisa terbayar dengan harga jutaan, masa menikahi yang berkaitan dengan syariat dan selamanya hanya kita beri mahar seperangkat alat salat?

Namun, memang tidak bisa kita pungkiri juga, jika seorang perempuan memberikan “patokan” atau standar mahar yang diberikan, ia akan mendapatkan stigma, misalnya “katanya salihah, kok minatnya Fortuner.”

Baca Juga:

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Ambivalensi Standar Mahar

Nyatanya dalam konteks mahar memang perempuan cukup mengalami ambivalensi. Kalau memiliki standar mahar, maka akan mendapatkan stigma buruk. Sedangkan, jika menerima apa adanya atau qana’ah maka akan dimanfaatkan.

Untuk menjembatani hal ini, Gus Baha memberikan sebuah landasan dari Sayyidina Ummar: “Wahai kelompok perempuan, kamu jangan mahal-mahal ketika minta mahar. Kalo saja ada yang berhak paling mahal, tentu putrinya Rasulullah dan istri-istri Rasulullah. Saya bersaksi pada mahar pada istri-istrinya Nabi dan putri-putrinya Nabi itu tidak melebihi angka sekian.”

Gus Baha menerangkan makna “sekian” dalam kalimat tersebut. Beliau menjelaskan bahwa pernah menghitung jumlah yang disebutkan dan itu berkisar jika dalam rupiah 4-5 juta. Itu adalah angka minimal.

Penjelasan ini yang selanjutnya memberikan keterangan secara jelas bahwa mahar seperangkat alat salat adalah mahar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.

Selain itu, Gus Baha juga menjelaskan, bahwa pemberian mahar berupa alat salat ini bisa menjadi makna dari “merendahkan perempuan”.

Gus Baha menjelaskan: “Sebab, ada dua kemungkinan: jika istrimu tidak salat, dengan memberi seperangkat alat salat berarti sama saja dengan mengejek dia karena tidak salat. Lalu jika istrimu Ning (putri Kiai) sudah jelas jika dia adalah gudangnya mukena, kok kamu kasih mukena.  Orang salehah itu mukenanya sudah banyak, masa malah kamu kasih mukena lagi.

Pertimbangkan Kembali Nilai Mahar

Lalu beliau kembali menjelaskan pada apa yang beliau jelaskan di awal bahwa perempuan yang ahli surga adalah mereka yang membebaskan mahar atas suaminya. Kenapa kok bisa besar sekali balasan Allah, hingga menyematkan perempuan tersebut ahli surga?

Sebab, mahar yang dimaksud berjumlah 1000 atau 400 dinar, seperti saat Nabi menikahi Umi Habibah. Jika rupiahkan berjumlah sekitar 100 juta. Mahar ini biasanya merreka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan. Hal ini sejalan dengan apa yang Al Qur’an (An-Nisa’:4) sampaikan. Jika pasca menikah tidak punya uang, maka bisa menggunakan mahar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan.

Selanjutnya, kalau mahar yang berkembang di masyarakat kita adalah seperangkat alat salat yang jika kita uangkan hanya ratusan ribu, masa bisa sejalan dengan maksud ayat di atas? Kan tidak. Penjelasan inilah yang selanjutnya memberikan keterangan bahwa mahar seperangkat alat salat perlu menjadi pertimbangan yang lebih lanjut untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. []

 

 

Tags: JodohKhitbahMahar Seperangkat Alat Salatperempuanperkawinan
Khoniq Nur Afiah

Khoniq Nur Afiah

Santri di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek R2. Tertarik dengan isu-isu perempuan dan milenial.

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya dalam Puisi Ulama Sufi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID